FITNESS & HEALTH
Ini Kunci Penurunan Jumlah Kasus Kanker Payudara
Raka Lestari
Jumat 02 Juli 2021 / 13:13
Jakarta: Kanker payudara tahap lanjut masih menjadi persoalan kesehatan global yang membutuhkan perhatian dari seluruh masyarakat dan pengambil kebijakan. Mengacu data Globocan, pada 2020 ada 44,2 per 100.000 kasus baru per tahun.
Di Indonesia, dari 260 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 65.800 kasus kanker payudara. Data Perhimpuan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PERABOI) menemukan, dari 10.000 kasus kanker payudara, sekitar 70 persen adalah stadium 3 dan 4.
Ketua Indonesian Women Imaging Society (IWIS) dr. Kardinah SpRad (K), menjelaskan bahwa deteksi dini dimulai dari SADANIS bisa dilakukan sendiri oleh semua individu. Jika ditemukan benjolan, bisa mendatangi Puskesmas atau fasilitas kesehatan yang sudah dilengkapi USG atau mammograf. Perkembangan saat ini sudah ada 3D atau automated breast USG di beberapa rumah sakit.
Di fasilitas kesehatan yang lebih tinggi, tersedia mammografi, yang berkembang dari 2D menjadi 3D (digital breast tomosynthesis). Selain itu ada peralatan diagnostik seperti MRI dan PET scan yang lebih canggih, untuk kasus-kasus khusus.
“Sarana deteksi dini sudah ada, program nasional telah dibuat sejak 2008, sistem rujukan diperkuat, tinggal pasiennya, mau melakukan atau tidak. Banyak yang berpikir bahwa benjolan di sekitar payudara itu cuma karena pengaruh hormonal, sehingga tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut,” ujar dr. Kardinah.
Setelah kasus kanker ditemukan, penanganan selanjutnya menjadi tantangan besar. Menurut Ketua PERABOI, dr. Walta Gautama, Sp.B (K) Onk, pasien yang merasa ada benjolan, mereka baru berani datang ke fasilitas kesehatan sekitar 1-3 bulan. Setelah itu, baru ditangani dengan benar dan butuh waktu 9-15 bulan.
“Jadi walau kita menekankan pentingnya deteksi dini, kalau penatalaksanaan tidak diperbaiki maka hasilnya akan sama saja. Sebab penanganan kanker harus benar dari awal sampai akhir,” tambah dr. Walta.
Hal inilah yang menyebabkan selama 35 tahun terakhir, belum ada kemajuan yang signifikan dalam upaya menekan kejadian kanker payudara stadium 3 dan 4 di tanah air.
“Masalahnya masih sama, yaitu belum ada regulasi standar untuk alur rujukan kasus terduga kanker payudara dari fasilitas kesehatan primer ke fasilitas sekunder dan tersier. Padahal untuk kemajuan terapi kanker payudara, Indonesia tidak kalah bahkan unggul dibandingkan negara lain,” tutup dr. Walta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(FIR)
Di Indonesia, dari 260 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 65.800 kasus kanker payudara. Data Perhimpuan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PERABOI) menemukan, dari 10.000 kasus kanker payudara, sekitar 70 persen adalah stadium 3 dan 4.
Ketua Indonesian Women Imaging Society (IWIS) dr. Kardinah SpRad (K), menjelaskan bahwa deteksi dini dimulai dari SADANIS bisa dilakukan sendiri oleh semua individu. Jika ditemukan benjolan, bisa mendatangi Puskesmas atau fasilitas kesehatan yang sudah dilengkapi USG atau mammograf. Perkembangan saat ini sudah ada 3D atau automated breast USG di beberapa rumah sakit.
Di fasilitas kesehatan yang lebih tinggi, tersedia mammografi, yang berkembang dari 2D menjadi 3D (digital breast tomosynthesis). Selain itu ada peralatan diagnostik seperti MRI dan PET scan yang lebih canggih, untuk kasus-kasus khusus.
“Sarana deteksi dini sudah ada, program nasional telah dibuat sejak 2008, sistem rujukan diperkuat, tinggal pasiennya, mau melakukan atau tidak. Banyak yang berpikir bahwa benjolan di sekitar payudara itu cuma karena pengaruh hormonal, sehingga tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut,” ujar dr. Kardinah.
Setelah kasus kanker ditemukan, penanganan selanjutnya menjadi tantangan besar. Menurut Ketua PERABOI, dr. Walta Gautama, Sp.B (K) Onk, pasien yang merasa ada benjolan, mereka baru berani datang ke fasilitas kesehatan sekitar 1-3 bulan. Setelah itu, baru ditangani dengan benar dan butuh waktu 9-15 bulan.
“Jadi walau kita menekankan pentingnya deteksi dini, kalau penatalaksanaan tidak diperbaiki maka hasilnya akan sama saja. Sebab penanganan kanker harus benar dari awal sampai akhir,” tambah dr. Walta.
Hal inilah yang menyebabkan selama 35 tahun terakhir, belum ada kemajuan yang signifikan dalam upaya menekan kejadian kanker payudara stadium 3 dan 4 di tanah air.
“Masalahnya masih sama, yaitu belum ada regulasi standar untuk alur rujukan kasus terduga kanker payudara dari fasilitas kesehatan primer ke fasilitas sekunder dan tersier. Padahal untuk kemajuan terapi kanker payudara, Indonesia tidak kalah bahkan unggul dibandingkan negara lain,” tutup dr. Walta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FIR)