Penyebabnya, tim produksi melakukan persiapan matang demi menghadirkan kembali masa-masa kehidupan HOS Tjokroaminoto dengan sempurna.
"Film ini memakan waktu 2,5 tahun. Sekitar 1,5 tahun dihabiskan untuk riset sosok Tjokroaminoto karena referensi tentang sang Guru Bangsa sangat terbatas. Banyak karyanya yang justru tersimpan di luar negeri. Untuk biaya produksi, kita menghabiskan sekitar 15 miliar," papar sutradara Garin Nugroho saat ditemui di XXI Epicentrum, Kuningan, Jakarta, Selasa (31/3/2015) malam.
Mengenai riset tentang Tjokroaminoto, salah satu produser film Dewi Umaya Rachman, menjelaskan, mereka sampai harus mengejar informasi hingga ke Belanda dan Australia.
"Kami harus mencari sampai ke Leiden dan bertanya kepada orang-orang yang mengenal beliau secara personal," aku Dewi.
Bahkan, sang pemeran Tjokroaminoto, Reza Rahadian, terpaksa berimprovisasi, namun tetap tidak terlepas dari pakem yang ada.
"Saya banyak sekali berdiskusi kepada mas Garin untuk memerankan Tjokro dengan benar. Saya banyak belajar dari kumpulan foto yang ada. Sedikit berimprovisasi, karena setiap gaya duduk atau berbicara punya arti berbeda," tutur Reza.
Tidak semua kisah hidup Tjokroaminoto diangkat ke layar lebar. Tim hanya memilih masa setelah dia lahir hingga sekitar tahun 1912. Saat itu merupakan era terjadi pergolakan politik dan kesedihan mendalam karena Tjokroaminoto ditinggal istrinya.
Pada usia itu juga Tjokro mengajarkan pemikiran-pemikiran ideologisnya kepada Soekarno, Semaoen, Alimin, Muso, Kartosoewirjo, bahkan Tan Malaka. Termasuk mendirikan organisasi Sarekat Islam yang sebelumnya bernama Serikat Dagang Islam.
Salah satu kesulitan saat produksi yaitu menghadirkan kembali setting kota tahun 1900-an. Tim produksi memilih lahan di kampus Universitas Gajah Mada untuk dijadikan sebagai lokasi syuting, tempat mendirikan rumah hingga Hotel Oranje layaknya di Surabaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News