Keputusan Gita dan Paul memancing kritik warganet. Namun, pasangan yang menikah pada 2018 ini kukuh pada keputusannya. Bahkan, Gita menepis kemungkinan hamil karena 'kecelakaan'.
"Kak kalau seandainya tiba-tiba dikaruniai anak gimana perasaannya?" tanya seorang warganet.
"Di kamus hidup gue, 'tiba-tiba dikasih' is very unlikely," jawab Gita Savitri.
Respons heran atau kontra atas keputusan ini adalah hal wajar. Psikolog Sosial dari Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Tri Rejeki Andayani mengungkapkan hal ini ini tidak terlepas dari perspektif budaya kolektif.
Kultur masyarakat menuntut atau mengharapkan seseorang yang telah memasuki usia dewasa untuk menikah dan setelah menikah akan ditanyakan tentang kehadiran anak.
"Sebab, orang tua dari pasangan suami istri itu tentu memiliki harapan pada pernikahan anak-anaknya. Salah satunya harapan untuk memiliki cucu yang meneruskan keturunannya," ucap Tri mengutip siaran pers UNS.
Baca: Dikritik, Gita Savitri Jelaskan Alasan Tak Mau Punya Anak
Beberapa alasan yang melatarbelakangi keputusan tersebut antara lain masalah personal, finansial, latar belakang keluarga, kekhawatiran akan tumbuh kembang anak, isu atau permasalahan lingkungan, hingga alasan terkait emosional atau maternal ‘instinct’.
Berikut penjelasannya:
1. Lingkungan yang tak mendukung untuk membesarkan anak
Salah satu alasan menarik orang tua memilih childfree yakni berkaitan dengan isu atau permasalahan lingkungan. Populasi penduduk bumi yang semakin meningkat, tetapi tidak sejalan dengan 'kesehatan' bumi dan ketersediaan pangan. Childfree akhirnya dipilih sebagai langkah yang dapat ditempuh.
Tri pun menyinggung perspektif teori perkembangan Erikson yang menyatakan setiap orang akan memasuki tahap stagnan versus generativitas. Orang yang stagnan cenderung sulit menemukan cara berkontribusi pada kehidupan.
Sementara itu, generativitas akan mendorong seseorang peduli pada orang lain. Kemudian, selalu menciptakan dan mencapai hal-hal yang membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, termasuk melalui pernikahan.
Akan tetapi, pada perkembangannya, generativitas ini tidak hanya membatasi pada domain pernikahan dan menjadi orang tua. Sehingga orang-orang yang memutuskan hidup lajang atau childfree biasanya akan mengekspresikan generativitasnya melalui berbagai bidang kehidupan.
"Seperti menjadi relawan, aktivitis lingkungan hidup, bekerja secara profesional, atau terlibat dalam kegiatan agama, sosial, maupun politik," tambah Tri.
2. Tak yakin mampu mengasuh anak
Alasan lain adalah rasa tidak yakin akan kemampuan dalam merawat dan mengasuh anak juga menjadi salah satu kekhawatiran yang sering kali dialami. Oleh karenanya, salah satu pembekalan yang penting diberikan di masa persiapan nikah adalah membangun parenting self efficasy pada keduanya.
"Sehingga calon ayah atau ibu memiliki keyakinan diri terhadap kompetensinya dalam merawat dan memberikan pengasuhan pada anak yang secara positif. Hal ini akan berpengaruh pada perilaku pengasuhannya dan menunjang tumbuh kembang anak secara optimal," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News