Sapardi Djoko Damono (Foto:Metrotvnews.com/Putu Radar B)
Sapardi Djoko Damono (Foto:Metrotvnews.com/Putu Radar B)

Sapardi Djoko Damono, 50 Tahun Pantang Menulis Puisi dalam Keadaan Marah

Putu Radar Bahurekso • 07 Februari 2016 14:11
medcom.id, Jakarta: Sastrawan Sapardi Djoko Damono menggelar pembacaan puisi karya miliknya, bersama ketiga orang mantan mahasiswanya.
 
Ketiga mantan mahasiswa Sapardi tersebut bernama Tatyana, Michael, dan Dymussaga. Pada acara bertema Puisi Dalam Nada, Sapardi dan Dymussaga secara bergantian membaca puisi. Sedangkan, Tatyana dan Michael bernyanyi di sela-sela pembacaan puisi, sekaligus mengiringi pembacaan puisi dengan alunan gitar.
 
Acara dibuka oleh Tatyana dan Michael dengan lagu berjudul Lanskap yang juga merupakan puisi buatan Sapardi, kemudian dijadikan lagu.

Setelah itu, Dymassaga melanjutkan membaca puisi karya Sapardi yang berjudul Layang-Layang, sebuah puisi yang bercerita tentang kehidupan masa anak-anak.
 
Disambung Sapardi membacakan puisi berjudul Tentang Mahasiswa yang Mati. Ini adalah puisi yang ditulis Sapardi pada 1996.
 
"Saya pertama membacakan puisi ini dulu di Taman Ismail Marzuki. Habis itu, saya dianggap berani menuliskan dan membacakan puisi ini. Soalnya kan waktu itu masih pemerintahan Orba," kata Sapardi mengisahkan latar belakang puisi tersebut, ketika dijumpai di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta Pusat, Sabtu (7/2/2016).
 
Sapardi membagi jurusnya dalam menciptakan puisi. Dia pantang menulis puisi dalam keadaan sedang dikuasai amarah.
 
"Selama saya menulis lebih dari 50 tahun, ada yang saya sadari. Kalau lagi marah tidak boleh menulis puisi. Kalau mau nulis harus tenang dulu. Dari sebuah kejadian yang bikin perasaan emosi harus ada jarak dulu sebelum menulis. Itu disebut jarak estetis," jelas Sapardi.
 
Total, Sapardi dan Dymassaga membacakan 12 puisi karya Sapardi. Beberapa kali juga Sapardi menceritakan kisah di balik puisinya tersebut. Salah satunya adalah puisi yang berjudul Berjalan ke Barat di  Waktu Pagi Hari.
 
"Puisi ini bercerita tentang menulis puisi itu gampang. Puisi itu ada di sekitar kita, bukan yang tinggi-tinggi. Puisi ini sudah diterjemahkan lebih dari 20 bahasa dan masuk antalogi sastra di Amerika Serikat," kata Sapardi.
 
Pada novel Sapardi yang berjudul Hujan Bulan Juni, terdapat satu bagian yang menceritakan tentang Jakarta. Bacaan tersebut dibacakan oleh Dymassaga. Acara tersebut ditutup dengan lantunan lagu yang dinyanyikan Tatyana dan Michael.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ROS)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan