FITNESS & HEALTH

Sampah Puntung Rokok Tak Dianggap B3, Padahal Mengandung Toksik dan Mikroplastik

A. Firdaus
Kamis 20 November 2025 / 14:26
Jakarta: Meski berbagai kajian ilmiah menyatakan puntung rokok mengandung bahan toksik dan logam berat, hingga kini tidak ada regulasi nasional yang mengkategorikannya sebagai limbah bahan berbahaya beracun (B3). Kementerian Lingkungan Hidup masih memasukkan puntung sebagai sampah rumah tangga, sehingga beban pembersihan sepenuhnya dipikul oleh masyarakat dan pemerintah daerah. 

Secara global, lebih dari 4,5 triliun puntung rokok dibuang setiap tahun (WHO, 2022), menjadikannya limbah plastik paling umum secara global dan menyumbang 30–40% sampah pantai. Indonesia, dengan konsumsi 322 miliar batang rokok per tahun, diduga menghasilkan lebih dari 100 ribu ton puntung setiap tahun, menjadikannya salah satu sumber utama polusi plastik dan toksik yang belum diatur.

Studi BRIN (Yogaswara & Cordova, 2023) menunjukkan rata-rata 1 puntung/m² di 18 pantai Indonesia. Sementara Zhao & You (2024) mencatat Indonesia memiliki tingkat konsumsi mikroplastik tertinggi di dunia, sebagian berasal dari rantai makanan laut yang terkontaminasi puntung rokok.

Data Ocean Conservancy (2022–2024) juga menunjukkan tren peningkatan tajam jumlah puntung yang ditemukan di pantai dunia, dari 1,1 juta menjadi 1,9 juta dalam dua tahun, akibat lemahnya regulasi dan absennya akuntabilitas industri rokok.
Menurut Muhammad Reza Cordova, Peneliti pada Pusat Penelitian Oceanografi BRIN, hasil riset BRIN di 18 pantai di Indonesia selama periode Februari 2018-Desember 2019 menunjukkan sampah puntung rokok berada di urutan delapan tertinggi dengan proporsi 6.47 persen. Berarti, setiap persatu meter persegi ditemukan satu puntung rokok. 

Kondisi ini menurut Reza sangat mengkhawatirkan mengingat puntung rokok adalah limbah beracun dan kerusakan yang ditimbulkan sangat berbahaya. 
 

1. Filter rokok berbahan selulosa


Pertama, filter rokok berbahan selulosa asetat yang sulit terurai dan berpotensi menjadi mikroplastik dalam waktu yang panjang di lingkungan. 


2. Puntung rokok mengandung nikotin


Puntung rokok juga adalah limbah beracun yang mengandung nikotin, logam berat (Pb, Cd, Ni, As), dan senyawa toksik lainnya yang dapat mencemari organisme laut. 
 

3. Risiko kesehatan manusia


Risiko kesehatan manusia, bioakumulasi dan transfer kontaminan melalui rantai makanan laut meningkatkan risiko paparan pada manusia, khususnya komunitas pesisir.  

"Dari semua faktor ini puntung rokok sangat memenuhi dikategorikan sebagai sampah B3 karena berdampak pada kesehatan ekosistem maupun manusia,” tegas Reza.

Menurut Fajri Fadhillah, Senior Regional Campaign Strategist Greenpeace Southeast Asia, di Indonesia telah terjadi ketidakadilan lingkungan, karena biaya pembersihan puntung rokok dibebankan pada publik dan pemerintah. Sementara industri memperoleh keuntungan dari penjualan produk yang menghasilkan limbah beracun.

"Setiap penanggung jawab yang usaha dan atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan. Industri rokok telah menciptakan polusi maka mereka harus membayar biaya penanganannya. Sehingga, seharusnya pemerintah menerapkan Polluter Pays Principle untuk memastikan industri rokok menanggung biaya pencemaran yang mereka ciptakan,” tegas Fajri.

Menurut Fajri, skema Extended Producer Responsibility (EPR) tidak relevan untuk produk tembakau karena berisiko dimanfaatkan sebagai greenwashing. 

"Produk tembakau itu adiktif, beracun, dan tidak bermanfaat, sehingga pendekatan EPR justru berisiko menjadi greenwashing dan tidak menurunkan konsumsi," jelas Fajri.

Menurut Dr. Mary Assunta, Senior Policy Advisor SEATCA, di sejumlah negara perusahaan rokok melakukan kegiatan corporate social responsibility (CSR) sebagai greenwashing. Misalnya industri rokok memobilisasi anak muda untuk mengumpulkan sampah pada hari lingkungan hidup. 

"Mereka bangga melakukan hal itu seolah-olah telah berkontribusi positif kepada masyarakat padahal sesungguhnya hanya menutupi dampak buruk dari rokok dan sampah puntung rokok,” tegas Mary.

Ia menambahkan, rancangan produk rokok memberikan kesan palsu seolah-olah filter rokok aman padahal risiko paru yang ditimbulkan lebih agresif. Rokok mengandung bahan beracun sehingga tidak bisa diterapkan daur ulang pada rokok.

Mary menegaskan industri tembakau tidak memiliki manfaat dari seluruh rangkaian ekosistemnya dari hulu ke hilir, mulai dari perkebunan tembakau, hingga perdagangan rokok, konsumsi dan sampah puntung rokok. Karena itu penerapan Extended Producer Responsibility (EPR) tidak bisa diterapkan pada produk tembakau. Industri rokok harus membayar atas kerusakan lingkungan yang dihasilkan. Saat ini ada dua negara yang sejak Januari 2023 sudah menerapkan kewajiban pembayaran sampah lingkungan yakni Irlandia dan Spanyol.

Sementara itu Daru Setyorini, selaku Dewan Pengarah AZWI dan Direktur Eksekutif ECOTON, menegaskan berbagai inisiatif lingkungan yang dipromosikan industri rokok selama ini adalah greenwashing, karena tidak memberi solusi pada akar persoalan; desain produk rokok dan kemasan sekali buang. Filter rokok dan kemasannya menghasilkan sampah yang tercecer mengotori lingkungan dan melepas polutan dan mikroplastik yang beracun. 

"Selama filter rokok terus diproduksi dan dibuang ke lingkungan, klaim kepedulian lingkungan dari industri rokok adalah penyangkalan fakta bahwa merekalah sumber utama krisis sampah plastik,” ujar Daru. 

"Pemerintah perlu memastikan bahwa mekanisme akuntabilitas produsen bersifat mengikat dan mewajibkan semua produsen bertanggung jawab atas pencegahan dan penanganan sampah produk dan kemasannya. EPR harus memastikan industri untuk mengubah desain produk dan kemasannya sehingga tidak mengotori dan meracuni lingkungan dan kesehatan masyarakat," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIR)

MOST SEARCH