Anggy Umbara. (Foto: Instagram/@aggy_umbara)
Anggy Umbara. (Foto: Instagram/@aggy_umbara)

Sutradara Anggy Umbara Sempat Frustasi Urus Proses Sensor Film Gundik

Elang Riki Yanuar • 17 Mei 2025 09:00
Jakarta: Sutradara Anggy Umbara mengungkapkan salah satu tantangan yang dihadapi ketika membuat film Gundik. Dia mengaku kesulitan menghadapi birokrasi lembaga sensor.
 
Anggy menyatakan bahwa proses revisi yang berlarut-larut sangat menghambat distribusi film, bahkan membuat tim produksi frustrasi.
 
“Jujur, satu jam yang lalu kami masih mengeluhkan soal sensor yang belum juga selesai. Dari Oktober tahun lalu kami sudah mengajukan, revisi sudah kami ikuti, tapi tetap saja diminta ubah lagi,” kata Anggy di Epicentrum, Jakarta Selatan, Jumat (16/5/2025).

Film Gundik yang awalnya diajukan untuk klasifikasi usia 17 tahun ini sempat bolak-balik direvisi sebelum akhirnya mendapatkan izin tayang untuk usia 21 tahun. Versi sensor usia 17 tahun baru dikabarkan lolos pada hari yang sama saat konferensi pers berlangsung.
 
Hal ini menyebabkan versi yang ditayangkan saat itu masih merupakan versi 21 tahun atau director’s cut, yang menampilkan beberapa adegan ekstrem seperti “potong kepala” dan “minum darah”.
 
baca juga: Teror Gundik Siap Hantui Pakistan hingga Rusia

 
“Yang kalian tonton sekarang ini adalah versi 21 tahun. Versi 17 tahun baru disetujui tadi siang,” jelas Anggy.
 
Masalah sensor ternyata bukan hanya terjadi pada filmnya saja, tetapi juga sejak materi promosi awal. Teaser poster film sempat ditolak karena dinilai tidak sesuai klasifikasi umur.
 
“Teaser posternya aja udah kena masalah. Disuruh bikin yang ‘lebih ramah’. Tapi kita bingung, lebih ramah buat horor itu seperti apa? Pakai senyum?” tambahnya dengan nada heran.
 
Anggy juga menyoroti tidak konsistennya standar sensor yang diterapkan oleh LSF. Menurutnya, dalam beberapa film lain, adegan serupa seperti minum darah bisa mendapat klasifikasi usia lebih rendah.
 
“Ada film lain minum darah tapi dapet rating 13 tahun. Bingung juga kan?” katanya.
 
Tak hanya itu, ia juga menyayangkan sistem penilaian sensor yang tidak konsisten karena dilakukan oleh orang berbeda di setiap tahap.
 
“Yang menyensor pertama beda dengan yang merevisi, nanti yang ngecek lagi juga beda. Gimana bisa sinkron?” ujarnya.
 
Ketika ditanya mengapa tim produksi tidak memanfaatkan klasifikasi usia tinggi sebagai strategi promosi – seperti ‘jam merah’ atau ‘jam kuning’ yang sempat populer di film lain Anggy menjawab bahwa filmnya tidak dirancang untuk itu.
 
“Kita belum merasa sebesar itu untuk bermain dengan strategi marketing seperti itu. Lagi pula sistem eksibitor di Indonesia juga masih belum siap menghadapi dua versi klasifikasi secara bersamaan,” tuturnya.
 
Meski mengaku sempat hampir frustrasi, Anggy menegaskan bahwa kritik ini ditujukan sebagai masukan untuk LSF agar lebih baik ke depannya. Ia berharap sistem sensor tidak lagi menjadi penghalang bagi para pembuat film untuk berkarya.
 
(Nithania Septianingsih)
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(ELG)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan