Donald Trump tandatangani Executive Order. (Jim Watson / AFP via Getty Images)
Donald Trump tandatangani Executive Order. (Jim Watson / AFP via Getty Images)

Trump Perintahkan AS untuk Mundur dari Perjanjian Paris, Ini Alasannya

Riza Aslam Khaeron • 21 Januari 2025 11:50
Washington D.C.: Pada Senin, 20 Januari 2025, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk menarik Amerika Serikat dari Perjanjian Paris.
 
Langkah ini diumumkan beberapa jam setelah ia dilantik, menunjukkan prioritasnya untuk fokus pada kedaulatan energi dan kebijakan domestik.
 
"Perjanjian Paris adalah kesepakatan yang tidak adil bagi rakyat Amerika," kata Trump dalam pernyataannya di laman The White House. Ia menambahkan bahwa kebijakan ini hanya memberatkan ekonomi Amerika dengan sedikit manfaat nyata untuk lingkungan.

Trump mengkritik Perjanjian Paris karena dianggap tidak menempatkan semua negara pada posisi yang setara. "China dan India mendapat kelonggaran, sementara Amerika Serikat yang memimpin dunia dalam inovasi energi harus membayar lebih," ujarnya.
 
Ia juga menyebut bahwa Perjanjian Paris mengancam pekerjaan di sektor energi fosil, seperti minyak dan batu bara, yang menurutnya masih menjadi tulang punggung ekonomi Amerika.
 

Apa Itu Perjanjian Paris?

Perjanjian Paris, yang diadopsi pada 2015, adalah kesepakatan iklim internasional yang ditandatangani oleh hampir 200 negara di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
 
Tujuan utamanya adalah membatasi kenaikan suhu global hingga di bawah 2 derajat Celsius, dengan upaya tambahan untuk menjaga kenaikan tersebut di bawah 1,5 derajat.
 
Kesepakatan ini dirancang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan setiap negara menetapkan target nasional secara sukarela.
 
Namun, Perjanjian Paris tidak mengikat secara hukum, sehingga negara-negara tidak diwajibkan untuk mencapai target emisi mereka di bawah hukum internasional.
 
Hal ini menjadi salah satu kritik utama Trump, yang menyebut kesepakatan itu tidak adil karena memberi kelonggaran lebih besar kepada negara berkembang, sementara AS menanggung beban yang lebih berat.
 
Sejak ratifikasi pada 2016, Perjanjian Paris telah menjadi simbol solidaritas global dalam memerangi perubahan iklim, meskipun implementasinya masih menghadapi banyak tantangan.
 
Menurut laporan CNN, ilmuwan iklim telah memperingatkan bahwa melampaui ambang batas 1,5 derajat Celsius dapat memiliki konsekuensi serius, termasuk peningkatan frekuensi bencana alam.
 

Kebijakan Baru dan Fokus Trump

Sebagai gantinya, Trump mengumumkan rencana untuk mendeklarasikan "darurat energi nasional" dan memperluas produksi energi fosil di dalam negeri.
 
Menurut laporan CNN, langkah ini termasuk membuka kembali wilayah konservasi seperti Arctic National Wildlife Refuge untuk pengeboran minyak dan membatalkan mandat kendaraan listrik yang diterapkan oleh pemerintahan sebelumnya.
 
"Kita akan mengebor, mengolah, dan memproduksi energi kita sendiri," tegas Trump dalam pidatonya. Ia juga berjanji untuk menurunkan harga energi yang disebutnya sebagai salah satu penyebab utama inflasi.
 

Reaksi dan Dampak Internasional

Langkah ini menuai kritik keras dari komunitas internasional dan kelompok lingkungan. David Wirth, seorang pakar hukum internasional dari Boston College, menyatakan kepada CNN bahwa keluarnya AS dari Perjanjian Paris akan merusak integritas global dalam menghadapi perubahan iklim.
 
"Ini bukan hanya tentang kepemimpinan Amerika, tetapi juga tentang kredibilitasnya sebagai mitra global," kata Wirth.
 
Sementara itu, Sekretaris Eksekutif Perubahan Iklim PBB, Simon Stiell, menegaskan bahwa pintu tetap terbuka bagi Amerika untuk kembali. "Kami menyambut keterlibatan konstruktif dari semua negara," ujar Stiell.
 
Di sisi lain, beberapa gubernur negara bagian AS, seperti Kathy Hochul dari New York, berkomitmen untuk tetap menjalankan kebijakan hijau meski tanpa dukungan federal.
 

Implikasi bagi Perubahan Iklim

Para ilmuwan memperingatkan bahwa langkah ini dapat memperburuk upaya global untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius.
 
Tahun 2024 telah menjadi tahun terpanas dalam sejarah, dengan bencana alam seperti kebakaran besar di California Selatan dan badai Helene serta Milton yang menghancurkan wilayah Tenggara Amerika Serikat.
 
"Krisis ini bukan soal energi, tetapi soal kelangsungan hidup manusia," kata Manish Bapna, Presiden Dewan Pertahanan Sumber Daya Alam (NRDC).
 
Baca Juga:
Trump Cabut Sanksi untuk Pemukim Israel di Palestina
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SUR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan