FAMILY
Isu Pernikahan Dini Mencuat, Ini Kata Psikologi Anak Terkait Dampaknya
Medcom
Rabu 25 Januari 2023 / 10:05
Jakarta: Fenomena pernikahan dini belakangan ini kian menaik. Seperti 191 remaja di Ponorogo meminta permohonan dispensasi pernikahan dini dan dikabulkan sebanyak 176 pemohon.
Rata-rata pengajuan dispensasi pernikahan disebabkan karena hamil di luar nikah, faktor ekonomi, dan juga faktor pendidikan. Anak-anak dengan pendidikan terakhir SMP yang menjadi terbanyak mengajukan dispensasi nikah. Sisanya, pendidikan SD sekitar 54 perkara, SMA 25 perkara, dan tidak sekolah 6 perkara.
Bukan hanya di Ponorogo saja, fenomena pernikahan dini di Aceh sepanjang 2022 sudah tercatat lebih dari 600 orang mengajukan permohonan pernikahan dini. Hal tersebut ditengarai oleh pergaulan bebas.
Bupati Ponorogo menyebut bahwa Kabupaten Ponorogo masih berada di urutan ke-28 dari kota-kota lain di Jawa Timur perihal jumlah pengajuan dispensasi pernikahan.
Namun, ini menjadi kekhawatiran dari seorang psikolog anak, remaja, dan juga keluarga, terkait angka pernikahan dini yang tinggi di Indonesia.

(Sebanyak 191 remaja di Ponorogo meminta permohonan dispensasi pernikahan dini. Foto: Dok. Tangkapan layar Program Newsline Metro TV/Metrotvnews.com)
Sani Budiantini, seorang psikolog anak, remaja, dan keluarga mengungkapkan bahwa pernikahan dini bukan hanya atas dasar suka sama suka, tetapi harus ada kesiapan mental dan juga kematangan dalam menjalaninya.
Jika tidak ada kesiapan, maka akan timbul berbagai masalah di kemudian hari, bukan hanya terhadap individu, tetapi juga negara.
“Untuk melakukan suatu pernikahan, dibutuhkan kematangan mental yang cukup. Betul tadi, bukan hanya suka sama suka, tapi juga kesiapan. Karena, menikah itu seperti naik gunung, ya, persiapannya harus matang. Kalau tidak, apa yang terjadi? Bisa masalah yang luar biasa itu muncul.,” kata Sani dalam Newsline Metro TV, Kamis, 19 Januari 2023 kemarin.
Masalah psikologis yang kerap kali muncul pada seseorang yang mengalami nikah muda terhitung tidak sedikit. Masalah-masalah tersebut seperti adanya tekanan mental yang berat karena menjadi seorang ibu dan istri sekaligus, masalah kesehatan ibu dan anak, potensial KDRT, permasalahan ekonomi, dan juga perceraian.
“Karena kita tahu, salah satu perceraian karena tidak matangnya dalam membangun rumah tangga, karena pondasi yang tidak matang. Ini sangat meresahkan, bukan hanya masalah individu, generasi, maupun daerah saja, tetapi ini ancaman buat negara kita ke depannya,” jelasnya.
Pergaulan bebas diyakini sebagai salah satu penyebab dari adanya pernikahan dini, apalagi disebabkan karena terjadinya hamil di luar nikah.
Sani mengatakan bahwa orang tua diharuskan mengajarkan pendidikan seks sejak dini guna anak menjaga diri dari pergaulan bebas.
Sani mengatakan pergaulan bebas dikarenakan seseorang yang tidak tahu bagaimana cara untuk mengendalikan hasrat kebutuhan seksualnya. Maka dari itu, pendidikan seks sejak dini harus ditekankan kepada anak, baik dari orang tua, sekolah, maupun pemerintah.
Namun, Sani mengatakan bahwa perubahan pikiran terkait pendidikan seks menjadi tidak tabu tentunya sulit untuk dilakukan, terutama pada daerah-daerah yang memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah. Sebab bagi mereka, hal tersebut tidak menjangkau permasalahan ekonomi dan tentang masalah kehidupan lainnya.
Pemerintah perlu untuk turun tangan menangani masalah pernikahan dini dengan segera. Namun, penanganannya tidak hanya melalui masalah keagamaan, tetapi juga melalui masalah psikologis yang terjadi pada anak remaja pada umumnya.
