Ini karena para pendatang dari seberang lautan tidak lagi singgah, tapi banyak yang memilih menetap dan berinteraksi aksi dengan warga lokal. Tentu saja menikah dengan warga setempat.
"Sejak 1700 hingga 1970-an, di Cirebon populer sebutan Babah untuk pria Tionghoa yang menikahi putri Jawa. Sementara istilah Nyai untuk menyapa gadis Tionghoa yang dinikahi oleh bangsawan pribumi," kata pemerhati budaya Tionghoa Jeremy Huang kepada Metrotvnews.com.
Keberadaan para saudagar dan pelaut asal Tiongkok yang lebih memilih untuk membangun kehidupan rumah tangga di Jawa bukan tanpa sebab. Di antara larangan kaisar kepada para saudagar perantau pergi bersama pasangannya.
"Abad 17 sampai 19 ada peraturan di Cina yang menyatakan, khususnya bagi pria, tidak boleh membawa sang istri merantau. Jadi, mereka lebih memilih untuk menetap di sini," kata dia.
Pada era kolonial Belanda, sebutan Babah dan Nyai sempat bergeser. Namun kedua sebutan tadi masih tetap dikenal di kalangan masyarakat Tionghoa. "Orang Belanda menyebut perempuan yang menkahi orang Tionghoa dengan sebutan Nona atau Nyonya. Sementara Taoke, sebutan bagi pria Tionghoa yang kaya," ujar Jeremy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News