Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan (Foto: dok. KNTL RUUP)
Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan (Foto: dok. KNTL RUUP)

Sembilan Alasan RUU Permusikan Harus Dicabut Menurut KNTL RUUP

Purba Wirastama • 06 Februari 2019 21:40
Jakarta: Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan (KNTL RUUP) menampik disebut sebagai pihak yang hanya menolak rancangan undang-undang tersebut tanpa memberi kontribusi. Berdasarkan hasil kajian, mereka membeberkan sembilan poin alasan kenapa rencana legislasi ini harus dihentikan.
 
"Berkembang rumor di luar sana bahwa kami hanya bisa menolak, tidak punya kontribusi. Itu mengusik kami," kata salah satu aktivis koalisi Wendi Putranto, penulis dan manajer grup musik, dalam jumpa pers di Cilandak pada Rabu, 6 Februari 2019.
 
Menurut Wendi, mereka bersama sejumlah musisi dan pakar hukum telah melakukan kajian mendalam terhadap naskah akademik dan draf RUU. Beberapa nama antara lain Arian 13 Seringai, Mondo Gascaro, Kartika Jahja, serta Asfinawati dari Yayasan Bantuan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI).

Dari situ, mereka menemukan bahwa rancangan ini sudah cacat sejak naskah akademik. Lebih dari 80% pasal dalam draf cukup bermasalah atau sangat bermasalah sehingga harus dibongkar ulang sejak awal.
 
"Kami memberikan rekomendasi kenapa menolak draf RUU Permusikan untuk lanjut dibahas," kata Kartika dalam kesempatan sama.
 
Berikut rangkuman sembilan poin alasan penolakan KNTL RUUP.
 
1. Perumusan Naskah Akademik dan RUU Tidak Terbuka
 
DPR dan Badan Keahlian DPR mereka anggap gagal dalam merumuskan naskah akademik dan RUU sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan (UU Nomor 12 Tahun 2011), khususnya Pasal 5. Pihak legislatif tidak terbuka terhadap publik karena draf RUU selesai pada 15 Agustus 2018, tetapi baru bisa diakses pada akhir Januari 2019.
 
2. Naskah Akademik Tidak Memenuhi Standar Ilmiah
 
Mereka menilai naskah akademik punya kekurangan yang sangat fatal. Contoh paling mudah adalah definisi "musik" berdasarkan makalah seni musik buatan pelajar SMK pada 2016, yang diunggah di sebuah blog blogspot.com.
 
Mereka juga mendapati bahwa naskah akademik ini tidak menjawab kebutuhan, melindungi, serta mendukung ekosistem permusikan di Indonesia. Hal ini tidak memenuhi asas kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan berdasarkan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011.
 
"Naskah akademik ini sudah jelas tidak kredibel untuk menjadi dasar penyusunan draf RUU," ujar Asfinawati.
 
3. 50 dari 54 Pasal Bermasalah
 
Semula, koalisi berpendapat ada 19 pasal yang bermasalah bagi pelaku musik, termasuk Pasal 5 yang membatasi kebebasan berekspresi. Namun setelah ditinjau lebih dalam lagi, nyaris semua pasal bermasalah, mulai dari substansi, tidak sesuai undang-undang lain, potensi tafsir ganda, serta ketidakcermatan perancangan pasal.
 
Akhirnya, upaya revisi hanya akan percuma. Mereka mengusulkan semua proses harus diulang dari awal, termasuk penyusunan naskah akademik yang menyeluruh, mendalam, dan mencerminkan kebutuhan dan daya guna RUU.
 
Menurut mereka, dari 54 pasal dalam draf RUU Permusikan, hanya ada empat pasal tidak bermasalah sama sekali. Itupun pasal yang sangat normatif tentang undang-undang ini sendiri meliputi Pasal 44, 52, 53, dan 54.
 
"Hanya tersisa empat atau lima pasal yang bagus. Jadi sia-sia kalau mau revisi. Lebih baik dibongkar semua sekalian," ujar Wendi.
 
4. Proses Perumusan Cenderung Eksklusif
 
Mereka menyebut para pekerja musik sekarang punya kepedulian tinggi terhadap dunia permusikan. Namun proses pembuatan RUU cenderung eksklusif karena hanya segelintir musisi terlibat. Apalagi, hasilnya tidak layak dan tidak mampu menjawab urgensi masalah tata kelola industri musik.
 
5. Kajian Naskah Akademik Harus Diulang dari Awal
 
Koalisi menilai kajian akademik harus dilakukan ulang dengan melibatkan perwakilan pekerja musik dari berbagai latar belakang, termasuk musisi independen, tradisional, jalanan, serta ahli hukum dan pengamat budaya sejak awal. Tujuan kajian, menelisik bagaimana pemerintah bisa menjadi fasilitator dan bukan pengontrol.
 
"(Aspirasi) bukan hanya dari pemain besar di industri musik hari ini. Hal ini penting sebab musik yang lahir dari komunitas dan masyarakat adalah yang menghidupkan kebudayaan," kata Asfinawati.
 
"Bisa kelihatan bahwa UU ini merujuk kepada musik sebagai industri dan komoditas, padahal musik bagian dari ritual dan hal lain sehingga tidak nyambung dengan materi dalam naskah," sambung Kartika.
 
Kartika menyebut bahwa negara sudah punya UU Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan yang memiliki materi bagus. Namun semangat RUU Permusikan bertentangan dengan UU tersebut karena justru memagari pelaku budaya musik.
 
6. Kurang Sinergi dengan Undang-undang Lain
 
Koalisi menilai naskah akademik dan draf UU belum punya sinergi dengan UU 28/2014 (Hak Cipta) UU 13/2018 (Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam), UU 5/2017 (Pemajuan Kebudayaan), serta 301 PPKD Kabupaten/Kota dan 31 PPKD Provinsi.
 
PPKD (Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah) kini sedang dikumpulkan oleh Ditjen Kebudayaan. Dari sana, kondisi dan kebutuhan musik sebagai salah satu objek pemajuan kebudayaan dapat dikaji untuk dikembangkan lebih lanjut sesuai konteks.
 
7. Dukungan Pemerintah dan Lembaga Legislatif Belum Tepat
 
Koalisi meminta pemerintah dan lembaga legislatif untuk mendukung proses kreasi dan ekosistem musik secara transparan, partisipatif, peduli keragaman, serta terbuka menyikapi kemajuan peradaban permusikan. Dukungan diwujudkan lewat kebijakan dan aturan yang mengacu pada hasil kajian dan diskusi lintas sektor yang tepat. Pilihannya, membuat RUU dari awal, membuat aturan turunan saja, atau mendorong kebijakan yang menguatkan ekosistem musik.
 
8. Kajian Ulang Butuh Waktu Panjang
 
Proses kajian akademik membutuhkan waktu lebih lama dan partisipasi lebih banyak pihak sehingga tidak bisa dilakukan secara terburu-buru. Sebagai catatan, RUU Permusikan masuk program prioritas 2019 di DPR, yang mana hanya punya waktu kerja tujuh bulan lagi sebelum transisi ke periode 2019-2024. Koalisi meminta DPR memberi prioritas kepada RUU yang lebih mendesak, misalnya tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.
 
"Kalau draf ini dikatakan masih awal dan bisa diperbaiki, kenapa masuk Prolegnas? Apa urgensinya?" kata Asfinawati.
 
9. Undang-undang Permusikan adalah Solusi Prematur
 
Penolakan draf RUU Permusikan adalah bentuk kepedulian koalisi atas perkembangan dan kemajuan ekosistem musik Indonesia. Rencana untuk membuat undang-undang adalah solusi prematur terhadap masalah ekosistem karena tidak berangkat dari kajian, diskusi, dan partisipasi aktif para praktisi musik Indonesia.
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ELG)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan