FITNESS & HEALTH
Maaf yang Semu, Ketika Ucapan Maaf Hanya di Bibir Saja
Mia Vale
Senin 31 Maret 2025 / 12:00
Jakarta: Selain mudik dan silaturahmi, Lebaran juga identik dengan saling memaafkan atas segala kesalahan yang terjadi. Ya, diharapkan dengan saling memaafkan, kita akan kembali menjadi seseorang yang "bersih" layaknya bayi yang baru lahir.
Namun, apakah kata maaf yang kamu ucapkan benar-benar memiliki arti memaafkan. Atau jangan-jangan kata maaf yang terlontar hanya terucap di bibir saja. Hal ini juga berlaku bagi seseorang yang menerima maaf seseorang.
Pada dasarnya, permintaan maaf memiliki kekuatan. Sayangnya, tidak semua permintaan maaf tulus. Terkadang, orang menggunakan permintaan maaf sebagai senjata, bukan solusi. Pelaku kekerasan, misalnya, sering kali memanfaatkan hal ini, dengan menawarkan permintaan maaf tanpa perubahan yang nyata.
Dan kita sebagai korban kadang mau tidak mau turut memaafkannya. Padahal di hati yang paling dalam, rasa sakit itu masih ada.
So, ini bukanlah permintaan maaf yang tulus, ini adalah taktik manipulasi. Bayangkan saja, kamu terluka, dan mereka meminta maaf. Jauh di lubuk hati, kamu merasakan ada yang tidak beres. Lantas, apakah ini nyata atau hanya manipulasi? Kami akan menguraikannya untuk kamu.
.jpg)
(Penelitian telah menemukan bahwa memaafkan dapat menghasilkan kesehatan mental, emosional, dan bahkan fisik yang lebih baik. Foto: Ilustrasi/Dok. Pexels.com)
Pengampunan yang autentik dan sehat, menurut sebuah blog Self Archeology, merupakan keadaan emosional ketika pihak yang dirugikan tidak lagi merasa sakit hati, merasa damai, dan kembali mempercayai pihak yang bersalah.
Pasalnya pihak yang bersalah telah menyadari kesalahannya, telah mengubah tindakannya, dan telah memberikan ganti rugi dengan cara yang dapat diterima oleh pihak yang dirugikan. Jangan sampai kata maaf itu hanya karena sebuah kebiasaan.
Dan permintaan maaf itu dapat terwujud, ketika pihak yang dirugikan tidak lagi merasa sakit hati, dan kepercayaan serta keseimbangan kembali terjalin dalam hubungan. Kondisi ini terjadi ketika pihak yang bersalah:
- Meminta maaf, mengakui, dan menerima tanggung jawab atas kerugian yang telah mereka perbuat
- Berjanji untuk mencari tahu penyebab tindakan mereka dan mengubah perilaku mereka di masa mendatang dan menepati janji ini
- Melakukan ganti rugi dengan cara yang dapat diterima dan menenangkan pihak yang dirugikan, bukan pihak yang bersalah
Setelah mengalami kerugian, seseorang merasa sakit hati, marah, sedih, bingung, takut, dan/atau emosi tidak menyenangkan lainnya.
Dan karena keadaan emosional tersebut dapat berlangsung lama, pihak yang dirugikan terkadang meyakinkan diri mereka sendiri atau diyakinkan oleh orang lain bahwa mereka harus menekan emosi tidak menyenangkan tersebut dan membuat diri mereka merasa diampuni dan bertindak seolah-olah semuanya baik-baik saja.
Baca juga: Kenapa Seseorang Bisa Merasa Insecure?
Fenomena ini disebut maaf semu atau maaf palsu dan sering kali menjadi alasan mengapa orang mengalami beberapa masalah kesehatan mental, fisik, dan sosial yang serius. Memaafkan yang semu terjadi ketika pihak yang dirugikan:
- Tidak memahami, menyangkal, atau meremehkan kerugian yang telah terjadi pada mereka
- Merasa bersalah secara tidak adil, mereka menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi pada mereka, atau atas fakta bahwa pihak yang bersalah merasa bersalah
- Merasa bingung karena memiliki pikiran yang tidak rasional atau bahkan bertentangan, misalnya, "Ya, suamiku memang memukulku, tetapi dia suamiku, dan aku telah berjanji untuk bersamanya sampai maut memisahkan kita," atau "Memang benar bahwa orang tuaku telah membuatku sangat menderita, tetapi aku harus mencintai orang tuaku dan memaafkan mereka atas segalanya, karena mereka adalah orang tuaku
- Terlalu berempati dengan pihak yang bersalah. Di sini, pihak yang dirugikan meremehkan rasa sakit mereka dan membenarkan perlakuan pelaku terhadap mereka
- Takut akan reaksi orang lain, seperti mencibir korban yang tidak mau memaaf pelaku, padahal dia sudah minta maaf
- Dengan cara apa pun menghentikan proses alami penerimaan dan kesedihan atas bahaya yang telah mereka alami
Ingat, memaafkan seseorang memang bukanlah perkara yang mudah karena butuh kebesaran dan kesiapan hati untuk melakukannya.
Jadi, kamu sendiri yang paling tahu kapan dan kenapa kamu harus memaafkan seseorang. Satu lagi, perasaan lega dan damai akan muncul kalau kamu benar-benar sudah membebaskan diri dari orang yang membuatmu sakit hati, yaitu dengan cara memaafkannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(TIN)
Namun, apakah kata maaf yang kamu ucapkan benar-benar memiliki arti memaafkan. Atau jangan-jangan kata maaf yang terlontar hanya terucap di bibir saja. Hal ini juga berlaku bagi seseorang yang menerima maaf seseorang.
Pada dasarnya, permintaan maaf memiliki kekuatan. Sayangnya, tidak semua permintaan maaf tulus. Terkadang, orang menggunakan permintaan maaf sebagai senjata, bukan solusi. Pelaku kekerasan, misalnya, sering kali memanfaatkan hal ini, dengan menawarkan permintaan maaf tanpa perubahan yang nyata.
Dan kita sebagai korban kadang mau tidak mau turut memaafkannya. Padahal di hati yang paling dalam, rasa sakit itu masih ada.
So, ini bukanlah permintaan maaf yang tulus, ini adalah taktik manipulasi. Bayangkan saja, kamu terluka, dan mereka meminta maaf. Jauh di lubuk hati, kamu merasakan ada yang tidak beres. Lantas, apakah ini nyata atau hanya manipulasi? Kami akan menguraikannya untuk kamu.
Bukan sekadar kata
.jpg)
(Penelitian telah menemukan bahwa memaafkan dapat menghasilkan kesehatan mental, emosional, dan bahkan fisik yang lebih baik. Foto: Ilustrasi/Dok. Pexels.com)
Pengampunan yang autentik dan sehat, menurut sebuah blog Self Archeology, merupakan keadaan emosional ketika pihak yang dirugikan tidak lagi merasa sakit hati, merasa damai, dan kembali mempercayai pihak yang bersalah.
Pasalnya pihak yang bersalah telah menyadari kesalahannya, telah mengubah tindakannya, dan telah memberikan ganti rugi dengan cara yang dapat diterima oleh pihak yang dirugikan. Jangan sampai kata maaf itu hanya karena sebuah kebiasaan.
Dan permintaan maaf itu dapat terwujud, ketika pihak yang dirugikan tidak lagi merasa sakit hati, dan kepercayaan serta keseimbangan kembali terjalin dalam hubungan. Kondisi ini terjadi ketika pihak yang bersalah:
- Meminta maaf, mengakui, dan menerima tanggung jawab atas kerugian yang telah mereka perbuat
- Berjanji untuk mencari tahu penyebab tindakan mereka dan mengubah perilaku mereka di masa mendatang dan menepati janji ini
- Melakukan ganti rugi dengan cara yang dapat diterima dan menenangkan pihak yang dirugikan, bukan pihak yang bersalah
Maaf yang semu
Setelah mengalami kerugian, seseorang merasa sakit hati, marah, sedih, bingung, takut, dan/atau emosi tidak menyenangkan lainnya.
Dan karena keadaan emosional tersebut dapat berlangsung lama, pihak yang dirugikan terkadang meyakinkan diri mereka sendiri atau diyakinkan oleh orang lain bahwa mereka harus menekan emosi tidak menyenangkan tersebut dan membuat diri mereka merasa diampuni dan bertindak seolah-olah semuanya baik-baik saja.
Baca juga: Kenapa Seseorang Bisa Merasa Insecure?
Fenomena ini disebut maaf semu atau maaf palsu dan sering kali menjadi alasan mengapa orang mengalami beberapa masalah kesehatan mental, fisik, dan sosial yang serius. Memaafkan yang semu terjadi ketika pihak yang dirugikan:
- Tidak memahami, menyangkal, atau meremehkan kerugian yang telah terjadi pada mereka
- Merasa bersalah secara tidak adil, mereka menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi pada mereka, atau atas fakta bahwa pihak yang bersalah merasa bersalah
- Merasa bingung karena memiliki pikiran yang tidak rasional atau bahkan bertentangan, misalnya, "Ya, suamiku memang memukulku, tetapi dia suamiku, dan aku telah berjanji untuk bersamanya sampai maut memisahkan kita," atau "Memang benar bahwa orang tuaku telah membuatku sangat menderita, tetapi aku harus mencintai orang tuaku dan memaafkan mereka atas segalanya, karena mereka adalah orang tuaku
- Terlalu berempati dengan pihak yang bersalah. Di sini, pihak yang dirugikan meremehkan rasa sakit mereka dan membenarkan perlakuan pelaku terhadap mereka
- Takut akan reaksi orang lain, seperti mencibir korban yang tidak mau memaaf pelaku, padahal dia sudah minta maaf
- Dengan cara apa pun menghentikan proses alami penerimaan dan kesedihan atas bahaya yang telah mereka alami
Ingat, memaafkan seseorang memang bukanlah perkara yang mudah karena butuh kebesaran dan kesiapan hati untuk melakukannya.
Jadi, kamu sendiri yang paling tahu kapan dan kenapa kamu harus memaafkan seseorang. Satu lagi, perasaan lega dan damai akan muncul kalau kamu benar-benar sudah membebaskan diri dari orang yang membuatmu sakit hati, yaitu dengan cara memaafkannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(TIN)