FITNESS & HEALTH

Hari Hepatitis Sedunia 2022: Menkes Sebut Sisi Preventif akan Jauh Lebih Murah Dibanding Kuratif

Yatin Suleha
Kamis 28 Juli 2022 / 14:43
Jakarta: Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk di Indonesia, yang terdiri dari Hepatitis A, B, C, D dan E. Hepatitis A dan E sering muncul sebagai kejadian luar biasa, ditularkan secara fecal oral dan biasanya berhubungan dengan perilaku hidup bersih dan sehat, bersifat akut dan dapat sembuh dengan baik. 

Sedangkan Hepatitis B, C dan D (jarang) ditularkan secara parenteral, dapat menjadi kronis dan menimbulkan cirrhosis dan IaIu kanker hati. Dalam data yang dipaparkan oleh Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI (Infodatin Kemenkes) virus Hepatitis B telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia, sekitar 240 juta orang di antaranya menjadi pengidap Hepatitis B kronik.

Sedangkan untuk penderita Hepatitis C di dunia diperkirakan sebesar 170 juta orang. Sebanyak 1,5 juta penduduk dunia meninggal setiap tahunnya karena Hepatitis.

Masih dari Infodatin Kemenkes dipaparkan Indonesia merupakan negara dengan endemisitas tinggi Hepatitis B, terbesar kedua di negara South East Asian Region (SEAR) setelah Myanmar. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), studi dan uji saring darah donor PMI maka diperkirakan di antara 100 orang Indonesia, 10 di antaranya telah terinfeksi Hepatitis B atau C. 

Sehingga saat ini diperkirakan terdapat 28 juta penduduk Indonesia yang terinfeksi Hepatitis B dan C, 14 juta di antaranya berpotensi untuk menjadi kronis, dan dari yang kronis tersebut 1,4 juta orang berpotensi untuk menderita kanker hati. Besaran masalah tersebut tentunya akan berdampak sangat besar terhadap masalah kesehatan masyarakat, produktifitas, umur harapan hidup, dan dampak sosial ekonomi lainnya.

Dalam Hari Hepatitis Sedunia 2022, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memaparkan data serta langkah Indonesia dalam "Webinar Hari Hepatitis Sedunia: Mendekatkan Askes Pengobatan Hepatitis" dengan tema bahwa pemberian Tenofovir untuk cegah transmisi vertikal Hepatitis B.

"Hampir semua negara kecuali India dalam 20 tahun terakhir, pertumbuhan beban kesehatan per kapita tumbuh di atas pendapatan per kapita. Jadi ini merupakan hal yang sangat tidak sustainable," buka Menkes Budi Gunadi Sadikin.

Hal ini sambung Menkes, "Mengapa itu bisa terjadi? Karena memang banyak negara melakukan intervensinya itu lebih di sisi kuratif dibandingkan di sisi promotif." 

Lebih jauh soal belanja kesehatan dengan tindakan pencegahan serta outcome yang dihasilkan Menkes Budi menjelaskan, "Kita memelajari kok bisa ada negara yang belanja kesehatannya rendah tapi manusianya sehat dan usianya panjang."

"Dan jelas kesimpulannya adalah karena intervasi kesehatannya dilakukan di sisi preventif, dibandingkan yang mahal itu di sisi kuratif," beber Menkes membandingkan antara belanja kesehatan per kapita Amerika yang USD10 ribu/tahun rata-rata usia hidupnya 79 tahun.

Sedangkan belanja kesehatan per kapita Jepang berada di angka USD4.400 (40 persen dari Amerika dengan angka harapan hidupnya 84 tahun). Dan Menkes sebutkan dengan negara Singapura dengan rata-rata usia hidupnya 83,6 tahun dengan belanja kesehatannya USD1.760 (17 persen dari orang Amerika dengan outcome yang lebih baik). 

Dua negara terakhir yang menurut Menkes adalah belanja kesehatan sedikit namun dengan outcome rata-rata usia hidup yang lebih panjang.



(Tenofovir disebut Menkes akan jauh lebih murah kalau intervensinya memberikan antivirus ini kepada ibu hamil. Foto: Ilustrasi/Pexels.com)
 

Sisi preventif yang jauh lebih murah daripada kuratif


Jadi menurut Menkes intervensi di sisi preventif jauh lebih murah dibandingkan dengan intervensi di sisi kuratif. Selanjutnya Menkes mengatakan bahwa perhatiannya di sisi preventif adalah menjaga agar orang hidup sehat

"Fokus dari intervensi program kesehatan harus kita dorong lebih ke sisi preventif. Ke sisi hulu, bukan di sisi kuratif atau di sisi hilir. Dari sisi biaya jauh lebih murah, dari kualitas hidup masyarakat jauh lebih baik," tegas Menkes.

Khusus mengenai hepatitis menurut Menkes kita wajib dan harus melakukan surveilans hepatitis B bagi 4,8 juta ibu hamil apakah yang bersangkutan sudah ada hepatitis B atau tidak.

"Kalau ada hepatitis B, ada yang bilang 5 persen, ada yang bilang 4 persen, itu harus segera dikasih obat," tegas Menkes.

Tenofovir disebut Menkes akan jauh lebih murah kalau intervensinya memberikan antivirus ini kepada ibu hamil 5 persen dari 4,8 juta ibu hamil yang ada di Indonesia sebelum masuk menjadi sirosis atau kanker hati. 

"Jadi itu prioritas utamanya. Kita intervensi di ibunya. Preventif supaya sebelum bayinya lahir dia enggak ada. Caranya dengan apa, 1A caranya dengan surveilans ibu hamil dengan testing pakai rapid test aja biar gampang semua posyandu nanti dikasih bisa lakukan itu semua bidan. Yang kedua, kalau sudah positif dikasih antivirus dan Tenofovir ini," pungkas Menkes.

Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

(TIN)

MOST SEARCH