“Ini yang saya rasa, perlunya pemerintah untuk turun tangan sekarang juga. Bukan hanya menekan melalui masalah keagamaan, tapi secara psikologis, apa yang harus anak lakukan, apa saja yang kita tahu tentang gairah yang sedang meningkat, ada ketertarikan terhadap pasangan, dan libido lagi tinggi, dan semua hal baru, ini menjadi masalah psikologis yang perlu ditangani, tidak hanya dalam masalah agama, tetapi juga masalah psikologis,” tegasnya.

(Langkah preventif yang disarankan oleh Sani pun adalah pembekalan secara menyeluruh, baik itu mental, pendidikan, dan juga agama. Foto: Dok. Tangkapan layar Program Newsline Metro TV/Metrotvnews.com)
Sani menambahkan pemerintah dapat menangani permasalahan pernikahan dini dengan cara pemberian pembekalan terkait pendidikan di sekolah dan kegiatan-kegiatan kreativitas seperti karang taruna atau perlombaan.
“Saya mengharapkan sekali pemerintah daerah maupun pusat juga menyelenggarakan banyak wadah-wadah untuk kegiatan remaja misalnya tempat olahraga, suasana bermain, kreativitas, maupun kompetisi-kompetisi. Sehingga, anak itu tidak memikirkan masalah seksualnya. Dia bisa menyalurkan hasratnya ke dalam kegiatan yang kreatif,” lanjutnya.
Sani pula menegaskan bahwa peran pemerintah untuk menurunkan angka pernikahan dini juga dibutuhkan, selain dari keluarga dan pendidikan. Bahkan, ia juga menyebut kehadiran peran psikolog bisa membantu masyarakat seperti mengubah pikiran terkait pendidikan seks dan juga memberikan tips untuk mengendalikan anak remaja pada sisi masalah hasrat seksual mereka.
Langkah preventif yang disarankan oleh Sani pun adalah pembekalan secara menyeluruh, baik itu mental, pendidikan, dan juga agama. Pembekalan tersebut mengenai edukasi terkait peran seorang ibu dan dukungan terhadap sekitar. Peran dukungan keluarga menjadi hal penting untuk membuat beban tanggungan lebih bisa terurai dan diselesaikan perlahan.
“Nah, di sini sebenarnya ketika anak muda menikah, butuh support dari keluarga. Tidak menyalahkan, tidak memojokkan, tapi membantu. Sehingga, misalnya beban tanggungan anak pun lebih terurai. Atau mungkin juga masalah ekonomi bisa terbantu. Jadi, butuhnya dukungan keluarga di sini sangat dipentingkan, selain pembekalan secara mental, pendidikan, maupun dari sisi agama tadi,” pungkasnya.
Aulia Putriningtias
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(TIN)
Rata-rata pengajuan dispensasi pernikahan disebabkan karena hamil di luar nikah, faktor ekonomi, dan juga faktor pendidikan. Anak-anak dengan pendidikan terakhir SMP yang menjadi terbanyak mengajukan dispensasi nikah. Sisanya, pendidikan SD sekitar 54 perkara, SMA 25 perkara, dan tidak sekolah 6 perkara.
Bukan hanya di Ponorogo saja, fenomena pernikahan dini di Aceh sepanjang 2022 sudah tercatat lebih dari 600 orang mengajukan permohonan pernikahan dini. Hal tersebut ditengarai oleh pergaulan bebas.
Bupati Ponorogo menyebut bahwa Kabupaten Ponorogo masih berada di urutan ke-28 dari kota-kota lain di Jawa Timur perihal jumlah pengajuan dispensasi pernikahan.
Namun, ini menjadi kekhawatiran dari seorang psikolog anak, remaja, dan juga keluarga, terkait angka pernikahan dini yang tinggi di Indonesia.

(Sebanyak 191 remaja di Ponorogo meminta permohonan dispensasi pernikahan dini. Foto: Dok. Tangkapan layar Program Newsline Metro TV/Metrotvnews.com)
Sani Budiantini, seorang psikolog anak, remaja, dan keluarga mengungkapkan bahwa pernikahan dini bukan hanya atas dasar suka sama suka, tetapi harus ada kesiapan mental dan juga kematangan dalam menjalaninya.
Jika tidak ada kesiapan, maka akan timbul berbagai masalah di kemudian hari, bukan hanya terhadap individu, tetapi juga negara.
“Untuk melakukan suatu pernikahan, dibutuhkan kematangan mental yang cukup. Betul tadi, bukan hanya suka sama suka, tapi juga kesiapan. Karena, menikah itu seperti naik gunung, ya, persiapannya harus matang. Kalau tidak, apa yang terjadi? Bisa masalah yang luar biasa itu muncul.,” kata Sani dalam Newsline Metro TV, Kamis, 19 Januari 2023 kemarin.
Masalah psikologis yang kerap kali muncul pada seseorang yang mengalami nikah muda terhitung tidak sedikit. Masalah-masalah tersebut seperti adanya tekanan mental yang berat karena menjadi seorang ibu dan istri sekaligus, masalah kesehatan ibu dan anak, potensial KDRT, permasalahan ekonomi, dan juga perceraian.
“Karena kita tahu, salah satu perceraian karena tidak matangnya dalam membangun rumah tangga, karena pondasi yang tidak matang. Ini sangat meresahkan, bukan hanya masalah individu, generasi, maupun daerah saja, tetapi ini ancaman buat negara kita ke depannya,” jelasnya.
Pergaulan bebas diyakini sebagai salah satu penyebab dari adanya pernikahan dini, apalagi disebabkan karena terjadinya hamil di luar nikah.
Sani mengatakan bahwa orang tua diharuskan mengajarkan pendidikan seks sejak dini guna anak menjaga diri dari pergaulan bebas.
Sani mengatakan pergaulan bebas dikarenakan seseorang yang tidak tahu bagaimana cara untuk mengendalikan hasrat kebutuhan seksualnya. Maka dari itu, pendidikan seks sejak dini harus ditekankan kepada anak, baik dari orang tua, sekolah, maupun pemerintah.
Namun, Sani mengatakan bahwa perubahan pikiran terkait pendidikan seks menjadi tidak tabu tentunya sulit untuk dilakukan, terutama pada daerah-daerah yang memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah. Sebab bagi mereka, hal tersebut tidak menjangkau permasalahan ekonomi dan tentang masalah kehidupan lainnya.
Pemerintah perlu untuk turun tangan menangani masalah pernikahan dini dengan segera. Namun, penanganannya tidak hanya melalui masalah keagamaan, tetapi juga melalui masalah psikologis yang terjadi pada anak remaja pada umumnya.
“Ini yang saya rasa, perlunya pemerintah untuk turun tangan sekarang juga. Bukan hanya menekan melalui masalah keagamaan, tapi secara psikologis, apa yang harus anak lakukan, apa saja yang kita tahu tentang gairah yang sedang meningkat, ada ketertarikan terhadap pasangan, dan libido lagi tinggi, dan semua hal baru, ini menjadi masalah psikologis yang perlu ditangani, tidak hanya dalam masalah agama, tetapi juga masalah psikologis,” tegasnya.
Bekal pendidikan

(Langkah preventif yang disarankan oleh Sani pun adalah pembekalan secara menyeluruh, baik itu mental, pendidikan, dan juga agama. Foto: Dok. Tangkapan layar Program Newsline Metro TV/Metrotvnews.com)
Sani menambahkan pemerintah dapat menangani permasalahan pernikahan dini dengan cara pemberian pembekalan terkait pendidikan di sekolah dan kegiatan-kegiatan kreativitas seperti karang taruna atau perlombaan.
“Saya mengharapkan sekali pemerintah daerah maupun pusat juga menyelenggarakan banyak wadah-wadah untuk kegiatan remaja misalnya tempat olahraga, suasana bermain, kreativitas, maupun kompetisi-kompetisi. Sehingga, anak itu tidak memikirkan masalah seksualnya. Dia bisa menyalurkan hasratnya ke dalam kegiatan yang kreatif,” lanjutnya.
Sani pula menegaskan bahwa peran pemerintah untuk menurunkan angka pernikahan dini juga dibutuhkan, selain dari keluarga dan pendidikan. Bahkan, ia juga menyebut kehadiran peran psikolog bisa membantu masyarakat seperti mengubah pikiran terkait pendidikan seks dan juga memberikan tips untuk mengendalikan anak remaja pada sisi masalah hasrat seksual mereka.
Langkah preventif yang disarankan oleh Sani pun adalah pembekalan secara menyeluruh, baik itu mental, pendidikan, dan juga agama. Pembekalan tersebut mengenai edukasi terkait peran seorang ibu dan dukungan terhadap sekitar. Peran dukungan keluarga menjadi hal penting untuk membuat beban tanggungan lebih bisa terurai dan diselesaikan perlahan.
“Nah, di sini sebenarnya ketika anak muda menikah, butuh support dari keluarga. Tidak menyalahkan, tidak memojokkan, tapi membantu. Sehingga, misalnya beban tanggungan anak pun lebih terurai. Atau mungkin juga masalah ekonomi bisa terbantu. Jadi, butuhnya dukungan keluarga di sini sangat dipentingkan, selain pembekalan secara mental, pendidikan, maupun dari sisi agama tadi,” pungkasnya.
Aulia Putriningtias
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TIN)