Jakarta: Data dan survei terbaru menunjukkan bahwa kebiasaan merokok menjadi faktor risiko kematian yang sebenarnya bisa dicegah. Laporan World Health Organization (WHO) dalam fact sheet 2018 mengungkapkan bahwa tembakau menyebabkan 225.720 kematian setiap tahunnya di Indonesia, mencakup 14,7 persen dari total kematian.
Penyebab utama kematian terkait merokok adalah penyakit kardiovaskular, yang menyumbang 65 persen kasus. Penyakit ini bahkan mulai terjadi pada usia yang lebih muda, antara 30-44 tahun, dengan angka kejadian sebesar 45 persen.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2021 menunjukkan peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa sebesar 8,8 juta, dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta pada 2021. Data ini menunjukkan bahwa semakin banyak orang mulai merokok pada usia yang lebih muda, dengan usia rata-rata mulai merokok adalah 17,6 tahun, bisa meningkatkan risiko penyakit jantung pada populasi usia muda.
Hasil survei oleh Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada 2018 juga mengungkapkan bahwa 19,2 persen dari populasi anak muda menggunakan tembakau, dengan dominasi remaja putra.
Kebiasaan merokok tembakau berhubungan dengan munculnya penyakit kronik seperti kanker paru-paru, penyakit jantung, sumbatan pembuluh darah/stroke, dan penyakit paru kronik. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mendorong peningkatan kesadaran masyarakat tentang bahaya merokok dari sumber yang terpercaya dan berpartisipasi aktif dalam mencegah anak dan remaja dari perilaku merokok.
"PDPI merasa lebih bertanggung jawab dalam hal meningkatkan kesehatan dalam hal preventif promotif rehabilitatif dan kuratif. Sebagai langkah preventif promotif maka kita selalu bergerak mengedukasi, promosi menyehatkan masyarakat terkait dampak tembakau terhadap kesehatan, dan akibat membeli produk rokok yang berdampak pada kehidupan," tutur ketua pelaksana harian PDPI Pusat, Dr. Arif Santoso, Sp.P(K), Ph.D dalam konferensi pers Hari tanpa Tembakau Sedunia, Selasa, 30 Mei 2023.
Pentingnya menangani masalah merokok ini juga menjadi sorotan, terutama dengan adanya peningkatan jumlah perokok dan dampak kesehatan yang serius. Masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya merokok dan berperan aktif dalam melindungi anak-anak dan remaja dari kebiasaan merokok yang berbahaya.
"PDPI tidak bisa sendiri dan butuh teman-teman untuk mengedukasi masyarakat kita. Bahwa merokok itu bukanlah sesuatu yang normal. Anak-anak atau generasi muda harus diedukasi bahwa merokok itu bukanlah sesuatu yang bagus dan bukanlah pilihan," tutur Ketua kelompok kerja bidang rokok PDPI, Dr. Feni Fitriani Taufik, Sp.P(K)
Sebagai informasi tambahan, rokok elektronik atau vape juga menjadi perhatian karena semakin populer di Indonesia. Meskipun penggunaan rokok elektronik hanya sebesar 3 persen pada tahun 2021, angka ini meningkat 10 kali lipat dibandingkan pada 2011. PDPI menyampaikan bahwa rokok elektronik juga tidak aman dan tidak direkomendasikan sebagai alat bantu berhenti merokok, karena dapat memicu adiksi seperti halnya rokok konvensional.
"Badan kesehatan dunia (WHO) dan PDPI tidak merekomendasikan rokok elektronik ini sebagai sarana untuk berhenti merokok. Karena, baik rokok konvensional atau elektronik sama-sama memiliki bahan yang berbahaya dan bahan ini tidak ada batas aman untuk masuk ke tubuh kita," kata dr. Fitriani.
Produk tembakau terkini ini mengandung zat kimia berbahaya seperti nikotin, propilen glikol, dan gliserin. Penelitian telah menunjukkan bahwa residu nikotin dalam urine perokok elektronik memiliki kadar yang sama dengan perokok konvensional. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk meminimalisir atau mengurangi kegiatan tersebut.
Fauzi Pratama Ramadhan
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(FIR)
Penyebab utama kematian terkait merokok adalah penyakit kardiovaskular, yang menyumbang 65 persen kasus. Penyakit ini bahkan mulai terjadi pada usia yang lebih muda, antara 30-44 tahun, dengan angka kejadian sebesar 45 persen.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2021 menunjukkan peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa sebesar 8,8 juta, dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta pada 2021. Data ini menunjukkan bahwa semakin banyak orang mulai merokok pada usia yang lebih muda, dengan usia rata-rata mulai merokok adalah 17,6 tahun, bisa meningkatkan risiko penyakit jantung pada populasi usia muda.
Hasil survei oleh Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada 2018 juga mengungkapkan bahwa 19,2 persen dari populasi anak muda menggunakan tembakau, dengan dominasi remaja putra.
Kebiasaan merokok tembakau berhubungan dengan munculnya penyakit kronik seperti kanker paru-paru, penyakit jantung, sumbatan pembuluh darah/stroke, dan penyakit paru kronik. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mendorong peningkatan kesadaran masyarakat tentang bahaya merokok dari sumber yang terpercaya dan berpartisipasi aktif dalam mencegah anak dan remaja dari perilaku merokok.
"PDPI merasa lebih bertanggung jawab dalam hal meningkatkan kesehatan dalam hal preventif promotif rehabilitatif dan kuratif. Sebagai langkah preventif promotif maka kita selalu bergerak mengedukasi, promosi menyehatkan masyarakat terkait dampak tembakau terhadap kesehatan, dan akibat membeli produk rokok yang berdampak pada kehidupan," tutur ketua pelaksana harian PDPI Pusat, Dr. Arif Santoso, Sp.P(K), Ph.D dalam konferensi pers Hari tanpa Tembakau Sedunia, Selasa, 30 Mei 2023.
Pentingnya menangani masalah merokok ini juga menjadi sorotan, terutama dengan adanya peningkatan jumlah perokok dan dampak kesehatan yang serius. Masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya merokok dan berperan aktif dalam melindungi anak-anak dan remaja dari kebiasaan merokok yang berbahaya.
"PDPI tidak bisa sendiri dan butuh teman-teman untuk mengedukasi masyarakat kita. Bahwa merokok itu bukanlah sesuatu yang normal. Anak-anak atau generasi muda harus diedukasi bahwa merokok itu bukanlah sesuatu yang bagus dan bukanlah pilihan," tutur Ketua kelompok kerja bidang rokok PDPI, Dr. Feni Fitriani Taufik, Sp.P(K)
Sebagai informasi tambahan, rokok elektronik atau vape juga menjadi perhatian karena semakin populer di Indonesia. Meskipun penggunaan rokok elektronik hanya sebesar 3 persen pada tahun 2021, angka ini meningkat 10 kali lipat dibandingkan pada 2011. PDPI menyampaikan bahwa rokok elektronik juga tidak aman dan tidak direkomendasikan sebagai alat bantu berhenti merokok, karena dapat memicu adiksi seperti halnya rokok konvensional.
"Badan kesehatan dunia (WHO) dan PDPI tidak merekomendasikan rokok elektronik ini sebagai sarana untuk berhenti merokok. Karena, baik rokok konvensional atau elektronik sama-sama memiliki bahan yang berbahaya dan bahan ini tidak ada batas aman untuk masuk ke tubuh kita," kata dr. Fitriani.
Produk tembakau terkini ini mengandung zat kimia berbahaya seperti nikotin, propilen glikol, dan gliserin. Penelitian telah menunjukkan bahwa residu nikotin dalam urine perokok elektronik memiliki kadar yang sama dengan perokok konvensional. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk meminimalisir atau mengurangi kegiatan tersebut.
Fauzi Pratama Ramadhan
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FIR)