Guru Besar Sejarah Islam di 'Ain Shams University Kairo, Mesir, Ali Husni al Kharbuthli dalam Tarikh al Ka'bah (2004) menuliskan, dari mulanya sebagai kota tertutup, Makkah disulap menjadi kawasan strategis yang memberi ruang kepada kelompok dan suku-suku lain untuk hidup berdampingan.
"Bahkan, selain suku Quraisy dan suku-suku asli Makkah, ada juga warga asing yang tinggal di sana. Mereka adalah kaum Yahudi, Nasrani, orang-orang Suriah, Mesir, Ethiopia, Romawi, dan Persia," tulis Al Kharbuthli.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Kedatangan bangsa lain ke Makkkah juga dilandasi beragam faktor. Selain berhaji, mereka juga berduyun-duyun memasuki Kota Suci untuk berniaga.
"Kala itu, Makkah juga diberlakukan sebagai tempat suaka ternyaman bagi orang-orang tertindas," tulis dia, masih dalam buku yang sama.
Sebagai kota terbuka, suku Quraisy tak membatasi kelompok pendatang untuk membangun rumah dengan jarak yang cukup dekat dengan kakbah. Padahal, sebelumnya hal itu tidak diperbolehkan, kecuali bagi penduduk asli Tanah Haram.
Baca juga: Kita Semua Pernah Disumpah di Hari Arafah
Makkah pun kian padat dengan komposisi warga yang beragam. Guna melindungi kepentingannya sebagai pribumi dan pewaris sah Kota Makkah, sebagian golongan dari penduduk asli menggelari dirinya dengan nama Al Humus.
Kelompok ini merasa berpantangan untuk mengagungkan apapun yang berada di luar Tanah Haram.
"Oleh karena itu, kaum Al Humus merasa tidak perlu wukuf di Arafah karena lokasi itu dianggap berada di luar kota Makkah," tulis al Kharbuthli.
Al Humus lebih memilih wukuf di Muzdalifah. Meski begitu, kaum Al Humus tetap mengakui bahwa wukuf di Arafah merupakan bagian dari manasik haji masa itu.
Hingga ratusan tahun, Al Humus tetap mempertahankan keyakinannya. Eksistensi kelompok ini baru terhenti ketika mereka jumpai Nabi Muhammad Saw yang merupakan keturunan asli Tanah Haram, namun tetap melaksanakan wukuf di Arafah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SBH)