FAMILY
KPAI Sebut Ada 25 Anak Melakukan Bunuh Diri Sepanjang 2025
Aulia Putriningtias
Jumat 07 November 2025 / 13:08
Jakarta: Kabar menyedihkan datang di Indonesia. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) kembali mencatat 25 kasus bunuh diri pada anak selama periode Januari-Oktober 2025.
Berdasarkan data KPAI, angka itu menunjukkan tren penurunan. Sepanjang 2024, terjadi 43 kasus bunuh diri anak dan 46 kasus pada 2023. Namun, bukan berarti bahwa kita patut senang atas penurunan angka tersebut.
Menurut Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono, setiap kasus anak yang kehilangan harapan hidup mencerminkan lemahnya sistem deteksi dini terhadap masalah psikologis di lingkungan sekolah dan keluarga.
"KPAI mendorong seluruh pihak untuk membangun early warning system yang efektif di sekolah dan komunitas," ungkap Aris pada keterangan tertulis beberapa waktu lalu.
"Anak yang menunjukkan perubahan perilaku, penurunan semangat belajar, atau tanda-tanda stres berat harus segera mendapat perhatian dan pendampingan psikologis sejak awal," tambahnya.
Perlu diketahui, sejumlah kasus bunuh diri beberapa waktu belakangan terjadi di Sawahlunto, Sumatera Barat dan Sukabumi, Jawa Barat. Kehadiran ini patut diwaspadai dan selalu melihat perilaku anak-anak.
KPAI pun melakukan sejumlah cara untuk menekan angkanya. Mereka mendorong pemerintah daerah dan sekolah untuk mengintegrasikan sistem deteksi dini dalam ekosistem pendidikan melalui sejumlah langkah.
Mulai dari penguatan fungsi guru, khususnya Guru BK (Bimbingan Konseling). KPAI meminta agar lebih proaktif memantau kondisi sosial-emosional siswa, sebab dalam beberapa jam di waktu anak, mereka ada di sekolah.
Selanjutnya, ada pelatihan guru dan siswa sebaya (peer counselor) dalam mengenali tanda-tanda depresi, stres, atau perilaku menarik diri. Kemudian, koordinasi berlapis antara sekolah, puskesmas, dan dinas terkait saat ditemukan anak dengan risiko tinggi.
Tak hanya itu, hadirnya pemanfaatan data presensi, perilaku, dan interaksi sosial siswa sebagai indikator awal gangguan kesejahteraan mental. Menurutnya, intervensi cepat dan empatik adalah kunci pencegahan lanjutan.
Selain di sekolah, KPAI juga mengimbau para orang tua untuk meningkatkan interaksi emosional dan waktu berkualitas dengan anak. Selain itu, diharapkan orang tua tidak menumpuk tekanan akademik atau ekspektasi berlebihan.
Orang tua juga harus selalu memastikan anak tidak terpapar konten negatif di media sosial. KPAI mengajak semua pihak termasuk keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah untuk memperkuat support system bagi anak.
"Kita perlu hadir dan mendengar anak-anak kita. Satu percakapan penuh empati dapat menyelamatkan nyawa dan harapan masa depan mereka," tutup Aris.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIR)
Berdasarkan data KPAI, angka itu menunjukkan tren penurunan. Sepanjang 2024, terjadi 43 kasus bunuh diri anak dan 46 kasus pada 2023. Namun, bukan berarti bahwa kita patut senang atas penurunan angka tersebut.
Menurut Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono, setiap kasus anak yang kehilangan harapan hidup mencerminkan lemahnya sistem deteksi dini terhadap masalah psikologis di lingkungan sekolah dan keluarga.
"KPAI mendorong seluruh pihak untuk membangun early warning system yang efektif di sekolah dan komunitas," ungkap Aris pada keterangan tertulis beberapa waktu lalu.
"Anak yang menunjukkan perubahan perilaku, penurunan semangat belajar, atau tanda-tanda stres berat harus segera mendapat perhatian dan pendampingan psikologis sejak awal," tambahnya.
Perlu diketahui, sejumlah kasus bunuh diri beberapa waktu belakangan terjadi di Sawahlunto, Sumatera Barat dan Sukabumi, Jawa Barat. Kehadiran ini patut diwaspadai dan selalu melihat perilaku anak-anak.
Langkah KPAI dalam terus menekan angka kematian anak akibat bunuh diri
KPAI pun melakukan sejumlah cara untuk menekan angkanya. Mereka mendorong pemerintah daerah dan sekolah untuk mengintegrasikan sistem deteksi dini dalam ekosistem pendidikan melalui sejumlah langkah.
Mulai dari penguatan fungsi guru, khususnya Guru BK (Bimbingan Konseling). KPAI meminta agar lebih proaktif memantau kondisi sosial-emosional siswa, sebab dalam beberapa jam di waktu anak, mereka ada di sekolah.
Selanjutnya, ada pelatihan guru dan siswa sebaya (peer counselor) dalam mengenali tanda-tanda depresi, stres, atau perilaku menarik diri. Kemudian, koordinasi berlapis antara sekolah, puskesmas, dan dinas terkait saat ditemukan anak dengan risiko tinggi.
Tak hanya itu, hadirnya pemanfaatan data presensi, perilaku, dan interaksi sosial siswa sebagai indikator awal gangguan kesejahteraan mental. Menurutnya, intervensi cepat dan empatik adalah kunci pencegahan lanjutan.
Selain di sekolah, KPAI juga mengimbau para orang tua untuk meningkatkan interaksi emosional dan waktu berkualitas dengan anak. Selain itu, diharapkan orang tua tidak menumpuk tekanan akademik atau ekspektasi berlebihan.
Orang tua juga harus selalu memastikan anak tidak terpapar konten negatif di media sosial. KPAI mengajak semua pihak termasuk keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah untuk memperkuat support system bagi anak.
"Kita perlu hadir dan mendengar anak-anak kita. Satu percakapan penuh empati dapat menyelamatkan nyawa dan harapan masa depan mereka," tutup Aris.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIR)