Sidi (kanan).
Sidi (kanan).

"Maryam" Gairah Film Sidi

Agustinus Shindu Alpito • 15 Oktober 2014 16:51

 Setelah 64 tahun lampau Usmar Ismail menggarap film “Darah dan Doa”, yang ditandai sebagai film pertama karya anak bangsa, sebuah film pendek Indonesia berjudul “Maryam” berhasil menorehkan prestasi membanggakan. Menang dalam ajang Venice International Film Festival 2014.
 
Venice International Film Festival bukan sembarang festival. Festival ini merupakan festival film tertua di dunia, dan paling bergengsi. Sejak pertama dihelat pada 1932, Venice International Film Festival menjadi ajang yang selalu dibidik para sineas seluruh dunia.
 
Tercatatnya “Maryam” sebagai peraih The Orrizonti award for Best Shorts Film, tentu menjadi sejarah tersendiri bagi perjalanan sinema di Indonesia. Kita tahu bahwa sinema di Indonesia tidak lepas dari pergunjingan. Baik dari segi konten, para pelaku industri, buruknya pengarsipan, literasi masyarakat dalam menikmati film, hingga kacaunya ajang Festival Film Indonesia yang selalu saja menuai cerca.

Tentang “Maryam”

“Maryam” merupakan film berdurasi 18 menit yang disutradarai Sidi Saleh. Film ini bercerita tentang keadaan kala seorang pembantu rumah tangga bernama Maryam (Meyke Verina) bekerja pada sebuah keluarga Katholik. Salah satu anggota keluarga majikan Maryam adalah penderita autisme (diperankan oleh Ardianto Sinaga).
 
Pada 24 Desember, Maryam mengemban tugas untuk menjaga penderita autis itu di rumah. Mereka hanya berdua. Penderita autis yang dipanggil Maryam dengan sebutan Tuan itu kira-kira berusia 40 tahun. Jauh di atas usia Maryam yang terlihat seperti perempuan berusia 25 tahun.
 
Tidak ada yang janggal selama mereka berdua di rumah, sampai Tuan menyadari bahwa hari itu adalah tanggal 24 Desember.
Sebagai penganut Katholik, Tuan merengek ingin pergi ke gereja untuk ikut misa malam Natal. Hal ini menimbulkan konflik internal bagi Maryam yang seorang muslim dan tidak memiliki banyak referensi tentang agama selain yang dianutnya. Selama 18 menit, Sidi menyuguhkan dua karakter yang sangat menarik terlibat dalam satu irisan kejadian yang rumit, namun penuh makna.
 
“’Maryam’ itu proses melatih diri gue untuk memilah. Menarik apa enggak masalah ini? Dasarnya, ada 1001 kemungkinan gue lahir (dan lantas) jadi Kristen, Islam, atau Budha. Ada 1001 kemungkinan juga gue beruntung, ada 1001 kemungkinan gue enggak beruntung. Ada 1001 kemungkinan gue lahir jadi normal, ada 1001 kemungkinan gue lahir jadi cacat.  Artinya, kita nggak bisa nge-judge orang,” kata Sidi kepada medcom.id saat ditemui di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
 
Sidi Saleh bukan orang baru dalam meramu sebuah kisah dalam bentuk film pendek. Bukan orang baru juga dalam pentas festival film kelas internasional. “Maryam” adalah gong dalam karier Sidi yang sebelumnya sudah cukup membanggakan dengan berbagai raihan.  Salah satunya, film arahan Sidi berjudul “Fitri” yang berhasil diputar dalam ajang Clermont Ferrand Film Festival 2014 di Prancis.
 
Melalui “Maryam” Sidi mengajak penonton untuk membuka pikiran tentang konsep diri. Meski balutan yang digunakan Sidi dalam hal ini adalah kisah dua tokoh yang berbeda agama, tetapi konteks yang disuguhkan lebih dalam dari itu.
 
“Gue harus menggambarkan, mungkin jangan-jangan orang yang secara fisik dianggap kurang beruntung, itu sebenarnya adalah orang yang beruntung dibanding kita yang normal. Mungkin mereka enggak punya beban dan pikiran seperti kita. Dan itu jauh lebih sehat dari kita yang normal yang masih penuh dengan norma dan batasan-batasan,” kata Sidi.
 
“Si tokoh autis ini, enggak mikirin lu siapa. Mereka mikir lu sama kayak dirinya, gue enggak ngomongin agama. sesimpel ‘kalau gue lahir di hutan, ya gue jadi tarzan. meskipun gue anak profesor kalau gue waktu lahir ketinggalan di hutan ya gue gedenya enggak jadi profesor’ se-simpel itu,” sambung Sidi.
 
Film memang menimbulkan banyak interpretasi di benak penontonnya yang tentu berbeda dari satu kepala dengan kepala lainnya. Agama, memang isu yang sangat seksi untuk diperbincangkan. Entah di Eropa sana, atau di warung kopi tepi rel di kawasan Senen. “Maryam” memang seolah mencitrakan harmoni antara dua manusia yang kontras. Dari keadaan jasmani sampai rohani.
 
“Gue membuat film ada kisah agama, enggak lantas membuat film itu jadi agamis. Gue pemubat film, gue lahir dari keluarga Islam. artinya sepanjang proses hidup gue dijalani dalam lingkungan Islam. Ini bukan kisah agama, kecuali kalau gue membenamkan semua khaidah agama dalam film. Kalau itu beda lagi, itu namanya jadi kotbah. Yang gue angkat bukan agamanya, tapi settingnya (yang memakai agama),” tegas Sidi.
 
Terlepas dari penjelasan Sidi, “Maryam” telah hidup dan berbicara sendiri. “Maryam” telah menyulut interpretasi penonton lintas benua dan memukau para juri yang salah satunya adalah David Chase, orang di balik serial televisi sukses, “The Sopranos”.
 
“Maryam” merupakan karya ke-tiga Sidi yang memanfaatkan momentum perayaan kolosan sebagai latar cerita. Sebelumnya, Sidi pernah membuat film dengan latar malam tahun baru. Film itu diberi judul “Full Moon”. Kemudian, Sidi juga membuat film pendek berjudul “Fitri” yang mengambil latar pada saat malam takbiran menjelang hari raya Idul Fitri. Tidak ada rekayasa waktu yang digunakan Sidi dalam menggarap “Full Moon”, “Fitri”, dan “Maryam”.

Maryam Gairah Film Sidi
 
Masyarakat, Film, dan Industri

 
Sidi lahir dari keluarga yang memang dekat dengan film. Almarhum ayah Sidi adalah seorang penyedia jasa rekaman pernikahan. Sidi kecil sudah akrab dengan berbagai alat-alat syuting. Dekat dengan kamera video tidak lantas membuat Sidi kecil tertarik dengan sinema. Nyatanya, Sidi kecil dengan berat hati membantu sang ayah untuk menyunting video.
 
Satu hal yang menjadi benang merah antara film, Sidi saat ini dan Sidi sewaktu kecil adalah hobinya menonton film yang cukup militan. Sidi mengaku kerap membolos sekolah di akhir pekan hanya untuk melihat film yang diputar dari VCD. Orangtua Sidi mengetahui hobi ini dan menyalurkannya dengan membuka rental VCD dengan Sidi sebagai penjaganya.
 
Sinema telah menjadi bagian dari hidup Sidi. Piala bukan sebagai titik akhir. Sidi mengaku bahwa prestasi besar ini semakin menyadarkannya akan apa yang terjadi di Indonesia, terutama dalam lingkup film dan sinema.
 
“Film dilihat sebagai komoditas, pelaku bisnis film di Indonesia itu pintar. Banyak orang menganggap film indonesia cupu (culun), kalau gue berpikir beda. Gue pernah ngobrol dengan produser bahwa mereka tahu film apa yang laku di lokal. Mereka sengaja membuat film itu, meski pun mereka tahu kualitasnya. Bukan karena mereka tidak punya pengetahuan tentang film berkualitas. Tetapi itulah yang laku di pasaran,” kata Sidi.
 
Melihat hal itu, Sidi beropini bahwa dibutuhkan langkah kolaboratif dari semua pihak untuk membangun literasi masyarakat dalam melihat dan memaknai film.
 
“Gue mengubah sudut pandang. Film harus dijembatani dengan baik, tapi perlu modal. Di sini tempat pemutaran film sangat sedikit, wadah untuk apresiasi masih sedikit.  Orang perlu diliterasi. Paling tidak ada konsen yang kuat dari media untuk memberikan yang berkualitas. Untuk membentuk masyarakat yang bagus, harus disuplai dengan sesuatu yang bagus. Materi yang bagus,” ujar Sidi.
 
Apa yang terjadi pada industri film di Indonesia saat ini bukan berarti menyulut sikap apatis Sidi. Berbekal keyakinan yang besar, Sidi menunjukkan rasa optimisnya dengan terus berkarya.
 
“Kalau sampai hari ini, gue yakin Badan Perfilman Indonesia sedang mengeluarkan enegi besar untuk dunia film. Tetapi hasilnya enggak mungkin terlihat dalam satu atau dua tahun. Gue percaya ini bagian dari proses. kayak gue dapet penghargaan di Venice, gue anggap beruntung, tetapi juga gua anggap bagian dari proses yang gue jalani,” kata Sidi.

Setelah “Maryam”
 
Maryam duduk bersama Tuan di bangku umum trotoar. Pandangannya sejuk, teduh, dan penuh kasih. Maryam berhasil melewati konflik dalam dirinya, sedangkan Tuan berhasil menjalin sebuah hubungan yang mungkin tidak pernah dia sadari. Tuan tetaplah Tuan dengan segala yang terjadi pada dirinya, begitu juga Maryam. Sidi tidak akan berhenti di “Maryam” dan mungkin akan banyak tokoh-tokoh fiktif lain yang akan lahir dari benak Sidi. Tokoh yang mampu hidup dan berbicara kepada para penonton.
 
“Penghargaan di Venice itu gede dampaknya, mungkin dulu gue bukan siapa-siapa. Sekarang lebih luas nama gue didengar. Sudah ada rumah produksi besar yang ajak ketemu dan itu memotivasi gue. Gue hanya berharap kesempatan ini gue lakuin dengan baik,” kata Sidi.
 
Kepada sineas lain, Sidi juga memberi sedikit paradigmanya tentang pola pikir dalam membuat film. “Kalau lu mau lakuin, jangan mikir terlambat atau enggak. Asalkan lu lakuin dengan suka enggak ada yang terlambat. Jangan mikir penghargaan yang akan diraih dulu. Gue sendiri belajar itu. Lakuin. Yang penting lu senang,” tutup Sidi.


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIT)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan