Dari tempat persembunyian, ia memimpin sekelompok legislator yang menolak mengakui kudeta militer.
Dikutip dari laman BBC pada Minggu, 14 Maret 2021, aksi protes masif terus bergulir sejak awal kudeta hingga saat ini, yang tak jarang berujung bentrok antara demonstran dan aparat keamanan. Dalam demonstrasi Sabtu kemarin, aksi kekerasan polisi Myanmar menewaskan setidaknya 12 pedemo.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat angka kematian demonstran di tangan polisi Myanmar telah mencapai puluhan. Sementara menurut data grup Assistance Association for Political Prisoners (AAPP), lebih dari 70 orang tewas di tangan aparat keamanan sejak meletusnya demonstrasi di Myanmar.
Jika angkanya ditambah dengan kematian pada Sabtu kemarin, maka totalnya mencapai 82 orang.
Kudeta militer Myanmar pada awal Februari diawali dengan penahanan sejumlah tokoh penting, termasuk pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint. Militer Myanmar atau Tatmadaw mengatakan bahwa kudeta harus dilakukan karena pemerintahan Suu Kyi tak kunjung menginvestigasi dugaan kecurangan dalam pemilu 2020.
Baca: Protes Myanmar Membesar di Tengah Tuduhan Suu Kyi Terima Suap
Partai Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), menang dalam pemilu tahun lalu. Namun militer Myanmar tak mau mengakuinya dan justru menuding adanya kecurangan masif.
Pakar hak asasi PBB, Thomas Andrews, mengatakan bahwa militer Myanmar kemungkinan besar melakukan "kejahatan terhadap kemanusiaan”. Ia mengatakan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa bahwa Myanmar saat ini sedang "dikendalikan oleh rezim yang membunuh dan ilegal."
"Ada bukti yang berkembang bahwa militer Myanmar, yang dipimpin oleh pemimpin senior yang sama, sekarang mungkin terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk tindakan pembunuhan, penghilangan paksa, penganiayaan, penyiksaan,” sebut Andrews.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News