Imlek 2016

Menelusuri Makna Arsitektur Tiongkok (1)

Sobih AW Adnan • 16 Februari 2016 13:05
medcom.id, Cirebon: Di salah satu sudut kota-kota -baik besar maupun kecil- pasti terdapat pecinan. Perkampungan tempat tinggal komunitas keturunan Tionghoa yang mudah dikenali dari bentuk bangunannya yang khas dan didominasi warna merah menyalanya.
 
Pecinan umumnya berada tidak jauh dari pelabuhan atau pantai yang di masa lalu merupakan pintu perdagangan, juga pergaulan dengan dunia. Pada pedagang dari Tiongkok mulanya mendirikan kelenteng sebagai tempat ibadah sejaligus peristirahatan.
 
Lambat laun anak keturunannya mendirikan rumah tinggal dan tempat usaha di sekitar kelenteng. Di dalam perkembangannya, tidak sedikit yang menjadi pusat perekonomian kota bersangkutan. Belakangan, pecinan bahkan didorong sebagai tempat wisata bersejarah yang sekaligus menegaskan keberagaman Indonesia.

Pengamat seni arsitektur dan budaya Tionghoa, Jeremy Huang, menyebutkan hampir di setiap lekuk ruang bangunan milik Tionghoa memiliki simbol-simbol yang mengandung pemaknaan tersendiri.
 
“Yang paling lumrah adalah fasad (bagian muka/wajah bagunan), di atas membentuk setengah lingkaran. Ini adalah simbol bumi dan bumi adalah lambang kehidupan. Maka pola setengah lingkaran ini maknanya bangunan dan rumah tinggal adalah bagian dari kehidupan,” kata Jeremy kepada Metrotvnews.com.
 
Selain itu, keunikan yang khas pada bangunan yang dimiliki komunitas Tionghoa adalah atap yang cenderung berpola bergelombang. Jeremy meyakinkan corak ini mengadopsi pada pemaknaan dinamika hidup yang kadang beruntung dan kadang tertimpa ujian.
 
“Sebagian besar bangunan milik orang Tionghoa juga menghadap ke arah matahari terbit, yakni arah timur. Ini juga mengandung makna bahwa masyarakat harus senantiasa siap dalam menyambut dan menyongsong kehidupan,” ujar Jeremy.
 
Tidak hanya sebatas itu, pada bagian dalam bangunan, kata Jeremy, biasanya mereka memberikan ruang khusus tanpa atap yang difungsikan untuk memberi akses masuk sinar matahari dan udara. Ruang kosong ini juga memiliki pemaknaan yang cukup dalam, yakni pendirian rumah harus disiapkan sebagai penampung rezeki dan penolak segala penyakit.
 
“Bagian dapur biasanya disekat dengan lemari, kayu atau diberi sedikit belokan. Hal ini agar dapur yang cenderung dilambangkan sebagai akses keluar rezeki bisa dipisahkan dengan bangunan rumah yang diniatkan sebagai semangat menampung rezeki,” kata dia.
 
Menurut budayawan Cirebon, Nurdin M. Noer, sangat disayangkan bangunan khas Tiongkok mengalami pengurangan yang signifikan. Sejak 1966 sampai 1970 simbol-simbol luhur ini terus berkurang dan hanya bertahan untuk rumah-rumah ibadah.
 
Pecinan di Cirebon antara lain ada di Pekiringan, Lemahwungkuk, Talang dan Karang Getas. Namuntidak ada lagi simbol-simbol dua naga yang di bagian atas rumah yang biasanya menjadi ciri utama kampung pecinan.
 
“Dulu di wilayah Jamblang, Cirebon juga masih tersisa beberapa bangunan khas Tionghoa. Sayangnya sekarang sudah berubahSekarang apa yang disebut dengan kampung pecinan terus mengalami penurunan identitas. Orang-orang terus memperbaharui bangunan secara lebih modern sehingga terkesan mengabaikan makna-makna secara filosofis,” kata Nurdin.
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LHE)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan