"Setiap RUU harus punya naskah akademik karena apa yang tercermin dalam undang-undang, tergantung naskah akademik. Kalau naskah akademik sudah jadi dan kita bahas, baru DPR bilang mari kita diskusikan," kata Asfinawati dalam jumpa pers di Cilandak, Rabu, 6 Januari 2019.
Asfinawati menyebut bahwa secara hukum, upaya revisi tidak bisa keluar dari pijakan naskah akademik buatan Badan Keahlian DPR, yang mana mendapat arahan dari Komisi bersangkutan. Untuk mengulang naskah akademik dari awal, draf RUU Permusikan harus dihentikan terlebih dari proses pembahasan DPR.
Sebagai catatan, RUU Permusikan telah masuk program prioritas DPR 2019.
"DPR seharusnya menghentikan proses ini dan menyerahkan kembali (kepada publik), bukan soal RUU, tetapi naskah akademiknya," ujar Asfina.
"Komunitas yang paling paham harus berdikusi, tetapi bukan diskusi naskah akademik, tetapi membahas apakah perlu sebuah undang-undang yang mengatur permusikan? Kalau perlu, bagian mana yang diatur dan tidak perlu diatur? Kalau itu sudah terjadi, baru kemudian naskah akademik disusun. Jadi masih jauh sekali dari pembahasan RUU," imbuhnya.
Pernyataan Asfina melengkapi pernyataan Mondo Gascaro bahwa RUU Permusikan harus dibatalkan dulu sebelum masalah ekosistem permusikan dibahas lebih lanjut. Menurut Mondo dan kawan-kawan Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan (KNTL RUUP), pasal-pasal dalam draf RUU sama sekali tidak menjawab masalah kesejahteraan praktisi dan ekosistem musik.
"Itu saja sudah bikin kepala puyeng, gimana mau revisi? Ibarat kita bikin rumah, pondasi sudah salah, gimana bisa renovasi?" kata Mondo dalam kesempatan sama.
"Banyak masalah (dalam draf RUU), mulai dari rantai ekosistem, subyeknya apa, tujuannya apa, siapa yang mengatur dan diatur. Dari pasal 1-54, yang jelas banget akan diatur adalah pelaku musik, padahal katanya ini tata kelola industri musik," imbuhnya.
Asfina menyatakan bahwa musik adalah urusan sangat serius bagi YLBHI. Menurutnya, musik adalah bagian penting demokrasi, sama seperti buku, tulisan, dan film. RUU Permusikan terkini tampak sebagai upaya untuk membatasi kebebasan ekspresi dalam musik.
"Dalam rezim atau perjalanan dunia, musik sudah menjadi sarana ekspresi macam-macam, termasuk kritik sosial. Bayangkan, kalau ada sebuah negara takut kepada buku, takut kepada film, dan takut kepada musik, bagaimana pemerintahan seperti itu? Mereka pasti akan takut dengan orang yang berbaris di jalan," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News