FITNESS & HEALTH
Hipertensi Paru, Penyakit Mematikan yang Sering Terdiagnosis Terlambat di Indonesia
A. Firdaus
Selasa 02 Desember 2025 / 10:15
Jakarta: Hipertensi paru adalah kondisi serius yang meningkatkan tekanan darah di pembuluh paru-paru dan sering terlambat didiagnosis hingga 5 tahun atau lebih di Indonesia. Untuk itu, diperlukan kesadaran masyarakat dan pengobatan agresif untuk mencegah risiko fatal seperti kematian mendadak.
“Hipertensi paru terjadi ketika pembuluh darah dari jantung kanan ke paru-paru mengalami gangguan, sehingga tekanan darah di sana menjadi tinggi. Akibatnya, jantung kanan membengkak dan sulit memompa darah, menyebabkan oksigen di tubuh berkurang,” jelas dr. Hary Sakti Muliawan, PhD, Sp.JP, FIHA, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah yang fokus pada hipertensi paru dalam diskusi edukatif bertajuk “Satu Napas Berharga: Saatnya Bersatu Tingkatkan Literasi dan Akses Pengobatan Inovatif bagi Penderita Hipertensi Paru” di On3 Senayan Restaurant.
Hipertensi paru bisa disebabkan oleh penyempitan atau penebalan dinding pembuluh darah paru yang membuat darah sulit mengalir. Dokter Hary menggambarkan fungsi jantung sebagai organ vital seukuran kepalan tangan yang terus memompa darah ke seluruh tubuh.
Jantung terbagi menjadi sisi kiri dan kanan: sisi kiri memompa darah kaya oksigen yang berwarna merah ke tubuh. Sementara sisi kanan menerima darah bekas yang berwarna biru dan memompanya ke paru-paru untuk ditukar oksigen.
Kemudian, dr. Hary membedakan ini dengan hipertensi sistemik biasa yang memengaruhi tekanan darah di seluruh tubuh dan lebih mudah diukur.
Kondisi ini meningkatkan risiko pada wanita, penderita penyakit autoimun seperti skleroderma atau lupus, orang dengan gangguan paru seperti asma atau TBC, serta ibu hamil karena risiko pembekuan darah.
Gejala utamanya meliputi sesak napas saat aktivitas ringan, seperti naik tangga, nyeri dada berulang, batuk darah, pusing hingga pingsan, dan pembengkakan tubuh.
“Jika merasa lebih cepat lelah atau sesak daripada biasanya, terutama jika memiliki riwayat penyakit tersebut, segera periksa ke dokter,” saran dr. Hary.
Diagnosis hipertensi paru sulit karena tidak bisa diukur seperti tekanan darah tangan. Dibutuhkan pemeriksaan khusus seperti kateterisasi jantung untuk mengukur tekanan paru secara langsung. Tekanan normal di bawah 20 mmHg/, sedangkan di atas itu sudah tinggi.
Sayangnya, diagnosis sering terlambat hingga 5 tahun atau lebih di Indonesia karena gejala sering disalahartikan sebagai asma atau TBC.
“Di Eropa butuh 15 bulan, di Amerika 24 bulan, di Jepang 9 bulan, tapi di Indonesia bisa lebih lama,” ungkap dr. Harry.
Keterlambatan ini berisiko fatal, seperti krisis dengan oksigen rendah, kulit membiru, sesak berat, dan gangguan irama jantung yang bisa menyebabkan kematian mendadak.
Berdasarkan data yang dikumpulkan, ada sekitar 3.731 pasien hipertensi paru terdaftar di Indonesia hingga 2023. Dengan angka yang melonjak dari kurang dari 100 menjadi 23.000 dalam beberapa tahun terakhir, namun, kesadaran masih rendah.
“Kesintasan pasien hipertensi paru mirip dengan kanker; setelah 7 tahun, hanya 50% yang masih hidup jika tidak ditangani baik,” kata dr. Hary.
Pengobatan harus agresif sejak awal, dengan kombinasi obat untuk menurunkan tekanan paru dan meningkatkan kesintasan. Di Indonesia, 90% pasien berat masih hanya diberi satu obat, padahal kombinasi dua atau tiga obat bisa lebih efektif.
“Kita harus stratifikasi risiko pasien dan berikan terapi kombinasi agar kondisi membaik dari stadium merah ke hijau, di mana kesintasan 5 tahun mencapai 80%,” tegasnya.
Lalu, dr. Hary menyerukan kolaborasi untuk meningkatkan literasi dan akses pengobatan inovatif, agar lebih banyak pasien tertolong. “Hipertensi paru progresif dan mematikan jika terlambat, tapi bisa dikendalikan dengan penanganan dini,” pungkasnya.
Secillia Nur Hafifah
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIR)
“Hipertensi paru terjadi ketika pembuluh darah dari jantung kanan ke paru-paru mengalami gangguan, sehingga tekanan darah di sana menjadi tinggi. Akibatnya, jantung kanan membengkak dan sulit memompa darah, menyebabkan oksigen di tubuh berkurang,” jelas dr. Hary Sakti Muliawan, PhD, Sp.JP, FIHA, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah yang fokus pada hipertensi paru dalam diskusi edukatif bertajuk “Satu Napas Berharga: Saatnya Bersatu Tingkatkan Literasi dan Akses Pengobatan Inovatif bagi Penderita Hipertensi Paru” di On3 Senayan Restaurant.
Hipertensi paru bisa disebabkan oleh penyempitan atau penebalan dinding pembuluh darah paru yang membuat darah sulit mengalir. Dokter Hary menggambarkan fungsi jantung sebagai organ vital seukuran kepalan tangan yang terus memompa darah ke seluruh tubuh.
Jantung terbagi menjadi sisi kiri dan kanan: sisi kiri memompa darah kaya oksigen yang berwarna merah ke tubuh. Sementara sisi kanan menerima darah bekas yang berwarna biru dan memompanya ke paru-paru untuk ditukar oksigen.
Kemudian, dr. Hary membedakan ini dengan hipertensi sistemik biasa yang memengaruhi tekanan darah di seluruh tubuh dan lebih mudah diukur.
Kondisi ini meningkatkan risiko pada wanita, penderita penyakit autoimun seperti skleroderma atau lupus, orang dengan gangguan paru seperti asma atau TBC, serta ibu hamil karena risiko pembekuan darah.
Gejala utamanya meliputi sesak napas saat aktivitas ringan, seperti naik tangga, nyeri dada berulang, batuk darah, pusing hingga pingsan, dan pembengkakan tubuh.
“Jika merasa lebih cepat lelah atau sesak daripada biasanya, terutama jika memiliki riwayat penyakit tersebut, segera periksa ke dokter,” saran dr. Hary.
Tantangan diagnosis dan komplikasi yang mengancam
Diagnosis hipertensi paru sulit karena tidak bisa diukur seperti tekanan darah tangan. Dibutuhkan pemeriksaan khusus seperti kateterisasi jantung untuk mengukur tekanan paru secara langsung. Tekanan normal di bawah 20 mmHg/, sedangkan di atas itu sudah tinggi.
Sayangnya, diagnosis sering terlambat hingga 5 tahun atau lebih di Indonesia karena gejala sering disalahartikan sebagai asma atau TBC.
“Di Eropa butuh 15 bulan, di Amerika 24 bulan, di Jepang 9 bulan, tapi di Indonesia bisa lebih lama,” ungkap dr. Harry.
Keterlambatan ini berisiko fatal, seperti krisis dengan oksigen rendah, kulit membiru, sesak berat, dan gangguan irama jantung yang bisa menyebabkan kematian mendadak.
Data pasien dan kesintasan di indonesia
Berdasarkan data yang dikumpulkan, ada sekitar 3.731 pasien hipertensi paru terdaftar di Indonesia hingga 2023. Dengan angka yang melonjak dari kurang dari 100 menjadi 23.000 dalam beberapa tahun terakhir, namun, kesadaran masih rendah.
“Kesintasan pasien hipertensi paru mirip dengan kanker; setelah 7 tahun, hanya 50% yang masih hidup jika tidak ditangani baik,” kata dr. Hary.
Pentingnya pengobatan agresif dan akses obat inovatif
Pengobatan harus agresif sejak awal, dengan kombinasi obat untuk menurunkan tekanan paru dan meningkatkan kesintasan. Di Indonesia, 90% pasien berat masih hanya diberi satu obat, padahal kombinasi dua atau tiga obat bisa lebih efektif.
“Kita harus stratifikasi risiko pasien dan berikan terapi kombinasi agar kondisi membaik dari stadium merah ke hijau, di mana kesintasan 5 tahun mencapai 80%,” tegasnya.
Lalu, dr. Hary menyerukan kolaborasi untuk meningkatkan literasi dan akses pengobatan inovatif, agar lebih banyak pasien tertolong. “Hipertensi paru progresif dan mematikan jika terlambat, tapi bisa dikendalikan dengan penanganan dini,” pungkasnya.
Secillia Nur Hafifah
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIR)