Wregas Bhanuteja mengarahkan Shenina Cinnamon dalam syuting Penyalin Cahaya (Foto: Rekata Pictures)
Wregas Bhanuteja mengarahkan Shenina Cinnamon dalam syuting Penyalin Cahaya (Foto: Rekata Pictures)

Wawancara Eksklusif Wregas Bhanuteja, Berpihak pada Korban Kekerasan Seksual lewat Penyalin Cahaya

Medcom • 17 Oktober 2021 09:00

Kembali ke cerita Penyalin Cahaya, dari film-film mas wregas sebelumnya, seperti Prenjak, Lemantun, Tak ada yang Gila di Kota Ini hampir semua mengangkat isu sosial, hal apa yang membuat seorang Wregas Bhanuteja seringkali membuat film dengan mengangkat isu sosial?
 
Hal yang membuat pola pikir saya berubah itu sebenarnya adik saya. Jadi, adik saya itu adalah seorang yang bergerak di dunia penelitian. Dia seorang farmakolog, meneliti obat, penyakit. yang dia lakukan tentu saja membuat kehidupan kita menjadi lebih baik. Misalkan kita menemukan suatu penyakit atau kendala, dia mengupayakan untuk penyakit itu tidak ada lagi yang mana saya rasa kontribusinya nyata terhadap sosial.
 
Saya berpikir film yang dibuat dengan budget besar sekali, melibatkan orang yang banyak sekali dengan waktu yang sangat panjang, masa hanya sekadar dibuat untuk hiburan? Ya agak sayang saja gitu. Kalau membuat film untuk hiburan itu biarkan filmmaker lain aja yang melakukan karena sudah banyak, kan? Saya berpikir setidaknya yang saya bikin itu mengubah. Mengubah pola pikir, membenahi apa yang kira-kira selama ini salah tidak pernah dikoreksi dan dibenahi menjadi semakin lebih baik.

Makanya, yang saya angkat kebanyakan tentang isu-isu sosial seperti Tak Ada yang Gila di Kota Ini tentang kesehatan mental, Lemantun, isu keluarga yang membanding-bandingkan kelas dan pencapaian. Jadi, jika ada kalimat film itu adalah media yang sangat efektif buat bercerita aku rasa harus digunakan untuk membenahi satu yang harus dikoreksi.
 
Wawancara Eksklusif Wregas Bhanuteja, Berpihak pada Korban Kekerasan Seksual lewat Penyalin Cahaya
 
Selain durasi, apa yang membedakan Penyalin Cahaya dengan film Wregas sebelumnya?
 
Secara bahasa, Penyalin Cahaya menggunakan bahasa Indonesia. Film-film saya sebelumnya itu kebanyakan bahasa Jawa karena set yang saya pakai adalah di Jogja. Untuk menunjang realitas, kebetulan masyarakat jogja lebih banyak menggunakan bahasa Jawa jadi saya menggunakan bahasa Jawa, tetapi setting yang dipilih di film ini adalah Jakarta. Kenapa Jakarta? karena Jakarta adalah tempat pertemuan orang-orang dengan berbagai macam kultur, dan background. Apalagi di suatu universitas tuh dia percampuran dari berbagai macam daerah gitu jadi saya rasa bisa merepresentasikan kondisi Indonesia gitu dengan berbagai point of view yang ada.
 
Pertimbangan berikutnya karena bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan semua orang bisa memahami bahasa tersebut, sehingga cakupan message-nya luas. Kalau menggunakan bahasa daerah bisa saja, tapi ada satu degradasi yaitu subtitle. Orang jadi harus membaca subtitle yang pasti membuat pengalaman menontonnya tidak akan semurni jika dibandingkan dengan hanya menonton visual dan audio saja. Jadi, saya rasa penggunaan bahasa Indonesia ternilai lebih efisien dipakai untuk membuat message ini tersebar lebih efektif.
 
Kedua, berbeda dari gaya sinematografi dan shot-nya. Film-film pendek saya yang sebelumnya memiliki kecenderungan untuk dalam satu scene hanya menggunakan dua shot yang simple, kamera statis, dan tidak mengikuti pergerakan pemain. Ini sangat bertolak belakang dengan film Penyalin Cahaya. Di film ini, satu scene bisa 5 shot, terus handheld, kamera bisa dinamis mengikuti pergerakan pemain karena aku ingin membawa suatu emosi dan nuansa dimana karakter tidak memiliki ruang untuk beristirahat dan dia harus selalu bergerak, begerak, bergerak gitu. jadi mungkin secara sinematografinya cukup berbeda.
 
Bagaimana seorang Wregas menginterpretasikan ide dan emosi naskah ke layar?
 
Aku merasa emosi itu adalah bahasa yang universal. Misalnya, kita dari Indonesia dan luar negeri itu language-nya bisa berbeda, tetapi emosinya sama kan. marah, ketawa, sedih tuh sama. Aku memang memakai emosi itu sebagai suatu patokan utama dalam bertutur. Nah, caranya adalah dengan mengolah performa.
 
Jadi, kalau selama ini akting tuh selalu menjadi nomor ke sekian, selalu yang utama tuh artistiknya sama sinematografinya aja. Tetapi sekarang saya berubah pikiran. Ternyata yang dilihat penonton itu mata pemain. Mata pemain itu bisa berbicara walaupun aktor itu diam, tetapi matanya bisa mengatakan kalau di itu lapar, marah tanpa harus dia berkata-kata. Itu semua terpancar dari mata. Jadi yang saya prioritaskan di film ini adalah kekuatan mata. saya banyak menggunakan shot-shot yang padat yang dekat, yang menunjukkan mata pemain. dan saya juga berbicara kepada para pemain bahwa tidak melulu emosi itu ditunjukkan dengan raut muka yang berubah-ubah dan alis yang mengernyit, tapi coba semua itu kamu ekspresikan lewat matamu saja.
 
Jadi, saya sedang mengeksplor dan mentransfer emosi dari sisi itu. saya juga tidak terlalu banyak menggunakan musik latar yang mendramatisasi, misalkan suasana sedang sedih, maka musiknya dibuat daramatisasi sedih bisa dibilang hampir tidak ada. Semua musik di film ini datang dari dunia realitas. misalnya dia lagi memutar tape atau radio, ya musiknya datang dari situ. Jadi pure seni peran lah yang menjadi kekuatan utama untuk mentransfer emosi.
 
Wawancara Eksklusif Wregas Bhanuteja, Berpihak pada Korban Kekerasan Seksual lewat Penyalin Cahaya
 
Kapan jadwal tayang Penyalin Cahaya di Indonesia?
 
Nah, setelah Busan, kami masih melihat-lihat sebetulnya ruang screening seperti apa yang paling baik untuk film kita, karena sebenarnya kondisi pandemi itu serba tidak pasti. Kita masih perlu waktu untuk mengumumkan jadwal tayang, tetapi tentunya tidak akan jeda lama sekali.
 
Apa proyek terdekat Wregas setelah Penyalin Cahaya?
 
Saya berpikir setelah ini tidak perlu terlarut berlama-lama. Apa yang bisa dikerjakan, ya langsung segera menulis skenario untuk film kedua.
 
Film panjang?
 
Betul, film panjang lagi. karena kontinuitas dalam membuat film selagi energi, modal, dan kesempatannya ada harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Kenapa? Ya, tentunya selain karena pekerjaan saya adalah sebagai sutradara, jika kita berbicara soal bagaimana kita membantu Indonesia meletakkan posisi negara dalam skena film Internasional.
 
Kita itu masih sangat jauh tertinggal dari segi kuantitas film. Dibandingkan dengan negara negara seperti Korea, Jepang, Thailand, setiap tahun selalu ada lebih dari satu film yang beredar dalam sirkuit film Internasional. Bahkan lebih dari lima. Hal ini membuat banyak sekali peluang kerja sama dengan negara tersebut, mulai dari funding co-production, sampai laboratorium penulisan. Itu semua dapat terjadi karena negara tersebut sudah dipercaya sebagai negara yang aktif memproduksi film.
 
Nah Indonesia itu kuantitasnya tidak sebanyak itu, sehingga kita masih sangat struggling dalam mencapai funding maupun kerjasama co-production yang lebih besar. Membuat langsung film ke dua adalah salah satu upaya saya untuk membantu Indonesia eksis dalam skena perfilman internasional dan membuka peluang-peluang kerjasama selanjutnya yang tidak hanya untuk film saya, tetapi juga untuk ekosistem perfilman kita.
 
(Ifdal Ichlasul Amal)
 


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(ASA)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan