Serangan ini merupakan awal dari kebijakan Presiden George W. Bush yang sering disebut "Perang Terhadap Teror," sebuah kampanye anti-terorisme global yang melengserkan Presiden Irak Saddam Hussein dan menyebabkan AS berperang dengan Taliban di Afghanistan selama lebih dari 20 tahun.
Berikut merupakan latar belakang dari tragedi tersebut.
Latar Belakang dan Sejarah
Latar belakang tragedi ini dapat dilacak hingga tahun 1996. Pada tahun tersebut, pemimpin dari organisasi militan Islam di Afghanistan, Al-Qaeda, Osama bin Laden, menyampaikan deklarasi perang dan menyerukan kepada seluruh umat Muslim untuk berperang melawan "Amerika dan Israel." Bin Laden menuntut kehancuran "aliansi zionis-Amerika" dan "melindungi kesucian Islam."
Dalam wawancaranya dengan John Miller pada 1998, Bin Laden menyatakan: "Kami tidak membedakan antara tentara dan warga sipil... sejarah Amerika tidak membedakan antara militer dan warga sipil, bahkan tidak untuk wanita dan anak-anak."
Pernyataan tersebut dibuktikan dengan tragedi 9/11.
Kejadian 9/11
Pada pagi hari Selasa, 11 September 2001, 19 teroris membajak empat pesawat komersial Amerika Serikat. Para teroris tersebut bersenjatakan silet, bahan peledak, dan senjata gas kimia. Mereka mengambil alih pesawat tersebut dengan melukai bahkan membunuh para pilot serta mengancam para penumpang untuk tetap diam.
Pesawat pertama menghantam Menara Utara Menara Kembar WTC pada pukul 08.46, diikuti oleh pesawat kedua yang menghantam Menara Selatan pada pukul 09.03. Pesawat ketiga menghantam Pentagon, markas besar pertahanan AS, 34 menit setelah pesawat kedua, dan pesawat keempat menghantam lapangan di Stonycreek Township pada pukul 10.03.
Berdasarkan laporan CNN, 265 orang tewas di empat pesawat tersebut, 2.606 di WTC, dan 125 di Pentagon. Sebanyak 90 negara kehilangan warga negaranya dalam tragedi tersebut, termasuk seorang WNI bernama Eric Samadikun Hartono. Sebagian besar korban adalah warga sipil.
Dari para pembajak pesawat, 15 di antaranya adalah warga negara Arab Saudi, satu orang berasal dari Lebanon, satu dari Uni Emirat Arab, dan satu lagi dari Mesir. Dua minggu setelah insiden, FBI mengumumkan bahwa para pembajak memiliki hubungan dengan Al-Qaeda.
Reaksi AS: Perang Terhadap Teror
Serangan 9/11 menimbulkan reaksi kebencian terhadap umat Muslim, Arab, dan orang-orang lainnya yang dianggap berasal dari Timur Tengah.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komisi HAM New York pada tahun 2003, 69% dari 956 responden mengaku menjadi korban ujaran kebencian. Sebanyak 81% dari responden tersebut adalah penganut agama Islam.
Namun, reaksi terbesar dari AS adalah kebijakan "Perang Terhadap Teror." Pada tanggal 14 September 2001, Undang-Undang Otorisasi Penggunaan Kekuatan Militer Terhadap Teroris (Authorization for Use of Military Force Against Terrorists) disahkan, yang melegalkan perang terhadap terorisme global dengan tujuan menghancurkan teroris seperti Osama bin Laden di seluruh dunia.
Pada Oktober 2001, pasukan AS menginvasi Afghanistan dan menggulingkan pemerintahan Taliban setelah mengeluarkan ultimatum agar mereka menyerahkan Osama bin Laden dan pemimpin Al-Qaeda lainnya.
Pada tahun 2002, Presiden Bush menuduh Korea Utara, Iran, dan Irak mensponsori kelompok terorisme dan membuat "senjata pemusnah massal," menyebut mereka sebagai "poros setan."
AS menginvasi Irak pada Maret 2003 dan melengserkan Saddam Hussein. Mantan Presiden Irak tersebut dieksekusi mati pada 30 Desember 2006.
Jutaan orang tewas akibat kebijakan ini, dan banyak kritikus yang mempertanyakan isu moralitas, ekonomi, dan dampak kebijakan yang diambil oleh kabinet Bush serta penerusnya. Keefektifan kebijakan ini juga dipertanyakan setelah Taliban kembali berkuasa di Afghanistan.
Baca Juga:
Kebijakan Penerbangan Setelah Tragedi 9/11: Kehadiran TSA hingga Pengecekan Berlapis
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News