FITNESS & HEALTH
Implementasi Program MBG Masih Perlu Penyesuaian, Ini Catatan dari Para Ahli
A. Firdaus
Selasa 15 Juli 2025 / 14:15
Jakarta: Sejumlah pakar gizi menilai program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang tengah dijalankan pemerintah merupakan langkah positif untuk meningkatkan kualitas gizi masyarakat, namun pelaksanaannya masih memerlukan penyempurnaan dalam berbagai aspek. Salah satunya adalah pembaruan regulasi dan penyesuaian terhadap kondisi lapangan, termasuk ketersediaan bahan pangan dan keberagaman kelompok sasaran.
Program MBG menjadi perhatian penting setelah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024, sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. PP ini diharapkan segera ditindaklanjuti kementerian terkait melalui penyusunan aturan teknis terbaru. Namun hingga kini, pelaksanaan masih mengacu pada aturan lama.
“Mestinya Kementerian sudah mulai menyusun regulasi teknis untuk implementasi PP tersebut. Karena sekarang ini kita masih memakai aturan yang merupakan turunan dari undang-undang lama,” ujar Ketua DPP Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) Bidang Ilmiah, Dr. Marudut Sitompul, MPS.
Baca juga: Mulai Juli, Siswa Usai Makan Bergizi Gratis Bakal Senam Otak
Meski secara konsep dinilai baik, implementasi MBG menghadapi berbagai kendala. Salah satunya adalah ketimpangan pemahaman antar daerah, serta keterbatasan bahan pangan lokal yang tidak selalu sesuai dengan standar menu yang ditetapkan.
Selain itu, menu yang disediakan kerap tidak sesuai dengan preferensi anak. Hal ini membuat makanan tidak dimakan dan justru dibawa pulang.
“Saya melihat langsung ke lapangan, anak-anak tidak suka menunya. Makanan dibungkus dan dibawa pulang. Ini harus menjadi evaluasi agar penyusunan menu mempertimbangkan selera lokal dan kebiasaan makan anak,” jelas ahli gizi Didit Damayanti, M. Sc.Ph.D, yang terlibat dalam pemantauan pelaksanaan MBG.
.jpeg)
Ahli gizi Didit Damayanti, M. Sc.Ph.D (kiri) dan Ketua DPP Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) Bidang Ilmiah, Dr. Marudut Sitompul, MPS. Dok. A. Firdaus/Medcom
Para ahli menilai pentingnya keterlibatan tenaga gizi profesional dalam merancang menu yang tidak hanya bergizi dan aman, tapi juga menarik bagi anak-anak, terutama jika program dijalankan setiap hari.
Dr. Marudut menekankan bahwa keberhasilan MBG tidak cukup hanya dengan memberikan makanan bergizi, namun harus diiringi dengan pendidikan gizi agar terbentuk kebiasaan makan sehat sejak dini. Anak yang memahami pentingnya makan sehat berpotensi menjadi agen perubahan di lingkungan keluarganya.
“Kalau anak-anak teredukasi, mereka bisa menjadi agen perubahan di rumah. Tapi kalau tidak, makanan bergizi pun tidak dimaknai dan dimanfaatkan dengan optimal,” ujar Dr. Marudut.
Selain itu, permasalahan gizi ganda—yakni obesitas dan kekurangan gizi—masih menjadi tantangan besar. Oleh karena itu, intervensi gizi seperti MBG perlu dikombinasikan dengan aktivitas fisik, edukasi, dan pengawasan pola makan.
Isu keamanan pangan juga menjadi perhatian. Makanan yang diberikan harus memenuhi standar aman dan bergizi, bukan hanya praktis dan murah. Misalnya, penggunaan susu dengan tambahan gula atau camilan tidak sehat yang masih ditemukan di beberapa lokasi pelaksanaan program.
“Susu yang digunakan seharusnya tanpa tambahan gula. Tapi kenyataannya, masih ditemukan susu rasa coklat atau manis. Ini menyimpang dari standar,” tegas seorang narasumber.
Program MBG di Indonesia juga berbeda dengan negara lain, karena cakupan sasarannya sangat luas—mulai dari ibu hamil, ibu menyusui, balita, hingga anak sekolah. Hal ini menambah kompleksitas pelaksanaan di lapangan.
Meski demikian, para ahli menilai riak-riak kritik terhadap program ini adalah hal yang wajar, selama dijadikan momentum untuk memperbaiki sistem.
Sebagai bagian dari solusi, orang tua juga diimbau untuk memperhatikan gizi seimbang anak, termasuk saat membekali anak ke sekolah. Prinsip sederhana seperti 'Isi Piringku' yang terdiri dari makanan pokok, lauk, sayur, dan buah bisa menjadi panduan praktis.
