Sutradara Adriyanto Dewo (Foto: via Rich Music/Swan Studio)
Sutradara Adriyanto Dewo (Foto: via Rich Music/Swan Studio)

Wawancara Eksklusif Adriyanto Dewo, Mengangkat Tragedi Skena Musik Underground Bandung lewat Film Galang

Medcom • 24 November 2021 10:58
Film Galang akan dirilis pada akhir tahun ini. Film arahan sutradara Adriyanto Dewo itu dikerjakan di bawah naungan rumah produksi Rich Musik dan Swan Studio. Satu hal menarik dari proyek ini lantaran film Galang menjadi film fiksi yang terinspirasi dari tragedi nyata yang pernah terjadi di Bandung, tahun 2008. Peristiwa nahas itu bermula dari sebuah konser peluncuran album band Beside yang berakhir tragis dengan meninggalnya 11 orang penonton.
 
Dipilihnya Adriyanto Dewo sebagai sutradara bukan hal yang sembarang. Ia merupakan sutradara film bertalenta dengan sejumlah prestasi yang telah diukir olehnya. Di tahun 2014, ia menorehkan prestasi di Festival Film Indonesia sebagai Sutradara Terbaik. Penghargaan itu ia dapatkan lewat filmnya yang berjudul Tabula Rasa. Selanjutnya, di tahun 2020 Festival Film Indonesia menyambut kedatangannya kembali dengan memberi penghargaan sebagai Penulis Skenario Asli Terbaik lewat Film Mudik. Tak berhenti sapai di situ, di tahun yang sama dengan film yang sama juga sutradara 37 tahun ini memenangkan Skenario Asli Terpilih di ajang Piala Maya.
 
Adriyanto Waskito Dewo lahir pada tanggal 13 Desember 1983. Ia merupakan seorang sutradara lulusan Institut Kesenian Jakarta yang mengawali karier perfilmannya pada tahun 2003. Tahun itu dijelajahinya lewat film Kejadian sebagai sutradara dan penulis cerita. Perjalanan kreatifnya hingga sampai pada film Galang tidaklah singkat. Sebelumnya ia telah melangkahkan kakinya lewat sejumlah film, antara lain Kara, Anak Sebatang Pohon (2005), Sang Dewi (2007), The Story Teller (2008), Song of The Silent Heroes (2010), Hi5teria (2012), Sanubari Jakarta (2012), Waiting for Colors (2012), Tabula Rasa (2014), Heaven is not a Place (2015), Lima (2018), dan Mudik (2019).

Selain berlatar di Bandung tahun 2008, hal yang unik dari film Galang adalah tokoh utamanya. Adalah Elang El Gibran yang mendapat kepercayaan berperan sebagai Galang. Tentu ini menjadi pertaruhan besar Elang dalam karier aktingnya, mengingat dirinya mengembang tanggungjawab besar berperan sebagai Galang, dalam karier aktingnya yang terbilang muda.
 
Selain Elang El Gibran, Asmara Abigail dan Agra Piliang turut menampilkan akting terbaiknya dalam film ini.
 
Di tengah kesibukannya menjalankan proses post-production film Galang, Adriyanto Dewo menyempatkan waktu  untuk berbincang bersama Medcom.id. Bahasan yang lugas dan santai menyelimuti perbincangan kami seputar film Galang, musik, hingga nyala api perfilman Indonesia.
 
 
Apa garis besar kisah yang diangkat dalam film Galang?
 
Film Galang bercerita tentang pemuda di Bandung tahun 2008. Ia bernama Galang seperti judul filmnya. Ya, menceritakan tentang Galang yang berusaha melawan atau struggle dengan rasa bersalahnya karena dia mengalami sebuah tragedi dalam keliarganya yang melibatkan konser musik. Berkisah tentang perjalanan satu karakter yang mengarungi konflik-konflik internal di dalam dirinya. Kurang lebih seperti itu sih.
 
 
Siapa yang menginisiasi lahirnya film Galang?
 
Pada awal tahun ini tiba-tiba saya diajak ke Bandung oleh produsernya, Pak Syaiful Wathan, Amanda Fadillah Iswan dari Swan Studio. Pada saat itu saya nggak tahu akan ada apa. Pokoknya disuruh datang dan diberi tahu bahwa akan ada sebuah proyek film. Akhirnya saya datang dan ternyata di suatu ruangan itu berisi “pentolan-pentolan” (musik) underground. Seperti beberapa orang dari Burgerkill (Almarhum Ebenz dan Kimung), ada mantan jurnalis musik dari Rolling Stone, dan orang-orang yang dekat dengan skena musik. Pada saat itu ide ceritanya belum ada. Akhirnya kita ngobrol-ngobrol dan saya menyerap satu ide dari obrolan itu. Satu ide yang memang worth to tell a story, untuk dijadikan sebuah film. Dari pertemuan itu akhirnya saya tertarik dengan sebuah periode di bandung tahun 2008. Lalu saya bekerja sama dengan penulis skenario bernama Tumpal Tampubolon yang sebelumnya memang kami sudah sering kerja bareng. Kita berbincang-bincang dan akhirnya setelah sebulan, kita menemukan sebuah premis si karakter Galang ini dan apa yang ia lalui.
 
Wawancara Eksklusif Adriyanto Dewo, Mengangkat Tragedi Skena Musik Underground Bandung lewat Film Galang
(Sutradara Adriyanto Dewo dalam syuting film Galang. Foto: via Rich Music/Swan Studio)
 
 
Mengapa seorang Adriyanto Dewo mengiyakan sebuah tawaran untuk menggarap film bertemakan musik?
 
Sebenarnya sudah menjadi impian saya sejak lama untuk membuat film tentang musik. Pernah ada ide juga tentang record label tahun 60/70-an tapi masih belum terealisasi. Karena memang saya suka dengan musik, terutama yang bergenre rock begitu. Ya, dari kecil udah didoktrin juga sih sama ayah musik-musik seperti Led Zeppelin, Pink Floyd, Rush, dan semacamnya. Lalu waktu saya SMA tahun 90-an, lumayan booming kan musik-musik nu-metal seperti Korn dan salah satu band rock progressive Dream Theatre itu saya suka banget.
 
Dulu juga sebenarnya sempat terpikir untuk kuliah musik karena memang sudah interest di bidang seni tapi akhirnya memutuskan kuliah film dan musik dijadikan sekedar hobi saja. Jadi, membuat film tentang musik itu memang sebuah impian saya sejak lama. Selain itu juga udah cukup lama di Indonesia tidak ada yang mengangkat film fiksi tentang skena. Tapi, ya, karena filmnya fiksi jadi yang disorot lebih mengerucut ke satu karakter bukan ke skena itu sendiri.
 

Ide cerita film Galang berangkat dari mana?
 
Ide cerita awalnya kita ambil dari sebuah periode waktu yang menurut saya jadi dasar untuk karakter Galang ini memiliki konflik. Jadi, memang latarnya terlebih dahulu, konflik, lalu menentukan goals karakternya. Karakter Galang ini sangat unik. Kita melihat film musik, tetapi karakter utamanya bukan musisi, melainkan orang biasa yang perlahan masuk ke skena musik. Ya, motivasi dia masuk ke skena itu juga luar biasa, sih karena ia mengalami satu tragedi dan ingin get over it, tetapi dia malah masuk ke skena musik yang dia nggak suka. Jadi sangat kontradiktif dan bertolak belakang.
 

Mengapa memilih latar waktu 2008?
 
Ya, sebenarnya ada suatu kejadian di 9 Februari 2008. Pada saat itu ada konser di AACC (Asia Afrika Culture Centre) 11 orang meninggal. Setelah ada kejadian itu, musik-musik dengan aliran ini (underground) absen konser selama satu tahun di Bandung karena dilarang. Itu latar belakangnya, lalu kita masukkan ke karakter dan kita buat menjadi fiksi.
 

Dalam membuat film dengan gaya retro ini, kesulitan apa yang ditemukan dan bagaimana risetnya?
 
Kesulitan sih dari segi teknis nggak terlalu ada karena kita hanya menghindari mobil-mobil di jalanan yang tidak ada di tahun 2008. Selebihnya kita menggunakan properti yang ada di tahun itu. Hal yang paling banyak kami lakukan adalah riset. Riset di dunia musiknya, riset tentang skena, wardrobe, gaya-gaya berpakaian dan hal-hal lain yang sesuai dengan tahun itu.
 
Wawancara Eksklusif Adriyanto Dewo, Mengangkat Tragedi Skena Musik Underground Bandung lewat Film Galang
(Elang El Gibran. Foto: via Rich Music/Swan Studio)
 

Mengapa memilih Elang El Gibran, dan Agra Piliang sebagai pemeran utama mengingat nama mereka yang tidak terlalu besar?
 
Kalau Elang memang sebelum film Galang saya sudah pernah syuting bersama dia untuk film One Night Stand di Bioskop Online. Secara umur sesuai dengan karakternya dan secara karakter juga saya berpikiran bahwa tidak ada yang bisa memerankan tokoh Galang selain Elang. Selain itu saya manggilnya juga masih sama,  “Lang… Lang… Lang,” ha-ha-ha.
 
Kalau Agra, karena karakternya di sini musisi yang agak kompleks. Di satu sisi nyentrik dan di sisi lainnya “gelap”. Agra juga sempat ngobrol sama saya dan saya melihat ada kesamaan perjalanan hidup antara Agra Piliang dan tokoh Irfan di film ini.
 
 
 
Halaman Selanjutnya
  Apa yang membedakan film…
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan