FITNESS & HEALTH
Anak yang Jadi Korban Pelecehan Bisakah Menjadi Pelaku Pelecehan?
Mia Vale
Minggu 13 Oktober 2024 / 17:00
Jakarta: Dulu ada ungkapan 'Lebih baik mempunyai anak laki-laki 10, dibandingkan memiliki 1 anak perempuan'. Ungkapan ini karena adanya kekhawatiran memiliki anak perempuan lebih rawan mengalami kekerasan dan pelecehan seksual.
Tapi faktanya, ungkapan tersebut seakan sudah tidak berlaku. Pasalnya, entah anak perempuan atau anak laki-laki, bisa menjadi korban pelecehan seksual, utamanya yang dilakukan para predator pedofilia.
Pedofilia sendiri merupakan suatu bentuk kelainan seksual yang meliputi kekerasan seksual terhadap anak-anak maupun remaja yang berusia di bawah 14 tahun.
Seperti yang terjadi baru-baru ini, di mana Polres Metro Kota Tangerang telah menetapkan Sudirman (49), Yusuf Bachtiar (30), dan Yandi Supriyadi (28) sebagai tersangka dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak panti asuhan di Tangerang, Banten.
Baca juga: Polisi Kejar Pelaku Lain Kasus Pelecehan Murid Panti Asuhan Tangerang
Dalam panti tersebut, Sudirman adalah pimpinan panti, sementara Yusuf dan Yandi adalah pengurus panti. Keduanya diduga merupakan korban pelecehan oleh Sudirman yang kemudian berbalik menjadi pelaku.
Ada kepercayaan luas bahwa orang-orang yang mengalami pelecehan seksual di masa kanak-kanak sering kali ikut serta dalam hubungan yang penuh kekerasan saat dewasa, baik sebagai korban terhadap anak-anak dan orang dewasa, atau sebagai korban.
Beberapa orang menyebut hal ini sebagai mitos berbahaya, yang dapat digunakan untuk menjelaskan atau membenarkan perilaku pelaku pelecehan seksual terhadap anak.
Namun demikian, terdapat beberapa bukti empiris yang mendukung keyakinan terhadap ‘siklus’ ini, dan hasil dari beberapa penelitian yang mengeksplorasi masalah ini mendukung hipotesis tersebut.
Dalam penelitian tajam yang berjudul ‘Siklus Pelecehan Seksual pada Anak: Kaitan Antara Menjadi Korban dan Menjadi Pelaku’, penulis menemukan bahwa, di antara 747 laki-laki yang diteliti, risiko menjadi pelaku berkorelasi positif dengan pengalaman korban pelecehan seksual yang dilaporkan.
.jpg)
(Bila anak atau ada saudara kita yang mengalami pelecehan seksual, sebisa mungkin segera bawa ke terapis/psikolog/profesional. Semakin cepat semakin baik. Dan tentu saja, dukungan penuh dari keluarga dan orang terdekat sangat diperlukan. Foto: Ilustrasi/Dok. Pexels.com)
Menjadi korban merupakan pertanda kuat untuk menjadi pelaku. Penelitian ini terjadi terhadap anak laki-laki yang mengalami pelecehan seksual menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 5 anak laki-laki terus menganiaya anak mereka sendiri di kemudian hari.
Hal ini masuk akal. Jika kekerasan fisik melanggar hak dan otonomi anak, pelecehan seksual terhadap anak (CSA) dan inses akan memberikan dampak yang jauh lebih buruk pada lapisan luka psikologis.
Dalam 'The Cycle of Sexual Abuse and Abusive Adult Relationships', psikolog terkenal Elizabeth Hartney mengemukakan kepada Livemint, bahwa pedofil itu sebagian besar mereka adalah orang-orang korban kekerasan di masa kecil.
Dalam upaya untuk menyembuhkan, dan merebut kembali kekuasaan dan kendali, mereka mengambil posisi yang berlawanan, yang tampaknya lebih kuat, sebagai pelaku kekerasan.
Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, dua orang pelaku yang notabene berjenis kelamin pria, pada kasus di panti asuhan di Tangerang tersebut awalnya menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh pria dewasa.
Dan ternyata salah satu faktor yang menyebabkan pelecehan seksual bisa terus terjadi adalah pelaku pelecehan seksual sebelumnya adalah korban dari pelecehan seksual tersebut.
Seperti dinukil dari Psychology Today, sebagai korban kekerasan seksual, misal, korban pelecehan seksual sejenis, kamu pasti merasa marah, putus asa, dendam, malu, dan hampa, semuanya pada saat yang bersamaan.
Ini adalah respons normal terhadap peristiwa traumatis tersebut. Bertahan dan pulih dari kekerasan seksual bisa menjadi proses yang sangat sepi. Terutama jika bergumul dengan berbagai pikiran dan emosi yang sulit kamu kendalikan.
Akibatnya, bisa terjadi penyimpangan pada korban. Hal ini bisa terjadi karena pada proses mekanisme pertahanan diri korban tidak didampingi atau berproses dengan benar, di mana bisa terjadi distorsi atau penyimpangan kognitif.
Akibatnya, ketika menyimpulkan atau menarik benang merah dan mencegah rasa sakit (trauma) yang dia rasakan di otaknya berpikir bahwa dia jangan menjadi korban. Dengan begitu, agar tidak menjadi korban dia harus menjadi orang yang kuat, harus menjadi orang yang dominan di mana tanpa dia sadari dia telah menjadi pelaku.
Dah akhirnya, pelecehan seksual yang pernah didapat, dia lakukan kembali kepada orang lain. Dan yang menjadi korban, para anak laki-laki yang kebanyakan di bawah umur. Karena pada usia tersebutlah, mereka tidak berani melawan atau berontak.
Bila anak atau ada saudara kita yang mengalami pelecehan seksual, sebisa mungkin segera bawa ke terapis/profesional.
Ingat, semakin cepat semakin baik. Karena kalau tidak, orang tua dan korban akan saling berkejaran dengan waktu. Artinya, semakin lama ditangani, semakin terpola, terekam jelas kejadian di otak anak. Dan tentu saja, dukungan penuh dari keluarga dan orang terdekat sangat diperlukan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(TIN)
Tapi faktanya, ungkapan tersebut seakan sudah tidak berlaku. Pasalnya, entah anak perempuan atau anak laki-laki, bisa menjadi korban pelecehan seksual, utamanya yang dilakukan para predator pedofilia.
Pedofilia sendiri merupakan suatu bentuk kelainan seksual yang meliputi kekerasan seksual terhadap anak-anak maupun remaja yang berusia di bawah 14 tahun.
Seperti yang terjadi baru-baru ini, di mana Polres Metro Kota Tangerang telah menetapkan Sudirman (49), Yusuf Bachtiar (30), dan Yandi Supriyadi (28) sebagai tersangka dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak panti asuhan di Tangerang, Banten.
Baca juga: Polisi Kejar Pelaku Lain Kasus Pelecehan Murid Panti Asuhan Tangerang
Dalam panti tersebut, Sudirman adalah pimpinan panti, sementara Yusuf dan Yandi adalah pengurus panti. Keduanya diduga merupakan korban pelecehan oleh Sudirman yang kemudian berbalik menjadi pelaku.
Dari korban menjadi pelaku
Ada kepercayaan luas bahwa orang-orang yang mengalami pelecehan seksual di masa kanak-kanak sering kali ikut serta dalam hubungan yang penuh kekerasan saat dewasa, baik sebagai korban terhadap anak-anak dan orang dewasa, atau sebagai korban.
Beberapa orang menyebut hal ini sebagai mitos berbahaya, yang dapat digunakan untuk menjelaskan atau membenarkan perilaku pelaku pelecehan seksual terhadap anak.
Namun demikian, terdapat beberapa bukti empiris yang mendukung keyakinan terhadap ‘siklus’ ini, dan hasil dari beberapa penelitian yang mengeksplorasi masalah ini mendukung hipotesis tersebut.