“Jangan hanya aman, tapi juga harus bergizi. Visualisasi ‘Isi Piringku’ itu paling mudah diterapkan di rumah,” tambah Didit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(FIR)
Program MBG menjadi perhatian penting setelah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024, sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. PP ini diharapkan segera ditindaklanjuti kementerian terkait melalui penyusunan aturan teknis terbaru. Namun hingga kini, pelaksanaan masih mengacu pada aturan lama.
“Mestinya Kementerian sudah mulai menyusun regulasi teknis untuk implementasi PP tersebut. Karena sekarang ini kita masih memakai aturan yang merupakan turunan dari undang-undang lama,” ujar Ketua DPP Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) Bidang Ilmiah, Dr. Marudut Sitompul, MPS.
Baca juga: Mulai Juli, Siswa Usai Makan Bergizi Gratis Bakal Senam Otak
Tantangan di Lapangan: Ketersediaan Bahan hingga Selera Anak
Meski secara konsep dinilai baik, implementasi MBG menghadapi berbagai kendala. Salah satunya adalah ketimpangan pemahaman antar daerah, serta keterbatasan bahan pangan lokal yang tidak selalu sesuai dengan standar menu yang ditetapkan.
Selain itu, menu yang disediakan kerap tidak sesuai dengan preferensi anak. Hal ini membuat makanan tidak dimakan dan justru dibawa pulang.
“Saya melihat langsung ke lapangan, anak-anak tidak suka menunya. Makanan dibungkus dan dibawa pulang. Ini harus menjadi evaluasi agar penyusunan menu mempertimbangkan selera lokal dan kebiasaan makan anak,” jelas ahli gizi Didit Damayanti, M. Sc.Ph.D, yang terlibat dalam pemantauan pelaksanaan MBG.
.jpeg)
Ahli gizi Didit Damayanti, M. Sc.Ph.D (kiri) dan Ketua DPP Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) Bidang Ilmiah, Dr. Marudut Sitompul, MPS. Dok. A. Firdaus/Medcom
Para ahli menilai pentingnya keterlibatan tenaga gizi profesional dalam merancang menu yang tidak hanya bergizi dan aman, tapi juga menarik bagi anak-anak, terutama jika program dijalankan setiap hari.
MBG butuh rdukasi, bukan sekadar distribusi
Dr. Marudut menekankan bahwa keberhasilan MBG tidak cukup hanya dengan memberikan makanan bergizi, namun harus diiringi dengan pendidikan gizi agar terbentuk kebiasaan makan sehat sejak dini. Anak yang memahami pentingnya makan sehat berpotensi menjadi agen perubahan di lingkungan keluarganya.
“Kalau anak-anak teredukasi, mereka bisa menjadi agen perubahan di rumah. Tapi kalau tidak, makanan bergizi pun tidak dimaknai dan dimanfaatkan dengan optimal,” ujar Dr. Marudut.
Selain itu, permasalahan gizi ganda—yakni obesitas dan kekurangan gizi—masih menjadi tantangan besar. Oleh karena itu, intervensi gizi seperti MBG perlu dikombinasikan dengan aktivitas fisik, edukasi, dan pengawasan pola makan.
Sorotan terhadap pengawasan dan standar pangan
Isu keamanan pangan juga menjadi perhatian. Makanan yang diberikan harus memenuhi standar aman dan bergizi, bukan hanya praktis dan murah. Misalnya, penggunaan susu dengan tambahan gula atau camilan tidak sehat yang masih ditemukan di beberapa lokasi pelaksanaan program.
“Susu yang digunakan seharusnya tanpa tambahan gula. Tapi kenyataannya, masih ditemukan susu rasa coklat atau manis. Ini menyimpang dari standar,” tegas seorang narasumber.
Program MBG di Indonesia juga berbeda dengan negara lain, karena cakupan sasarannya sangat luas—mulai dari ibu hamil, ibu menyusui, balita, hingga anak sekolah. Hal ini menambah kompleksitas pelaksanaan di lapangan.
Meski demikian, para ahli menilai riak-riak kritik terhadap program ini adalah hal yang wajar, selama dijadikan momentum untuk memperbaiki sistem.
Rekomendasi untuk orang tua dan sekolah
Sebagai bagian dari solusi, orang tua juga diimbau untuk memperhatikan gizi seimbang anak, termasuk saat membekali anak ke sekolah. Prinsip sederhana seperti 'Isi Piringku' yang terdiri dari makanan pokok, lauk, sayur, dan buah bisa menjadi panduan praktis.
“Jangan hanya aman, tapi juga harus bergizi. Visualisasi ‘Isi Piringku’ itu paling mudah diterapkan di rumah,” tambah Didit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FIR)