3. Bahas isu sensitif
Sutradara Edwin mengungkapkan, toxic masculinity menjadi fokus isu dalam film ini. Dia yang mengaku tumbuh besar di masa kejayaan rezim militer, serta mengetahui mitos mengenai heroisme dan kejantanan lelaki.
"Sangat familiar bagi saya. Kejantanan adalah tolok ukur kelelakian. Budaya toxic masculinity memaksa lelaki untuk tidak terlihat lemah," tutur Edwin.
Ia menekankan bahwa budaya toxic masculinity memaksa pria untuk tidak terlihat lemah di banding pria lainnya. Menurutnya, hal tersebut masih terjadi di Indonesia hingga hari ini, di tengah masyarakat yang seharusnya memiliki pemikiran demokratis dibandingkan tahun 1980-an.
"Saya melihat Indonesia berusaha keras mencoba untuk mengatasi rasa takutnya akan impotensi. Ketakutan yang membawa kita kembali ke budaya kekerasan yang dinormalisasi," paparnya.

4. Garapan Sutradara Terbaik FFI 2017
Film yang diadaptasi dari novel Eka Kurniawan ini disutradarai oleh Edwin. Dia merupakan peraih Piala Citra tahun 2017 untuk kategori penghargaan Sutradara Terbaik.
Pada film ini, Edwin menggambarkan kisah tentang Ajo Kawir (diperankan Marthino Lio), pria jagoan yang tak takut mati. Ia memiliki hasrat yang besar untuk bertarung dengan siapa pun. Hal itu didorong oleh rahasia, yakni dia impoten.
Kemudian, dia bertemu dengan perempuan bernama Iteung (diperankan oleh Ladya Cheryl) dan mereka bertarung. Ternyata, Ajo babak belur hingga jungkir balik. Mereka pun saling jatuh cinta. Namun, sejumlah permasalahan hidup menghantui mereka.