Tentunya, nama Wregas Bhanuteja sudah tidak asing di telinga masyarakat Indonesia. Sutradara Indonesia pemenang penghargaan Cannes Film Festival ini, telah berulang kali membawa harum nama Indonesia lewat karya-karyanya. Sebelum terbang ke Cannes dengan film Prenjak, dia telah lebih dahulu pergi ke Jerman untuk menghadiri Berlin Internasional Film Festival pada tahun 2015, lewat filmnya yang berjudul Lembusura. Dalam ajang itu, Wregas dinobatkan sebagai sutradara termuda yang ikut berkompetisi.
Dua pekan terakhir, Wregas berada di Korea Selatan, untuk hadir di Busan International Film Festival dalam rangka penayangan Penyalin Cahaya. Ini merupakan kali kedua Wregas hadir ke Busan. Sebelumnya, dia telah menghadiri acara yang sama pada tahun 2019 bersama film Tak Ada Yang Gila di Kota Ini.
Wregas Bhanuteja merupakan seorang sutradara yang seringkali mengangkat isu-isu sosial dalam karya-karyanya. Begitupun di debut film panjangnya. Hal yang menarik adalah mengapa Ia bisa sangat concern akan isu tersebut? Serta bagaimana dia bisa sedekat itu dan dapat mengemasnya dengan sangat-sangat apik?
Dalam kesempatan yang baik, meski terpisah ribuan kilometer, melalui sambungan telepon Medcom berkesempatan mewawancarai sutradara lulusan Institut Kesenian Jakarta itu, mengulas banyak tentang Penyalin Cahaya. Ide cerita, proses produksi, hingga kendala-kendala yang dihadapi.
.jpg)
Bagaimana perasaan Wregas berhasil menyabet 17 nominasi di FFI 2021 (nominasi terbanyak yang berhasil diperoleh dalam FFI 2021) dan bisa tayang di Busan International Film Festival pada film panjang pertama?
Paling utama sih bersyukur, karena di tengah pandemi masih bisa diberikan kesempatan buat syuting. 20 hari kami syuting lancar, kru juga sehat semua, lanjut proses edit, mixing, eh ketika submit gitu saja masuk Busan International Film Festival.
Bersyukur banget bisa diapresiasi. Kedua, aku menganggap Busan International Film Festival bukan sebagai gengsi atau penghargaan, melainkan sebagai misi untuk menjaga api perfilman kita itu biar enggak padam. Maksudnya dengan bioskop tutup lama banget, penayangan juga banyak yang tertunda, ada kekhawatiran penonton tuh mulai skeptis terhadap film Indonesia.
Keberangkatan ke Busan tuh juga menjadi bukti ke masyarakat Indonesia bahwa sinema kita masih eksis dan masih berjalan produksinya. Buat FFI, 17 nominasi tuh pastinya sangat bersyukur karena semua kru dan pemain dari film kami sumber dayanya dari Indonesia. Semua syuting di Indonesia, diedit, mixing, dan diwarnai di Indonesia dan semuanya menggunakan sumber daya orang Indonesia. Hal ini jadi kaya satu bukti bahwa meskipun ada pandemi, sumber daya kita tuh bisa loh gitu, tetap mampu membuat satu karya dan selesai dan bisa diapresiasi. Jadi, kedepannya aku berharap kita punya kepercayaan yang lebih pada sumber daya kita dan buat penonton juga jangan putus harapan sama filmmaker kita,
Penyalin Cahaya mengangkat kisah tentang apa?
Ceritanya berangkat dari suatu fenomena di Indonesia yang mana banyak sekali penyintas kekerasan seksual itu mendapat ketidakadilan atau ruang aman untuk sharing. Jadi, yang kita lihat di berita dan cerita-cerita yang beredar, banyak sekali penyintas itu malah takut untuk bersuara karena support system-nya tidak ada serta ada ketakutan dari mereka yang malah diberi stigma bahkan ada yang dituntut balik dan disalah-salahin. Jadi, dari mereka memutuskan untuk memendam kisahnya. Kami ingin membuat suatu film yang memotret fenomena tersebut dan ingin memberi masyarakat ruang support yang aman untuk penyintas dan harus berpihak serta percaya pada penyintas kekerasan seksual.
