FITNESS & HEALTH
Penggunaan Alat Defibrilator Bawah Kulit untuk Cegah KJM
Aulia Putriningtias
Kamis 28 Maret 2024 / 19:05
Jakarta: Sebagai penyumbang angka kematian terbesar di Indonesia, jenis penyakit jantung yang paling sering mengakibatkan henti jantung adalah gangguan irama jantung (aritmia). Ada teknologi yang dapat membantu cegah KJM (kematian jantung mendadak).
Aritmia berupa fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel yang cepat. Pada Indonesia, jumlah pasien yang meninggal akibat kematian jantung mendadak diperkirakan lebih dari 100.000 jiwa per tahun.
Salah satu jenis yang muncul adalah Sindroma Brugada, gangguan aritmia yang terjadi pada pasien tanpa keluhan. Sindroma ini menjadi penyumbang terbesar KJM pada individu sehat, ada sekitar lebih dari 20 persen.
Persentase kejadian KJM pada individu yang sehat ini, terutama di daerah Asia Tenggara, penderita akan mengalami impuls listrik pada sel di bilik kanan atas jantung. Hal ini akan menyebabkan jantung mudah berdetak dengan cepat.
Gejala yang timbul dari sindrom Brugada tidak jauh berbeda dengan gangguan irama jantung lainnya, seperti rasa berdebar, pingsan, kejang sampai meninggal mendadak. Sampai saat ini penyebab Sindrom brugada belum jelas pastinya.
Namun, faktor genetik dipercaya memberi kontribusi yang penting. Dari hasil interview, didapatkan bahwa kakak kandung pasien meninggal mendadak pada usia 50-an.
Pada pemeriksaan lanjutan, ditemukan bahwa pada pasien ini sangat mudah tercetus fibrilasi ventrikel, sebuah irama jantung supercepat yang mengancam nyawa. Kondisi tersebut menyebabkan jantung dapat berhenti di waktu yang tidak diketahui.

(Dr. Sunu Budhi Raharjo, SpJP(K), PhD, konsultan aritmia di Heartology Cardiovascular Hospital. Foto: Dok. Medcom.id/ Aulia Putriningtias)
Untuk penanganannya, menurut dr. Sunu Budhi Raharjo, SpJP(K), PhD, konsultan aritmia di Heartology Cardiovascular Hospital, perlu dilakukan pemasangan alat kardiak defibrilator implan (ICD). Ini agar mampu menormalkan denyut jantung sehingga terhindar dari risiko fatal.
“Dengan kemajuan teknologi, saat ini, pemasangan ICD tidak perlu langsung di jantung, namun cukup dipasang di bawah kulit, yang disebut S-ICD atau subcutaneous Implantable Cardioverter Defibrillator. Hal ini mampu memberi komplikasi lebih kecil. Yang tidak kalah penting, aktivitas pasien lebih tidak terganggu," kata dr. Sunu pada temu media, Senin, 25 Maret 2024 di Jakarta.
Dengan kemajuan teknologi, pemasangan ICD kini tak perlu langsung di jantung. Namun, di bawah kulit melalui metode Subcutaneous Implantable Cardioverter Defibrillator (S-ICD).
Dengan terpasangnya alat ICD pada seseorang yang berisiko tinggi, saat terjadi denyut jantung super cepat, alat akan secara otomatis menghentikan dengan sebuah energi kejut. Dengan begitu, orang tersebut terhindar dari risiko yang fatal.
Berbagai organisasi profesi nasional dan internasional memberikan rekomendasi klas-1 untuk pemasangan ICD pada pasien yang berisiko tinggi terjadi KJM. Sayangnya, dengan estimasi KJM sebesar >100.000 per tahun di Indonesia, implantasi alat ICD ini belum bisa di-cover dengan pembiayaan BPJS.
Menurut riset kesehatan dasar (Riskesdas) Kemenkes 2023, penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian terbesar kedua di Indonesia setelah stroke. Kematian yang disebabkan penyakit jantung dapat berupa serangan jantung maupun henti jantung
Adapun henti jantung terjadi ketika listrik jantung berdenyut supercepat (>300 denyut per menit), yang mengakibatkan seseorang kolaps, dan bisa meninggal dalam waktu kurang dari 10 menit. Ini sering disebut sebagai KJM.
Untuk mencegah terjadinya KJM, diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan untuk mengidentifikasi apakah seseorang mempunyai risiko tinggi mengalami KJM.
Di sini, EKG memiliki peran penting sebagai rekaman aktivitas listrik jantung ke dalam sebuah kertas. “Pemeriksaan EKG merupakan pemeriksaan sederhana yang penting dalam mengidentifikasi apakah seseorang berisiko tinggi mengalami KJM atau tidak,” pungkas dr. Sunu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(TIN)
Aritmia berupa fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel yang cepat. Pada Indonesia, jumlah pasien yang meninggal akibat kematian jantung mendadak diperkirakan lebih dari 100.000 jiwa per tahun.
Salah satu jenis yang muncul adalah Sindroma Brugada, gangguan aritmia yang terjadi pada pasien tanpa keluhan. Sindroma ini menjadi penyumbang terbesar KJM pada individu sehat, ada sekitar lebih dari 20 persen.
Persentase kejadian KJM pada individu yang sehat ini, terutama di daerah Asia Tenggara, penderita akan mengalami impuls listrik pada sel di bilik kanan atas jantung. Hal ini akan menyebabkan jantung mudah berdetak dengan cepat.
Apa penyebab dan gejala Sindroma Brugada?
Gejala yang timbul dari sindrom Brugada tidak jauh berbeda dengan gangguan irama jantung lainnya, seperti rasa berdebar, pingsan, kejang sampai meninggal mendadak. Sampai saat ini penyebab Sindrom brugada belum jelas pastinya.
Namun, faktor genetik dipercaya memberi kontribusi yang penting. Dari hasil interview, didapatkan bahwa kakak kandung pasien meninggal mendadak pada usia 50-an.
Pada pemeriksaan lanjutan, ditemukan bahwa pada pasien ini sangat mudah tercetus fibrilasi ventrikel, sebuah irama jantung supercepat yang mengancam nyawa. Kondisi tersebut menyebabkan jantung dapat berhenti di waktu yang tidak diketahui.

(Dr. Sunu Budhi Raharjo, SpJP(K), PhD, konsultan aritmia di Heartology Cardiovascular Hospital. Foto: Dok. Medcom.id/ Aulia Putriningtias)
Pemasangan ICD dengan metode ICD-S untuk mencegah KJM
Untuk penanganannya, menurut dr. Sunu Budhi Raharjo, SpJP(K), PhD, konsultan aritmia di Heartology Cardiovascular Hospital, perlu dilakukan pemasangan alat kardiak defibrilator implan (ICD). Ini agar mampu menormalkan denyut jantung sehingga terhindar dari risiko fatal.
“Dengan kemajuan teknologi, saat ini, pemasangan ICD tidak perlu langsung di jantung, namun cukup dipasang di bawah kulit, yang disebut S-ICD atau subcutaneous Implantable Cardioverter Defibrillator. Hal ini mampu memberi komplikasi lebih kecil. Yang tidak kalah penting, aktivitas pasien lebih tidak terganggu," kata dr. Sunu pada temu media, Senin, 25 Maret 2024 di Jakarta.
Dengan kemajuan teknologi, pemasangan ICD kini tak perlu langsung di jantung. Namun, di bawah kulit melalui metode Subcutaneous Implantable Cardioverter Defibrillator (S-ICD).
Dengan terpasangnya alat ICD pada seseorang yang berisiko tinggi, saat terjadi denyut jantung super cepat, alat akan secara otomatis menghentikan dengan sebuah energi kejut. Dengan begitu, orang tersebut terhindar dari risiko yang fatal.
Berbagai organisasi profesi nasional dan internasional memberikan rekomendasi klas-1 untuk pemasangan ICD pada pasien yang berisiko tinggi terjadi KJM. Sayangnya, dengan estimasi KJM sebesar >100.000 per tahun di Indonesia, implantasi alat ICD ini belum bisa di-cover dengan pembiayaan BPJS.
Pentingnya pemeriksaan EKG untuk pemeriksaan awal
Menurut riset kesehatan dasar (Riskesdas) Kemenkes 2023, penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian terbesar kedua di Indonesia setelah stroke. Kematian yang disebabkan penyakit jantung dapat berupa serangan jantung maupun henti jantung
Adapun henti jantung terjadi ketika listrik jantung berdenyut supercepat (>300 denyut per menit), yang mengakibatkan seseorang kolaps, dan bisa meninggal dalam waktu kurang dari 10 menit. Ini sering disebut sebagai KJM.
Untuk mencegah terjadinya KJM, diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan untuk mengidentifikasi apakah seseorang mempunyai risiko tinggi mengalami KJM.
Di sini, EKG memiliki peran penting sebagai rekaman aktivitas listrik jantung ke dalam sebuah kertas. “Pemeriksaan EKG merupakan pemeriksaan sederhana yang penting dalam mengidentifikasi apakah seseorang berisiko tinggi mengalami KJM atau tidak,” pungkas dr. Sunu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TIN)