FITNESS & HEALTH

Bukan karena Malas, Ini Realita Terberat Pengidap Depresi

A. Firdaus
Sabtu 31 Mei 2025 / 11:17
Jakarta: Banyak penderita depresi kerap dicap sebagai pemalas. Padahal kenyataannya jauh lebih kompleks dan menyakitkan.

Menurut Psikolog jebolan Universitas Indonesia, Ratih Zulhaqqi, depresi bukanlah sekadar 'tidak semangat', melainkan kondisi mental serius yang bahkan membuat aktivitas sederhana seperti bangun dari tempat tidur terasa mustahil.

“Orang depresi dalam kondisi relapse bisa sangat sulit untuk membuka mata, apalagi berinteraksi atau melakukan aktivitas,” ujar Ratih saat melansir Antara.

Gejala seperti ingin terus tidur, menghindari interaksi sosial, mengurung diri, hingga tidak memiliki energi meski telah istirahat cukup adalah hal nyata yang dialami para penderita, dan tidak jarang sulit untuk dimengerti orang dengan kondisi mental yang sehat.

Baca juga: 5 Strategi untuk Atasi Overthinking di Malam Hari

"Low energi (rendah energi) ini secara emosional, dan benar-benar rendah, yang membuat mereka tidak mampu melakukan hal sekecil apapun, bahkan mengangkat tubuh untuk duduk saja seakan sangat terasa sulit, dan memang mereka harus dibantu profesional," jelas Ratih.

Ia menambahkan, penting bagi individu untuk mengembangkan coping mechanism, mekanisme pertahanan diri yang sehat, seperti regulasi emosi dan manajemen persepsi.

Selain itu, bantuan profesional psikolog atau psikiater melalui terapi seperti CBT (Cognitive Behavioral Therapy), seseorang dengan depresi dibantu belajar untuk menggeser cara pandang terhadap tekanan.

Namun, bagi mereka yang sedang mengalami fase berat depresi, mengembangkan pola pikir positif bukanlah perkara mudah. Itulah kenapa penting untuk tidak menghakimi. Ketika seseorang tampak ‘malas’, bisa jadi mereka sedang berjuang keras untuk bertahan hidup secara mental.

"Hal lain yang akhirnya membuat orang depresi dan pengidap masalah mental lainnya urung niat meminta pertolongan ke profesional adalah stigma negatif sosial, mereka akan dianggap gila, atau kurang iman," Ratih menambahkan.

Penting bagi masyarakat untuk lebih memahami bahwa depresi bukan kemauan, melainkan kondisi medis yang membutuhkan empati dan dukungan, bukan penghakiman. Bantuan profesional sangat disarankan ketika gejala mulai muncul.

"Memang kalau depresi ini sudah kondisi medis, mengapa dia butuh obat karena memang butuh perbaikan di sistem otaknya, jadi bukan karena dia tidak bersyukur, depresi itu adalah gangguan psikologis dan kita tidak bisa menimbang-nimbang beranggapan hidup mereka sudah cukup hanya dari luarnya, misalnya dari segi finansial yang menurut kita baik, atau lain sebagainya," kata Ratih.

Selain berempati dengan sesama di lingkungan sosial, berempati dan tidak menyepelekan masalah mental juga diperlukan pada lingkungan profesional. Baru-baru ini, kasus meninggalnya seorang asisten manajer Bank Indonesia yang sempat viral di media sosial menjadi pengingat bahwa kesehatan mental, terutama di dunia kerja, tidak boleh diabaikan.

Meski alasan kepergiannya dengan mengakhiri hidupnya masih dalam penyelidikan, muncul dugaan soal tekanan kerja kembali mengangkat pentingnya manajemen stres dan empati di lingkungan profesional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIR)

MOST SEARCH