Lagu ini tak sekadar eksperimen lintas instrumen. Ia terasa seperti meditasi puitis tentang ruang, ingatan, dan pertemuan budaya. Dengan durasi hampir empat menit, "Peron 12" membuka percakapan imajiner: bagaimana jika ruang-ruang yang kita huni bisa bersuara? Bagaimana jika dinding, batu bata, bahkan bangku kayu di peron menyimpan cerita patah hati kita?
Baca juga: Tampil di Irlandia, Monica Karina Kolaborasi dengan Musisi Dunia |
Membalikkan Raga
Secara musikal, lagu ini berakar pada raga Hamsadhwani dari tradisi Carnatic India Selatan. Dalam sejarahnya, Hamsadhwani sering dipakai untuk memulai konser karena sifatnya yang “mengangkat semangat”, penuh keceriaan dan aura penyembuhan. Tapi di tangan Mow Ray, raga ini justru dibalik. Nada-nada yang biasanya cerah diberi konteks baru, menjadi melankolis, rawan, penuh kerinduan.“Kontras ini sengaja saya hadirkan,” kata Mow Ray dalam sebuah pernyataan. “Menggunakan raga yang secara budaya dianggap ‘gembira’ untuk menggema kesedihan yang tersembunyi dalam ingatan.”
Keputusan kreatif ini langkah berani. Membalikkan makna raga berarti menantang konvensi emosional yang sudah mengendap ratusan tahun. Hasilnya, pendengar merasakan tensi: telinga mengantisipasi kegembiraan, tapi hati menerima kesedihan.
Baca juga: Jennifer Lawrence Angkat Suara soal Genosida di Palestina |
Ansambel Lintas Samudra
Kekuatan "Peron 12" terletak pada instrumen yang digunakan: Oud, Tabla, dan Tanpura. Kombinasi ini jarang sekali terdengar dalam ranah musik kontemporer Indonesia. Oud membawa aroma Timur Tengah, Tabla menjaga ketukan Hindustani, sementara Tanpura membentangkan drone panjang yang jadi landasan spiritual.Strukturnya masih menyisakan kerangka singer-songwriter: vokal dalam bahasa Indonesia yang jujur dan personal. Tapi begitu improvisasi perkusi masuk, pendengar tahu lagu ini sedang menembus batas genre. Inilah yang membuat "Peron 12" lebih dekat ke world music ketimbang sekadar indie folk atau pop alternatif.
Dan jika menoleh ke belakang, tak mengherankan. Samudra Hindia sudah lama jadi jalur pertemuan budaya: kapal-kapal dari Gujarat, Hadhramaut, hingga Nusantara menukar rempah, kain, sekaligus musik. "Peron 12" seolah menghidupkan kembali peta sonik itu, tapi dengan sensitivitas kontemporer.
Mendengarkan "Peron 12" bukan pengalaman sonik semata. Ketukan Tabla membuat dada seakan ikut menepuk, Tanpura menahan napas lebih panjang, sementara petikan Oud menyalakan bayangan tentang ruang-ruang jauh. Isi kepala seperti dilempar ke Chennai, lalu ke Kairo, lalu ke Zanzibar. Semua dalam satu tarikan napas. Musik ini menjadi paspor imajiner, membawa pergi ke tempat-tempat yang bahkan belum kita datangi secara raga.
Pada akhirnya, peron hanyalah ruang tunggu. Tapi di tangan Mow Ray dan Vishnu Vijayan, peron menjadi ruang dengar: tempat ingatan, luka, dan lintas budaya bisa berkumpul dalam satu komposisi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id