Pada 2014, Prayut berhasil berkuasa usai melakukan kudeta militer. Ia seharusnya mencapai masa jabatan tahun kedelapan pada awal pekan ini, jika dihitung dari semenjak ia merebut kekuasaan.
Mahkamah Konstitusi Thailand menangguhkan posisi Prayut sebagai perdana menteri pada Rabu kemarin.
Pendukung Prayut berpendapat bahwa periode jabatannya sebagai perdana menteri harus dihitung sejak ia menang secara resmi dalam pemilihan umum tahun 2019, atau di dihitung sejak ketentuan masa jabatan menjadi bagian dari konstitusi Thailand pada 2017.
Wakil Perdana Menteri Thailand, Prawit Wongsuwan, untuk sementara menjadi PM Thailamd menggantikan Prayut.
Prawit, yang kini berusia 77 tahun, berkaitan erat dengan kelompok militer di balik tahun 2014, dan diperkirakan akan akan mengikuti jejak yang sama dengan Prayut. Kamis kemarin, Prawit memimpin pertemuan komunikasi komite mengenai bahasan bencana nasional.
Prayut, tetap mempertahankan posisi kabinetnya sebagai Menteri Pertahanan Thailand, menghadiri pertemuan bulanan dewan pertahanan via sambungan video.
Baca: Jabatan Perdana Menteri Dicabut, Prayut Chan-o-Cha Kini Jadi Menhan Thailand
Hingga saat ini, belum ada tanggal pasti kapan pengadilan akan mengeluarkan putusan terkait Prayut. Namun Thitinan Pongsudhirak, profesor ilmu politik dari Universitas Chulalongkorn Bangkok, mengatakan bahwa ada kemungkinan pengadilan akan mempertahankan Prayut sebagai perdana menteri meski opini publik tidak menginginkan hal tersebut terjadi.
"Melihat dari bagaimana pengadilan selalu bertindak sesuai kehendaknya (Prayut), bukan hal mengejutkan apabila Mahkamah Agung secara teknis mengeluarkan keputusan seperti itu," ujarnya.
"Kita harus mengingat bahwa ia diangkat pada masa rezim militer," sambungnya, dikutip The Strait Times, Jumat, 26 Agustus 2022.
Popularitas Prayut mulai menurun semenjak adanya tuduhan bahwa ia gagal mengelola pandemi Covid-19 dan perekonomian negara. Tetapi koalisi pemerintahannya berhasil bertahan dari empat mosi tidak percaya.
Prayut telah menentang para kritikus dengan menyatakan bahwa masa pemerintahannya telah berhasil menjaga perekonomian selama pandemi, memungkinkan Thailand untuk membuka dan mulai menghasilkan pendapatan dari kunjungan turis.
Jika pada akhirnya Prayut tetap mempertahankan jabatannya, hal ini beresiko memicu adanya demonstrasi massa yang telah lama berusaha menggulingkannya.
Setelah keputusan penangguhan dikeluarkan pada Rabu kemarin, kubu oposisi Thailand meminta Prayut untuk turun dari jabatannya dan memberi jalan terhadap pemilu baru.
"Pergantian kepemimpinan dengan Prawit (yang mengisi kekosongan jabatan tersebut) menunjukkan bahwa tujuan politik Thailand belum juga tercapai," ujar Pita Limjaroenrat, Ketua dari partai oposisi Move Forward.
Walau unjuk rasa menuntut Prayut turun dari jabatannya terjadi pada 2020, putusan pengadilan pada Rabu kemarin hanya memicu segelintir unjuk rasa di Bangkok.
Thitinan mengatakan bahwa kemungkinan gelombang kritik akan terus berkembang menjelang keluarnya putusan akhir pengadilan mengenai nasib Prayut.
"Ketidakpuasan di tengah masyarakat belum surut dan terus menumpuk. Ada banyak kekecewaan di Thailand selama dipimmpin Prayut," pungkasnya. (Gracia Anggellica)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News