Jakarta: Bermula dari perjalanannya menyambangi berbagai negara di dunia, lahirlah Toko Buku Terakhir yang ditulis Direktur Jendral Informasi dan Komunikasi Publik di Kementerian Komunikasi dan Informatika Usman Kansong. Judulnya seperti menceritakan tentang toko-toko buku fisik yang tutup, tetapi isinya sebenarnya merupakan kumpulan tulisan Usman Kansong di media sosial tentang segala hal yang berkaitan dengan buku.
Menurut Usman, judul buku tersebut terinspirasi dari sebuah toko buku di Los Angeles, Amerika Serikat, The Last Bookstore. Di toko buku tersebut, Usman kagum dengan koleksi juga interior toko buku yang nyaman. Sementara, tulisan-tulisannya di media sosial tentang buku, ia dapatkan inspirasinya saat berkunjung ke Selandia Baru.
“Awalnya waktu saya berwisata ke Selandia Baru. Lalu mengunjungi danau yang indah, berpasir. Jadi seperti pantai. Kemudian berkeliling ke toko di sekitar danau tersebut dan menemukan sebuah toko buku. Lalu saya membeli sebuah buku yang berisi tentang catatan harian pedagang buku. Tentang aktivitasnya dalam mengoperasikan toko buku bekasnya, tulisan pengalamannya berinteraksi dengan buku dan pelanggan, bahkan kucingnya. Dia tuliskan semua pengalaman itu dan dibukukan. Jadi terinspirasi dari situ, saya tidak akan mengunggah di media sosial kecuali tentang buku. Saya unggah di Facebook,” cerita Usman Kansong tentang awal mula inspirasinya menerbitkan buku berjudul Toko Buku Terakhir dalam sesi diskusi dalam Festival Bahasa & Sastra 2023 Media Indonesia, dipandu redaktur Media Indonesia Bintang Krisanti, di kompleks kantor Media Group, Kedoya, Jakarta Barat, Kamis, 26 Oktober 2023.
Melalui Toko Buku Terakhir, Usman juga ingin menyampaikan meski di era digital saat ini sebenarnya proses membaca buku fisik juga masih diperlukan. Menurutnya, ada sensibilitas yang berbeda ketika membaca buku digital dan fisik. Salah satunya adalah konsentrasi dalam membaca. Ia mengungkapkan, saat membaca buku digital lewat gawai, kemungkinan distraksinya akan lebih besar termasuk notifikasi. Sementara membaca buku fisik bisa lebih khusyuk.
Beberapa bagian di Toko Buku Terakhir, Usman menuliskan resensi buku yang dibacanya, bagaimana ia mendapatkan buku tersebut, hingga beberapa pengalamannya dengan toko buku di berbagai negara.
Misalnya, ia menemukan toko buku yang mencatut nama serupa The Last Bookstore di AS, rupanya banyak duplikasi nama saat ia melawat ke Inggris. Atau, ia bertemu dengan nama toko buku unik di Sydney, Australia, Better Read Than Dead yang mengambil referensi Better Red Than Dead (merujuk pada slogan yang digunakan penganut komunisme).
“Membaca menurut saya sumber pengetahuan. Tapi membaca itu juga luas ya tidak sekadar di buku. Segala hal bisa dibaca,” lanjut Usman.
Menanggapi rilisnya Toko Buku Terakhir, dosen filsafat Universitas Pelita Harapan (UPH) Alexander Aur, ia menilai Usman mengumpulkan kreasi baru dalam tulisan-tulisan yang dihimpun di Toko Buku Terakhir.
“Dengan membaca buku ini, juga bisa menangkap dia (Usman) sedang menafsirkan realitas dan dunia. Dia menunjukkan di dalam semesta buku. Bertemu dengan logika realitas yang disusun Usman atas buku-buku yang dibacanya,” kata Alexander. MI/Fathurrozak
Foto: Medcom.id/Wijokongko Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News