Jakarta: PP Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik sempat membawa angin segar kepada musisi. Melalui PP ini, sejumlah layanan publik seperti kafe hingga hotel yang memutar lagu wajib membayar royalti.
Dalam PP 56 tahun 2021 kemudian diatur mengenai Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang menghimpun royalti. Indonesian Center for Legislative Drafting (ICLD) berinisiatif membedah keberadaan LMKN, baik dari sisi kedudukan, kewenangan dan pertanggungjawaban keuangannya.
Para ahli dan profesor di bidang hukum dihadirkan ICLD dalam webinar bertajuk "Menyoal Lembaga Manajemen Kolektif Nasional". Guru Besar Fakultas Hukum UI, Prof Dr. Agus Sardjono S.H, M.H menjabarkan, LMKN pada dasarnya merupakan lembaga yang dibuat untuk mewakili pecipta dan pembuat lagu dalam menegakkan hak-haknya. Agus kemudian menjabarkan sisi historis sebelum LMKN ada.
"Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) seperti KCI (Karya Cipta Indonesia), PAMMI (Persatuan Musik Melayu Dangdut Indonesia) dan lainnya, mereka ini pada tahun 2012 atau 2013 berusaha memperbaiki mekanisme penarikan royalti. Akar masalahnya ketika pengguna (pembayar royalti) didatangi beberapa orang atau lembaga yang menarik royalti. Maka itu, ada ide federasi berbadan hukum yang terdiri dari LMK-LMK," jelas Agus Sardjono dalam keterangan tertulisnya.
"Kemudian disepakati untuk lahirnya single gate system (atau sistem satu pintu) dalam proses pemungutan royalti," lanjutnya.
Usulan itu, lanjut Agus, dimuat dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan terbentuknya Lembaga Manajemen Kolektif nasional (dengan huruf N kecil). LMKn terdiri dari sejumlah LMK-LMK yang ada di Indonesia.
"Jadi ada LMK, ada LMKN yang terpisah. Nah, kata nasional ditulis dalam huruf kecil di UU Hak Cipta ini sengaja ditulis terpisah dengan LMK. Hal itu hanya bisa dipahami bahwa menurut UU Hak Cipta, LMKN adalah LMK juga, bukan sesuatu yang lain," paparnya.
Namun dalam perjalanannya, kata Agus, konsep LMKn berubah menjadi LMKN (huruf N besar) dan ditempelkan langsung. Perubahan konsep itu semakin dipertegas oleh PP 56 tahun 2021 yang menyebut LMKN bukan LMK yang secara hukum perdata mewakili para pemilik hak.
"Kita tahu anggota LMKN ini dipilih oleh pansel (panitia seleksi), dan mereka tidak mendapat kuasa dari para pemilik hak, melainkan mendapat kewenangan dari otoritas publik, yakni Menteri," ujar Prof Dr. Agus.
FOLLOW US
Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan