FEATURE
Nukila Evanty Perjuangkan Nasib Suku Laut di Kepulauan Riau
Medcom
Kamis 26 September 2024 / 18:30
Jakarta: Memajukan suatu daerah, diperlukan pembangunan yang kontinu. Karena itu, berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) dibangun pemerintah, dari Sabang sampai Merauke. Termasuk PSN di Kepulauan Riau.
Nukila Evanty, Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) dan Ketua Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Kejahatan Terorganisir (Koalisi), menyoroti khusus terkait penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Tanjung Sauh, Pulau Batam, Kepulauan Riau.
KEK di Tanjung Sauh diharapkan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 366.087 orang hingga tahun 2053 mendatang. Hal ini karena realisasi investasi sebesar Rp199,6 triliun. Menurut Dewan KEK, KEK Tanjung Sauh mempunyai rencana bisnis produksi dan pengolahan energi, logistik serta distribusi.
Meski memiliki tujuan yang mulia melalui KEK ini, namun Nukila meminta agar para pembuat kebijakan perlu melakukan komunikasi dengan masyarakat adat setempat, terutama yang paling terdampak atas kebijakan ini adalah Suku Laut. Suku Laut adalah masyarakat yang telah lama hidup di laut, jika musim badai laut, maka mereka akan kembali ke darat dan tinggal di kawasan pesisir.
Berbagai Proyek Pembangunan Nasional, ada yang berdampak pada kehidupan mereka di laut. Dalam hal ini, laut menjadi tercemar, karena pembangunan. Padahal Suku Laut hidup di laut dan dihidupi oleh laut.
“Apakah Anda pernah bayangkan kesedihan Suku Laut, ketika laut tak seperti dulu lagi. Laut tak lagi bersahabat, karena telah tercemar, bahkan laut meminggirkan mereka. Dari laut mereka hidup, karena umumnya bekerja menjadi nelayan. Dengan laut yang tercemar, mereka tidak mudah lagi menangkap ikap, lalu dijual. Karena ikan makin sulit didapatkan,” jelas Nukila.
Suku Laut yang berada di Kepulauan Riau, merupakan bagian dari suku Melayu-Lingga. “Suku Laut ini telah ada, jauh sebelum Indonesia Merdeka. Mereka berjasa buat kita karena dahulu menjaga selat-selat, mengusir bajak laut dan penjaga wilayah perairan kesultanan waktu itu,” kisah Nukila.
Belum lama ini, Nukila mengunjungi Suku Laut di Kepulauan Riau. “Saya terharu karena mereka masih mempertahankan beberapa tradisi nenek moyang, mulai dari membuat kajang (penutup perahu), rumah panggung, menangkap ikan dengan tombak dan sebelum melaut, mereka bisa melihat tanda-tanda cuaca dengan melihat posisi bintang di langit,“ ungkap Nukila.
.jpeg)
(Nukila Evanty, Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) dan Ketua Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Kejahatan Terorganisir (Koalisi), menyoroti khusus terkait penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Tanjung Sauh, Pulau Batam, Kepulauan Riau. Foto: Dok. Istimewa)
Karena itu, Nukila berharap, pembangunan terus berjalan, tapi jangan sampai mengabaikan eksistensi suku-suku asli di daerah Kepulauan Riau ini.
“Kalau mereka dipaksa pindah ke darat, belum tentu mampu hidup. Karena kehidupan mereka ada di laut. Jangan sampai pembangun mengabaikan kehidupan Suku Laut. Jika kita tidak menjaga eksistensi Suku Laut, mungkin Suku Laut di Kepualauan Riau ini adalah suku laut terakhir yang kita pernah punya dalam sejarah dan peradaban kita,” kata Nukila dengan miris.
Nukila menyoroti perlunya tindakan konkret untuk mendukung suku laut di Kepulauan Riau. “Pengakuan identitas suku laut ini sangat penting. Jumlah mereka yang masih mempertahankan tradisi sebagai suku laut sekarang bisa dihitung dengan jari. Jika tidak ada langkah konkret untuk mendukung mereka, kita akan kehilangan satu lagi bahasa dan budaya lokal, serta pengetahuan yang berharga tentang laut,” kata Nukila.
Dibutuhkan pendekatan komprehensif dan multisektor untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan di suku laut.
Mulai dari akses kesehatan, pendidikan, hingga peralatan bantu untuk perempuan lanjut usia dan dengan disabilitas. Akses sekolah yang jauh dari kediaman mereka menjadi salah satu tantangan utama yang perlu segera diatasi.
“Kebijakan yang sensitif gender dan didukung oleh data berbasis gender sangat diperlukan. Hal ini akan memungkinkan pemerintah untuk melakukan intervensi yang tepat bagi perempuan di suku laut. Tanpa perhatian khusus terhadap gender, upaya pembangunan akan gagal mencapai tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan,” kata Nukila.
Nukila menegaskan bahwa terus menerusnya pembiaran akan merugikan pemerintah sendiri, dan menyulitkan pencapaian komitmen dalam Sustainable Development Goals di dunia internasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(TIN)
Nukila Evanty, Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) dan Ketua Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Kejahatan Terorganisir (Koalisi), menyoroti khusus terkait penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Tanjung Sauh, Pulau Batam, Kepulauan Riau.
KEK di Tanjung Sauh diharapkan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 366.087 orang hingga tahun 2053 mendatang. Hal ini karena realisasi investasi sebesar Rp199,6 triliun. Menurut Dewan KEK, KEK Tanjung Sauh mempunyai rencana bisnis produksi dan pengolahan energi, logistik serta distribusi.
Meski memiliki tujuan yang mulia melalui KEK ini, namun Nukila meminta agar para pembuat kebijakan perlu melakukan komunikasi dengan masyarakat adat setempat, terutama yang paling terdampak atas kebijakan ini adalah Suku Laut. Suku Laut adalah masyarakat yang telah lama hidup di laut, jika musim badai laut, maka mereka akan kembali ke darat dan tinggal di kawasan pesisir.
Berbagai Proyek Pembangunan Nasional, ada yang berdampak pada kehidupan mereka di laut. Dalam hal ini, laut menjadi tercemar, karena pembangunan. Padahal Suku Laut hidup di laut dan dihidupi oleh laut.
“Apakah Anda pernah bayangkan kesedihan Suku Laut, ketika laut tak seperti dulu lagi. Laut tak lagi bersahabat, karena telah tercemar, bahkan laut meminggirkan mereka. Dari laut mereka hidup, karena umumnya bekerja menjadi nelayan. Dengan laut yang tercemar, mereka tidak mudah lagi menangkap ikap, lalu dijual. Karena ikan makin sulit didapatkan,” jelas Nukila.
Suku Laut yang berada di Kepulauan Riau, merupakan bagian dari suku Melayu-Lingga. “Suku Laut ini telah ada, jauh sebelum Indonesia Merdeka. Mereka berjasa buat kita karena dahulu menjaga selat-selat, mengusir bajak laut dan penjaga wilayah perairan kesultanan waktu itu,” kisah Nukila.
Belum lama ini, Nukila mengunjungi Suku Laut di Kepulauan Riau. “Saya terharu karena mereka masih mempertahankan beberapa tradisi nenek moyang, mulai dari membuat kajang (penutup perahu), rumah panggung, menangkap ikan dengan tombak dan sebelum melaut, mereka bisa melihat tanda-tanda cuaca dengan melihat posisi bintang di langit,“ ungkap Nukila.
.jpeg)
(Nukila Evanty, Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) dan Ketua Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Kejahatan Terorganisir (Koalisi), menyoroti khusus terkait penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Tanjung Sauh, Pulau Batam, Kepulauan Riau. Foto: Dok. Istimewa)
Karena itu, Nukila berharap, pembangunan terus berjalan, tapi jangan sampai mengabaikan eksistensi suku-suku asli di daerah Kepulauan Riau ini.
“Kalau mereka dipaksa pindah ke darat, belum tentu mampu hidup. Karena kehidupan mereka ada di laut. Jangan sampai pembangun mengabaikan kehidupan Suku Laut. Jika kita tidak menjaga eksistensi Suku Laut, mungkin Suku Laut di Kepualauan Riau ini adalah suku laut terakhir yang kita pernah punya dalam sejarah dan peradaban kita,” kata Nukila dengan miris.
Nukila menyoroti perlunya tindakan konkret untuk mendukung suku laut di Kepulauan Riau. “Pengakuan identitas suku laut ini sangat penting. Jumlah mereka yang masih mempertahankan tradisi sebagai suku laut sekarang bisa dihitung dengan jari. Jika tidak ada langkah konkret untuk mendukung mereka, kita akan kehilangan satu lagi bahasa dan budaya lokal, serta pengetahuan yang berharga tentang laut,” kata Nukila.
Dibutuhkan pendekatan komprehensif dan multisektor untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan di suku laut.
Mulai dari akses kesehatan, pendidikan, hingga peralatan bantu untuk perempuan lanjut usia dan dengan disabilitas. Akses sekolah yang jauh dari kediaman mereka menjadi salah satu tantangan utama yang perlu segera diatasi.
“Kebijakan yang sensitif gender dan didukung oleh data berbasis gender sangat diperlukan. Hal ini akan memungkinkan pemerintah untuk melakukan intervensi yang tepat bagi perempuan di suku laut. Tanpa perhatian khusus terhadap gender, upaya pembangunan akan gagal mencapai tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan,” kata Nukila.
Nukila menegaskan bahwa terus menerusnya pembiaran akan merugikan pemerintah sendiri, dan menyulitkan pencapaian komitmen dalam Sustainable Development Goals di dunia internasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TIN)