Dalam penelitian tajam yang berjudul ‘Siklus Pelecehan Seksual pada Anak: Kaitan Antara Menjadi Korban dan Menjadi Pelaku’, penulis menemukan bahwa, di antara 747 laki-laki yang diteliti, risiko menjadi pelaku berkorelasi positif dengan pengalaman korban pelecehan seksual yang dilaporkan.
.jpg)
(Bila anak atau ada saudara kita yang mengalami pelecehan seksual, sebisa mungkin segera bawa ke terapis/psikolog/profesional. Semakin cepat semakin baik. Dan tentu saja, dukungan penuh dari keluarga dan orang terdekat sangat diperlukan. Foto: Ilustrasi/Dok. Pexels.com)
Menjadi korban merupakan pertanda kuat untuk menjadi pelaku. Penelitian ini terjadi terhadap anak laki-laki yang mengalami pelecehan seksual menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 5 anak laki-laki terus menganiaya anak mereka sendiri di kemudian hari.
Hal ini masuk akal. Jika kekerasan fisik melanggar hak dan otonomi anak, pelecehan seksual terhadap anak (CSA) dan inses akan memberikan dampak yang jauh lebih buruk pada lapisan luka psikologis.
Dalam 'The Cycle of Sexual Abuse and Abusive Adult Relationships', psikolog terkenal Elizabeth Hartney mengemukakan kepada Livemint, bahwa pedofil itu sebagian besar mereka adalah orang-orang korban kekerasan di masa kecil.
Dalam upaya untuk menyembuhkan, dan merebut kembali kekuasaan dan kendali, mereka mengambil posisi yang berlawanan, yang tampaknya lebih kuat, sebagai pelaku kekerasan.
Menjadi pola berulang
Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, dua orang pelaku yang notabene berjenis kelamin pria, pada kasus di panti asuhan di Tangerang tersebut awalnya menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh pria dewasa.
Dan ternyata salah satu faktor yang menyebabkan pelecehan seksual bisa terus terjadi adalah pelaku pelecehan seksual sebelumnya adalah korban dari pelecehan seksual tersebut.
Seperti dinukil dari Psychology Today, sebagai korban kekerasan seksual, misal, korban pelecehan seksual sejenis, kamu pasti merasa marah, putus asa, dendam, malu, dan hampa, semuanya pada saat yang bersamaan.
Ini adalah respons normal terhadap peristiwa traumatis tersebut. Bertahan dan pulih dari kekerasan seksual bisa menjadi proses yang sangat sepi. Terutama jika bergumul dengan berbagai pikiran dan emosi yang sulit kamu kendalikan.
Akibatnya, bisa terjadi penyimpangan pada korban. Hal ini bisa terjadi karena pada proses mekanisme pertahanan diri korban tidak didampingi atau berproses dengan benar, di mana bisa terjadi distorsi atau penyimpangan kognitif.
Akibatnya, ketika menyimpulkan atau menarik benang merah dan mencegah rasa sakit (trauma) yang dia rasakan di otaknya berpikir bahwa dia jangan menjadi korban. Dengan begitu, agar tidak menjadi korban dia harus menjadi orang yang kuat, harus menjadi orang yang dominan di mana tanpa dia sadari dia telah menjadi pelaku.
Dah akhirnya, pelecehan seksual yang pernah didapat, dia lakukan kembali kepada orang lain. Dan yang menjadi korban, para anak laki-laki yang kebanyakan di bawah umur. Karena pada usia tersebutlah, mereka tidak berani melawan atau berontak.
Bila anak atau ada saudara kita yang mengalami pelecehan seksual, sebisa mungkin segera bawa ke terapis/profesional.
Ingat, semakin cepat semakin baik. Karena kalau tidak, orang tua dan korban akan saling berkejaran dengan waktu. Artinya, semakin lama ditangani, semakin terpola, terekam jelas kejadian di otak anak. Dan tentu saja, dukungan penuh dari keluarga dan orang terdekat sangat diperlukan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TIN)