Sejak kapan Wregas memulai proyek film ini?
Bulan Januari 2020 kami start mulai cerita. Selesainya Agustus 2020. Setelah itu persiapan praproduksi mulai dari cari lokasi, casting, dan lain-lain mulai dari September sampai Desember 2020. Sampai kemudian syuting di bulan Januari selama 20 hari. Selesai syuting kita masuk ke masa editing dari Februari sampai Juni 2021. Sekitar 4 bulanan karena cukup lama mencari formula yang paling kuat. Setelah itu, kami melakukan proses color grading, mixing, dan di bulan Juli udah submit ke Busan IFF. Agustus dapet pengumuman keterima, lalu kami siapin materi terus oktober ini diselenggarakan di Busan. jadi prosesnya 1,5 tahun lah ya total.
Apakah Wregas menulis naskah film ini sendiri?
Saya menulis berdua bersama co-writer saya bernama Hendricus Pria. Jadi tandeman berdua gitu.
.jpg)
Hal menarik dari film panjang debut Wregas adalah komposisi para pemeran dan keputusan memilih aktris pendatang baru (Shenina Cinnamon) sebagai pemeran utama. Apa alasannya?
Proses casting kalo pemain utama, ada enam orang ya. Ada Shenina, Chico, Jerome, Julia sama Lutesha itu semua saya yang memilih sendiri. Jadi, saya mengajak mereka bertemu, ngobrol-ngobrol terus ada kecocokan terus ya kita melakukan satu screen test.
Kalau Shenina itu saya dikenalkan oleh seorang aktor Indonesia bernama Hannah Al Rasyid. jadi Hannah ini juga seorang yang sangat concern melawan isu kekerasan seksual. Jadi dia menceritakan kepada saya ada salah satu aktor muda Indonesia bertalenta dan tidak hanya dalam seni perannya, tapi dalam kehidupan sehari-harinya pun ia memiliki spirit yang tangguh dan punya concern yang kuat terhadap kekerasan seksual.
Terus, saya ngajak ketemu dengan Shenina bersama Hannah juga, ngobrol di suatu cafe di Kemang dan Shenina banyak bercerita bahwa dia selalu berani bersikap melawan sesuatu yang tidak adil. Misalkan ada ketidakadilan yang melanda temannya atau suatu hal yang tidak manusiawi yang terjadi pada sahabatnya, dia selalu berani bersikap untuk melawan. Jadi, saya merasa bahwa karakter yang dia miliki itu merupakan karakter yang kuat untuk karakter utama saya 'Sur" sebuah karakter yang gigih, tidak mudah menyerah, dan berani bersikap jika ada hal yang dia rasa tidak adil terhadap dirinya.
Nah, akhirnya setelah ngobrol kita menemukan kecocokan saya melakukan dua kali screen test. Saya meminta dia membaca skenario lalu dia rekam dan dia sangat menguasai semua ekspresi, gestur, dan emosi yang dia ungkapkan itu saya suka dan sangat mewakili "Sur". Jadi, tidak ada pilihan lain selain Shenina.
Selama proses dari pra-produksi sampai pascaproduksi kira-kira kendala apa yang ditemukan Wregas?
Yang paling besar kendalanya tentu saja harus menyikapi hal-hal yang tidak terduga yang berkaitan dengan peraturan atau protokol yang harus diterapkan. Misalnya, ketika syuting itu meskipun semua izin sudah didapatkan dari kepolisian, dari pemerintah gitu terkadang ada beberapa warga yang tidak setuju ketika daerahnya dipakai untuk lokasi syuting karena waktu itu Covid-19 memang belum reda. Jadi, harus segera ganti strategi, mencari lokasi yang lebih aman, tidak bersinggungan dengan ruang publik, dan harus manage jadwal, serta memutar balik semua jadwal supaya semua scene itu bisa terlaksana.
Yang kedua adalah ternyata syuting menggunakan masker itu adalah tantangan yang sangat berat, karena set syuting kami di kios fotokopi yang kami buat di basement. Dan basement itukan udaranya sangat terbatas. Apalagi sinematografer untuk menciptakan efek cahaya menggunakan alat khusus, namanya hazer. Berarti, sirkulasi udara menjadi sangat tipis orang yang di dalam tidak bisa banyak-banyak. Jadi, syuting normal bisa satu jam ini jadi bisa molor sekitar dua kali lipat karena krunya terbatas.
Kembali ke cerita Penyalin Cahaya, dari film-film mas wregas sebelumnya, seperti Prenjak, Lemantun, Tak ada yang Gila di Kota Ini hampir semua mengangkat isu sosial, hal apa yang membuat seorang Wregas Bhanuteja seringkali membuat film dengan mengangkat isu sosial?
Hal yang membuat pola pikir saya berubah itu sebenarnya adik saya. Jadi, adik saya itu adalah seorang yang bergerak di dunia penelitian. Dia seorang farmakolog, meneliti obat, penyakit. yang dia lakukan tentu saja membuat kehidupan kita menjadi lebih baik. Misalkan kita menemukan suatu penyakit atau kendala, dia mengupayakan untuk penyakit itu tidak ada lagi yang mana saya rasa kontribusinya nyata terhadap sosial.
Saya berpikir film yang dibuat dengan budget besar sekali, melibatkan orang yang banyak sekali dengan waktu yang sangat panjang, masa hanya sekadar dibuat untuk hiburan? Ya agak sayang saja gitu. Kalau membuat film untuk hiburan itu biarkan filmmaker lain aja yang melakukan karena sudah banyak, kan? Saya berpikir setidaknya yang saya bikin itu mengubah. Mengubah pola pikir, membenahi apa yang kira-kira selama ini salah tidak pernah dikoreksi dan dibenahi menjadi semakin lebih baik.
Makanya, yang saya angkat kebanyakan tentang isu-isu sosial seperti Tak Ada yang Gila di Kota Ini tentang kesehatan mental, Lemantun, isu keluarga yang membanding-bandingkan kelas dan pencapaian. Jadi, jika ada kalimat film itu adalah media yang sangat efektif buat bercerita aku rasa harus digunakan untuk membenahi satu yang harus dikoreksi.
.jpg)
Selain durasi, apa yang membedakan Penyalin Cahaya dengan film Wregas sebelumnya?
Secara bahasa, Penyalin Cahaya menggunakan bahasa Indonesia. Film-film saya sebelumnya itu kebanyakan bahasa Jawa karena set yang saya pakai adalah di Jogja. Untuk menunjang realitas, kebetulan masyarakat jogja lebih banyak menggunakan bahasa Jawa jadi saya menggunakan bahasa Jawa, tetapi setting yang dipilih di film ini adalah Jakarta. Kenapa Jakarta? karena Jakarta adalah tempat pertemuan orang-orang dengan berbagai macam kultur, dan background. Apalagi di suatu universitas tuh dia percampuran dari berbagai macam daerah gitu jadi saya rasa bisa merepresentasikan kondisi Indonesia gitu dengan berbagai point of view yang ada.
Pertimbangan berikutnya karena bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan semua orang bisa memahami bahasa tersebut, sehingga cakupan message-nya luas. Kalau menggunakan bahasa daerah bisa saja, tapi ada satu degradasi yaitu subtitle. Orang jadi harus membaca subtitle yang pasti membuat pengalaman menontonnya tidak akan semurni jika dibandingkan dengan hanya menonton visual dan audio saja. Jadi, saya rasa penggunaan bahasa Indonesia ternilai lebih efisien dipakai untuk membuat message ini tersebar lebih efektif.
Kedua, berbeda dari gaya sinematografi dan shot-nya. Film-film pendek saya yang sebelumnya memiliki kecenderungan untuk dalam satu scene hanya menggunakan dua shot yang simple, kamera statis, dan tidak mengikuti pergerakan pemain. Ini sangat bertolak belakang dengan film Penyalin Cahaya. Di film ini, satu scene bisa 5 shot, terus handheld, kamera bisa dinamis mengikuti pergerakan pemain karena aku ingin membawa suatu emosi dan nuansa dimana karakter tidak memiliki ruang untuk beristirahat dan dia harus selalu bergerak, begerak, bergerak gitu. jadi mungkin secara sinematografinya cukup berbeda.
Bagaimana seorang Wregas menginterpretasikan ide dan emosi naskah ke layar?
Aku merasa emosi itu adalah bahasa yang universal. Misalnya, kita dari Indonesia dan luar negeri itu language-nya bisa berbeda, tetapi emosinya sama kan. marah, ketawa, sedih tuh sama. Aku memang memakai emosi itu sebagai suatu patokan utama dalam bertutur. Nah, caranya adalah dengan mengolah performa.
Jadi, kalau selama ini akting tuh selalu menjadi nomor ke sekian, selalu yang utama tuh artistiknya sama sinematografinya aja. Tetapi sekarang saya berubah pikiran. Ternyata yang dilihat penonton itu mata pemain. Mata pemain itu bisa berbicara walaupun aktor itu diam, tetapi matanya bisa mengatakan kalau di itu lapar, marah tanpa harus dia berkata-kata. Itu semua terpancar dari mata. Jadi yang saya prioritaskan di film ini adalah kekuatan mata. saya banyak menggunakan shot-shot yang padat yang dekat, yang menunjukkan mata pemain. dan saya juga berbicara kepada para pemain bahwa tidak melulu emosi itu ditunjukkan dengan raut muka yang berubah-ubah dan alis yang mengernyit, tapi coba semua itu kamu ekspresikan lewat matamu saja.
Jadi, saya sedang mengeksplor dan mentransfer emosi dari sisi itu. saya juga tidak terlalu banyak menggunakan musik latar yang mendramatisasi, misalkan suasana sedang sedih, maka musiknya dibuat daramatisasi sedih bisa dibilang hampir tidak ada. Semua musik di film ini datang dari dunia realitas. misalnya dia lagi memutar tape atau radio, ya musiknya datang dari situ. Jadi pure seni peran lah yang menjadi kekuatan utama untuk mentransfer emosi.
.jpg)
Kapan jadwal tayang Penyalin Cahaya di Indonesia?
Nah, setelah Busan, kami masih melihat-lihat sebetulnya ruang screening seperti apa yang paling baik untuk film kita, karena sebenarnya kondisi pandemi itu serba tidak pasti. Kita masih perlu waktu untuk mengumumkan jadwal tayang, tetapi tentunya tidak akan jeda lama sekali.
Apa proyek terdekat Wregas setelah Penyalin Cahaya?
Saya berpikir setelah ini tidak perlu terlarut berlama-lama. Apa yang bisa dikerjakan, ya langsung segera menulis skenario untuk film kedua.
Film panjang?
Betul, film panjang lagi. karena kontinuitas dalam membuat film selagi energi, modal, dan kesempatannya ada harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Kenapa? Ya, tentunya selain karena pekerjaan saya adalah sebagai sutradara, jika kita berbicara soal bagaimana kita membantu Indonesia meletakkan posisi negara dalam skena film Internasional.
Kita itu masih sangat jauh tertinggal dari segi kuantitas film. Dibandingkan dengan negara negara seperti Korea, Jepang, Thailand, setiap tahun selalu ada lebih dari satu film yang beredar dalam sirkuit film Internasional. Bahkan lebih dari lima. Hal ini membuat banyak sekali peluang kerja sama dengan negara tersebut, mulai dari funding co-production, sampai laboratorium penulisan. Itu semua dapat terjadi karena negara tersebut sudah dipercaya sebagai negara yang aktif memproduksi film.
Nah Indonesia itu kuantitasnya tidak sebanyak itu, sehingga kita masih sangat struggling dalam mencapai funding maupun kerjasama co-production yang lebih besar. Membuat langsung film ke dua adalah salah satu upaya saya untuk membantu Indonesia eksis dalam skena perfilman internasional dan membuka peluang-peluang kerjasama selanjutnya yang tidak hanya untuk film saya, tetapi juga untuk ekosistem perfilman kita.
(Ifdal Ichlasul Amal)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News