FITNESS & HEALTH
Cegah Ledakan Obesitas Anak, Kemenkes Jalin Kolaborasi dengan Unicef dan Novo Nordisk
A. Firdaus
Jumat 11 Juli 2025 / 13:24
Jakarta: Anak-anak Indonesia kini menghadapi ancaman serius dari maraknya iklan makanan dan minuman tidak sehat yang tersebar di media sosial. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat bahwa 19,7% anak usia 5–12 tahun dan 14,3% anak usia 13–18 tahun mengalami kelebihan berat badan atau obesitas.
Bahkan, 97,6% anak usia 5–19 tahun tidak mengonsumsi lima porsi buah dan sayur per hari. Mirisnya, sebanyak 54,6% di antaranya mengonsumsi minuman berpemanis setiap hari.
Salah satu penyebab utama dari meningkatnya angka obesitas pada anak adalah paparan pemasaran digital terhadap produk makanan tidak sehat. Indonesia memiliki lebih dari 167 juta pengguna media sosial aktif, setara dengan 60% dari total populasi, dan remaja menjadi pengguna internet paling aktif, dengan tingkat penetrasi mencapai 99,1%.
Produk-produk tersebut mengandung:
- Gula berlebih (96%).
- Lemak jenuh (100%).
- Lemak total (77%).
- Natrium (77%).
- Energi berlebih (100%).
- Makanan cepat saji.
- Makanan ringan.
- Makanan olahan.
- Minuman ringan.
Iklan-iklan ini menggunakan teknik persuasif seperti:
- Hashtag dan tag media sosial (23,1%).
- Penampilan produk bermerek (19,6%).
- Daya tarik emosional seperti keseruan dan kegembiraan (10,1%).
- Visual anak-anak dan remaja (9,0%).
- Taktik interaktif seperti ajakan untuk like, share, atau komentar.
- Promo khusus seperti 'beli satu gratis satu'.
Strategi tersebut membuat anak-anak lebih rentan terpengaruh karena mereka belum sepenuhnya memahami bahwa yang mereka lihat adalah iklan.
Sayangnya, regulasi di Indonesia belum mampu mengontrol dengan efektif frekuensi, jangkauan, dan kekuatan pesan dari iklan makanan tidak sehat di platform digital. Akibatnya, anak-anak terus terpapar iklan-iklan ini yang secara tidak langsung membentuk preferensi makanan mereka sejak dini.
Untuk melindungi anak-anak dari dampak buruk pemasaran digital makanan tidak sehat, UNICEF dan berbagai pihak merekomendasikan untuk:
- Memperkuat peraturan pemasaran digital makanan tidak sehat.
- Melarang penggunaan influencer, hadiah, dan taktik manipulatif dalam iklan kepada anak.
- Mengembangkan model profil gizi nasional sebagai standar klasifikasi produk.
- Meningkatkan kesadaran orang tua dan pengasuh tentang bahaya pemasaran makanan tidak sehat.
Kelebihan berat badan dan obesitas pada anak bukan sekadar masalah penampilan, tapi ancaman serius terhadap masa depan kesehatan generasi muda. Dalam era digital ini, iklan makanan tidak sehat harus dikendalikan dengan tegas, dan orang tua perlu lebih waspada serta aktif dalam menjaga pola konsumsi anak.
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes dr. Siti Nadia Tarmizi M.Epid, obesitas tidak hanya berdampak pada aspek kesehatan, tetapi juga membawa konsekuensi sosial dan ekonomi. Dia mengatakan bahwa angka obesitas harus dikendalikan.
Untuk menekan angka obesitas anak maka Kemenkes menggandeng Unicef dan Novo Nordisk menciptakan lingkungan pangan sehat di Indonesia. Dokter Siti mengungkapkan bahwa jika tidak ditanggulangi, obesitas akan menjadi beban pembiayaan besar bagi negara di masa depan. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerapkan sejumlah strategi pencegahan dan pengendalian.
Kemenkes bersama UNICEF dan Novo Nordisk menggalang advokasi guna menciptakan lingkungan pangan sehat sebagai langkah pencegahan obesitas. Inisiatif ini juga menyoroti perlunya melindungi anak dari iklan makanan tidak sehat di media sosial.
“Bersama Komdigi kami dapat melakukan restriksi (pembatasan) terhadap iklan-iklan yang bisa mempengaruhi anak-anak dan remaja,“ ungkap dr. Nadia.
Obesitas merupakan ancaman serius yang dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit kronis seperti penyakit jantung, diabetes melitus, hipertensi, dan sejumlah komplikasi lainnya. Jika tidak segera ditangani, kondisi ini berpotensi menyebabkan peningkatan angka kematian dalam jangka panjang.
Sejak 2019, kerjasama antara Novo Nordisk dan UNICEF berfokus pada penyediaan makanan dan nutrisi yang lebih sehat bagi anak-anak, dengan penekanan kuat pada upaya penanggulangan obesitas pada anak.
Bidang utama kolaborasi ini meliputi pengumpulan bukti, pengembangan kebijakan, dan inisiatif lokal di Indonesia, Amerika Latin dan Karibia, Asia Timur, Meksiko, Kolombia, dan Brasil.
Pada 2024 saja, UNICEF telah menghasilkan 17 produk pengetahuan dan melibatkan hampir 4.000 pengambil keputusan; menjangkau 8,2 juta orang dengan pesan-pesan komunikasi dan advokasi yang mengubah narasi tentang obesitas pada anak; serta memobilisasi hampir 4.500 remaja dalam advokasi strategis.
UNICEF juga mendukung pemerintah di Kosta Rika, Malaysia, dan Meksiko untuk memperkuat kebijakan pangan dan gizi nasional-yang bertujuan untuk meningkatkan lingkungan yang mendukung bagi hampir 49 juta anak di bawah usia 19 tahun-dan secara langsung menjangkau lebih dari 48.000 anak melalui intervensi terprogram.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(FIR)
Bahkan, 97,6% anak usia 5–19 tahun tidak mengonsumsi lima porsi buah dan sayur per hari. Mirisnya, sebanyak 54,6% di antaranya mengonsumsi minuman berpemanis setiap hari.
Salah satu penyebab utama dari meningkatnya angka obesitas pada anak adalah paparan pemasaran digital terhadap produk makanan tidak sehat. Indonesia memiliki lebih dari 167 juta pengguna media sosial aktif, setara dengan 60% dari total populasi, dan remaja menjadi pengguna internet paling aktif, dengan tingkat penetrasi mencapai 99,1%.
Iklan di Medsos: Menarik tapi berbahaya
Laporan terbaru UNICEF mengungkapkan hasil analisis terhadap 295 iklan dari 20 merek makanan dan minuman terkemuka di tiga platform sosial media: Facebook, Instagram, dan X (dulu Twitter). Hasilnya, 85% dari merek tersebut memasarkan produk yang tidak sesuai untuk anak-anak berdasarkan ambang batas gizi dari WHO.Produk-produk tersebut mengandung:
- Gula berlebih (96%).
- Lemak jenuh (100%).
- Lemak total (77%).
- Natrium (77%).
- Energi berlebih (100%).
Jenis produk yang paling sering diiklankan meliputi:
- Makanan cepat saji.
- Makanan ringan.
- Makanan olahan.
- Minuman ringan.
Teknik Iklan yang Sasar Anak-anak
Iklan-iklan ini menggunakan teknik persuasif seperti:
- Hashtag dan tag media sosial (23,1%).
- Penampilan produk bermerek (19,6%).
- Daya tarik emosional seperti keseruan dan kegembiraan (10,1%).
- Visual anak-anak dan remaja (9,0%).
- Taktik interaktif seperti ajakan untuk like, share, atau komentar.
- Promo khusus seperti 'beli satu gratis satu'.
Strategi tersebut membuat anak-anak lebih rentan terpengaruh karena mereka belum sepenuhnya memahami bahwa yang mereka lihat adalah iklan.
Kesenjangan Regulasi: Anak tak terlindungi di dunia digital
Sayangnya, regulasi di Indonesia belum mampu mengontrol dengan efektif frekuensi, jangkauan, dan kekuatan pesan dari iklan makanan tidak sehat di platform digital. Akibatnya, anak-anak terus terpapar iklan-iklan ini yang secara tidak langsung membentuk preferensi makanan mereka sejak dini.
Rekomendasi Kebijakan
Untuk melindungi anak-anak dari dampak buruk pemasaran digital makanan tidak sehat, UNICEF dan berbagai pihak merekomendasikan untuk:
- Memperkuat peraturan pemasaran digital makanan tidak sehat.
- Melarang penggunaan influencer, hadiah, dan taktik manipulatif dalam iklan kepada anak.
- Mengembangkan model profil gizi nasional sebagai standar klasifikasi produk.
- Meningkatkan kesadaran orang tua dan pengasuh tentang bahaya pemasaran makanan tidak sehat.
Kelebihan berat badan dan obesitas pada anak bukan sekadar masalah penampilan, tapi ancaman serius terhadap masa depan kesehatan generasi muda. Dalam era digital ini, iklan makanan tidak sehat harus dikendalikan dengan tegas, dan orang tua perlu lebih waspada serta aktif dalam menjaga pola konsumsi anak.
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes dr. Siti Nadia Tarmizi M.Epid, obesitas tidak hanya berdampak pada aspek kesehatan, tetapi juga membawa konsekuensi sosial dan ekonomi. Dia mengatakan bahwa angka obesitas harus dikendalikan.
Untuk menekan angka obesitas anak maka Kemenkes menggandeng Unicef dan Novo Nordisk menciptakan lingkungan pangan sehat di Indonesia. Dokter Siti mengungkapkan bahwa jika tidak ditanggulangi, obesitas akan menjadi beban pembiayaan besar bagi negara di masa depan. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerapkan sejumlah strategi pencegahan dan pengendalian.
Kemenkes bersama UNICEF dan Novo Nordisk menggalang advokasi guna menciptakan lingkungan pangan sehat sebagai langkah pencegahan obesitas. Inisiatif ini juga menyoroti perlunya melindungi anak dari iklan makanan tidak sehat di media sosial.
“Bersama Komdigi kami dapat melakukan restriksi (pembatasan) terhadap iklan-iklan yang bisa mempengaruhi anak-anak dan remaja,“ ungkap dr. Nadia.
Obesitas merupakan ancaman serius yang dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit kronis seperti penyakit jantung, diabetes melitus, hipertensi, dan sejumlah komplikasi lainnya. Jika tidak segera ditangani, kondisi ini berpotensi menyebabkan peningkatan angka kematian dalam jangka panjang.
Sejak 2019, kerjasama antara Novo Nordisk dan UNICEF berfokus pada penyediaan makanan dan nutrisi yang lebih sehat bagi anak-anak, dengan penekanan kuat pada upaya penanggulangan obesitas pada anak.
Bidang utama kolaborasi ini meliputi pengumpulan bukti, pengembangan kebijakan, dan inisiatif lokal di Indonesia, Amerika Latin dan Karibia, Asia Timur, Meksiko, Kolombia, dan Brasil.
Pada 2024 saja, UNICEF telah menghasilkan 17 produk pengetahuan dan melibatkan hampir 4.000 pengambil keputusan; menjangkau 8,2 juta orang dengan pesan-pesan komunikasi dan advokasi yang mengubah narasi tentang obesitas pada anak; serta memobilisasi hampir 4.500 remaja dalam advokasi strategis.
UNICEF juga mendukung pemerintah di Kosta Rika, Malaysia, dan Meksiko untuk memperkuat kebijakan pangan dan gizi nasional-yang bertujuan untuk meningkatkan lingkungan yang mendukung bagi hampir 49 juta anak di bawah usia 19 tahun-dan secara langsung menjangkau lebih dari 48.000 anak melalui intervensi terprogram.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FIR)