FITNESS & HEALTH

Cerita Pengidap Hemofilia yang Kesulitan Mendeteksi Penyakitnya

A. Firdaus
Jumat 18 April 2025 / 13:07
Jakarta: Menurut World Federation of Hemophilia, diperkirakan 1 dari 10.000 orang di dunia mengalami hemofilia. Namun, prevalensi di Indonesia masih tergolong rendah karena banyak kasus yang belum terdiagnosis.

Data HMHI tahun 2024 menunjukkan baru sekitar 11% pasien hemofilia berhasil teridentifikasi di Indonesia, atau sebanyak 3.658. Jumlah ini masih jauh dari perkiraan yang seharusnya sejumlah 28.000 pasien.

HK, salah seorang pasien hemofilia, mengaku bahwa saat ini masih banyak tantangan dalam hal pendeteksian dan diagnosis hemofilia di Indonesia. Selama 34 tahun mengidap hemofilia, ia telah menjalani berbagai pengobatan seperti transfusi darah dan mengonsumsi obat konsentrat faktor VIII pembekuan darah.

"Dari perjalanan saya ini, saya banyak bertemu dengan pasien hemofilia lainnya, baik yang sudah dewasa maupun anak-anak. Saya melihat adanya tantangan dalam deteksi dan penanganan hemofilia di Indonesia, sehingga menyebabkan bayi dan anak-anak dengan penyakit ini mengalami perdarahan yang berisiko, sampai memakan korban jiwa. Tentunya ini sangat memilukan," ungkap HK dalam keterangan pers yang diterima Medcom.

"Untuk itu, perlu lebih banyak kampanye edukasi hemofilia, baik kepada dokter, tim medis, maupun masyarakat umum," sambungnya.

HK berharap ke depannya pengobatan hemofilia di Indonesia bisa lebih baik lagi. Begitu juga dengan obat konsentrat faktor pembekuan dapat terus ditanggung oleh BPJS.

"Mengingat obat ini terbukti efektif menyembuhkan dan menghindarkan pasien dari risiko infeksi melalui darah seperti Hepatitis dan lainnya," imbuhnya.

Sementara itu, SRS, pasien Von Willebrand Disease (VWD) berusia 17 tahun, menyatakan ia didiagnosis Von Wollebrand Disease pada saat berusia 7 tahun. Saat itu, terjadi perdarahan di gigi, gusi, dan terjadi lebam di beberapa bagian tubuh.

"Gejalanya yang ringan, membuat penyakit saya ini sulit didiagnosis, dan tidak terdeteksi. Tapi akhirnya ketahuan VWD di rumah sakit besar pemerintah, dan sejauh ini saya telah menjalankan pengobatan yang baik di rumah sakit tersebut," ungkap SRS.
 
Mulai dari cryoprecipitate, transfuse darah, sampai dengan terapi faktor. Keterbatasan fasilitas diagnostik dan minimnya edukasi membuat pasien VWD tidak mendapatkan penanganan yang tepat waktu.

"Oleh karena itu ke depannya saya berharap, VWD dapat lebih banyak dikenal oleh masyarakat, agar dapat dideteksi lebih dini dan mendapatkan penanganan yang lebih baik; serta pengobatan di Indonesia menjadi lebih mudah, baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Jadi, tenaga kesehatan dapat mendeteksi lebih dini, pengobatannya tersedia, dan terjangkau (ditanggung oleh BPJS)," terang SRS.

Shinta Caroline, Head of Oncology & Rare Disease Business Unit PT Takeda Indonesia, memahami bahwa perjalanan para pasien dan keluarga penyandang hemofilia penuh tantangan.

"Karena itu, kami berkomitmen menjadi mitra jangka panjang dalam meningkatkan layanan kesehatan. Bersama Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) dan para tenaga medis, kami ingin meningkatkan kesadaran masyarakat, agar penyakit ini bisa dikenali lebih awal, didiagnosa dengan tepat,dan penyandang bisa mendapatkan pengobatan yang sesuai, sehingga perdarahan pada pasien hemofilia dapat ditangani dengan baik dan dapat dicegah keparahannya," ucap Shinta.

Pentingnya advokasi hemofilia, VWD, serta penyakit perdarahan lainnya, terutama dalam peningkatan kesadaran dan tatalaksana penyakit, menggerakkan HMHI untuk meluncurkan kembali situs resmi HMHI dengan tampilan dan fitur baru yang lebih interaktif dan informatif.

Di situs ini pasien dan masyarakat dapat menemukan berbagai informasi edukatif seputar hemofilia dan penyakit perdarahan lain, termasuk cerita inspiratif dari para pasien. Tidak hanya itu, pasien dan keluarganya juga bisa menemukan 'Teman Hemofilia' yang berada di sekitar mereka, serta mendapatkan akses kontak HMHI untuk memperoleh dukungan dalam menghadapi perjalanan penyakitnya.

HMHI berharap ke depannya diagnosis hemofilia, VWD, dan gangguan perdarahan lainnya bisa dilakukan secara merata di berbagai wilayah di Indonesia. Saat ini, fasilitas pemeriksaan faktor dan inhibitor masih sangat terbatas dan hanya tersedia di beberapa kota besar. Selain itu, akses terhadap pengobatan diharapkan semakin baik, baik dari sisi ketersediaan maupun keterjangkauannya, agar tidak ada lagi pasien yang harus menunggu lama untuk mendapatkan haknya atas pengobatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

(FIR)

MOST SEARCH