Pemimpin Tiongkok Deng Xiaoping dan Jimmy Carter, 1979. (National Archives and Records Administration/Wikimedia)
Pemimpin Tiongkok Deng Xiaoping dan Jimmy Carter, 1979. (National Archives and Records Administration/Wikimedia)

Kebijakan Luar Negeri Jimmy Carter, Dari Melawan Soviet sampai Dedikasinya untuk Kemanusiaan

Riza Aslam Khaeron • 30 Desember 2024 10:38
Jakarta: Mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter meninggalkan jejak yang mendalam dalam kebijakan luar negeri, mencerminkan dedikasinya terhadap perdamaian, hak asasi manusia, dan penyelesaian konflik global.
 
Berikut adalah rincian kebijakan luar negeri Carter dan dampaknya terhadap dunia:
 

Perjanjian Camp David (1978)

Salah satu pencapaian terbesar Carter adalah mediasi Perjanjian Camp David antara Mesir dan Israel. Perjanjian ini mengakhiri konflik militer antara kedua negara dan menandai perdamaian pertama antara Israel dan negara Arab.
 
Selama 13 hari di Camp David, Carter memimpin negosiasi intens antara Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin.

"Perjanjian ini adalah langkah pertama menuju perdamaian yang lebih luas di Timur Tengah," kata Carter.
 
Kesepakatan tersebut mengharuskan Israel mundur dari Sinai, sementara Mesir menjadi negara Arab pertama yang mengakui Israel.
 
Meski dipuji secara internasional, kebijakan ini memicu reaksi keras dari negara-negara Arab lainnya, yang menganggap Mesir berkhianat.
 

Perjanjian Terusan Panama (1977)

Carter menegosiasikan dua perjanjian penting dengan Panama, yang mengembalikan kendali Terusan Panama secara bertahap kepada negara tersebut.
 
Perjanjian pertama menjamin netralitas kanal, sementara perjanjian kedua menetapkan transfer penuh kendali kanal pada tahun 1999.
 
Carter menyebut langkah ini sebagai "contoh bagaimana keadilan dan rasa hormat dapat menggantikan kekuatan dalam diplomasi."
 

Normalisasi Hubungan dengan Tiongkok (1979)

Carter memimpin normalisasi hubungan diplomatik formal dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRC). Kesepakatan ini termasuk pengakuan kebijakan "Satu Tiongkok," yang menegaskan bahwa Taiwan adalah bagian dari Tiongkok.
 
Meski mendapat kritik domestik, kebijakan ini membuka era baru dalam hubungan bilateral kedua negara dan memperkuat posisi strategis AS di Asia.
 

Doktrin Carter dan Kebijakan terhadap Soviet

Invasi Uni Soviet ke Afghanistan pada Desember 1979 menjadi salah satu tantangan terbesar kebijakan luar negeri Carter.
 
Carter, yang sebelumnya berhasil merundingkan perjanjian SALT II dengan pemimpin Soviet Leonid Brezhnev untuk membatasi senjata nuklir, mengambil langkah tegas setelah invasi ini.
 
Ia meminta Senat untuk menghentikan ratifikasi SALT II sebagai respons langsung terhadap agresi Soviet.
 
Carter juga memperkenalkan "Doktrin Carter," yang menegaskan bahwa AS akan menggunakan kekuatan militer jika perlu untuk melindungi kepentingannya di Teluk Persia. Doktrin ini memperlihatkan pergeseran dari pendekatan diplomatik menuju kebijakan keamanan yang lebih agresif.
 
Sebagai bagian dari respons terhadap invasi Soviet, Carter mengizinkan pemberian bantuan militer kepada kelompok mujahidin di Afghanistan melalui perantara Pakistan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk melemahkan pengaruh Soviet di kawasan tersebut.
 
Selain itu, Carter juga menyerukan boikot terhadap Olimpiade Moskow 1980, yang diikuti oleh lebih dari 60 negara sebagai bentuk protes terhadap invasi Soviet.
 

Krisis Iran

Namun, Krisis Sandera Iran (1979–1981) menjadi salah satu tantangan terbesar kepemimpinannya. Setelah mahasiswa Iran menyerbu Kedutaan Besar AS di Teheran, 52 warga AS disandera selama lebih dari 400 hari.
 
Upaya militer untuk menyelamatkan sandera melalui Operasi Eagle Claw gagal, memperburuk citra Carter dan berkontribusi pada kekalahannya dalam pemilu 1980.
 

Komitmen pada Hak Asasi Manusia

Carter memprioritaskan hak asasi manusia sebagai inti kebijakan luar negerinya, memberikan tekanan khusus pada rezim-rezim otoriter yang melanggar hak-hak warga negaranya.
 
Di Amerika Latin, ia menekan rezim militer di Argentina dan Brasil untuk menghentikan pelanggaran HAM seperti penghilangan paksa dan penyiksaan.
 
Kebijakan ini termasuk pembatasan bantuan militer kepada negara-negara yang gagal memenuhi standar HAM internasional.
 
Di Afrika, Carter menjadi salah satu pemimpin dunia pertama yang menyerukan perubahan sistemik terhadap apartheid di Afrika Selatan.
 
Ia secara terbuka mengecam diskriminasi rasial dan menyoroti penderitaan warga kulit hitam di bawah rezim apartheid. Langkah ini memperkuat tekanan global terhadap pemerintah Afrika Selatan untuk reformasi.
 
Di Asia, Carter menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan aliansi strategis dengan negara-negara seperti Korea Selatan dan Filipina dengan agenda HAM-nya.
 
Meski kedua negara ini penting dalam upaya melawan pengaruh Soviet, ia tetap mendorong reformasi HAM di bawah pemerintahan otoriter mereka.
 
Namun, kebijakannya tidak selalu konsisten. Dukungan AS terhadap Shah Iran, meskipun Shah dikenal melakukan pelanggaran HAM yang meluas, menciptakan kritik bahwa kepentingan strategis terkadang mengesampingkan prinsip moral.
 
Carter sendiri menyadari dilema ini, tetapi ia percaya bahwa pendekatan diplomatik jangka panjang dapat menghasilkan perubahan.
 
Komitmen Carter terhadap HAM mencerminkan idealismenya yang kuat, meskipun kebijakan ini sering kali berbenturan dengan realitas geopolitik.
 
Ia menanamkan dimensi moral yang baru dalam diplomasi AS, meninggalkan warisan penting dalam upaya global untuk menghormati hak asasi manusia.
 

Warisan Carter dalam Diplomasi Global

Setelah masa kepresidenannya, Carter mendirikan Carter Center pada 1983, yang berfokus pada resolusi konflik, pemantauan pemilu, dan pemberantasan penyakit tropis.
 
Carter juga aktif dalam memediasi konflik internasional, termasuk dialog dengan pihak-pihak yang dianggap kontroversial, seperti Hamas.
 
"Diplomasi adalah alat paling ampuh untuk mencapai dunia yang lebih damai," ujar Carter dalam salah satu pidatonya. Dedikasinya terhadap perdamaian dunia, meski penuh tantangan, menjadi warisan yang dihormati secara luas.
 
Ia dikenang sebagai pemimpin yang idealis namun pragmatis, yang tidak ragu mengambil risiko demi menciptakan dunia yang lebih adil.
 
Baca Juga:
Warisan Jimmy Carter: Dukungan Tak Tergoyahkan untuk Palestina
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SUR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan