"Seharusnya, Greenpeace segera melaporkan bukti video tersebut kepada pihak terkait pada saat itu (2013),” kata Rasio, di Jakarta, Jumat, 13 November 2020.
Greenpeace, lanjut dia, seharusnya jujur mengungkapkan hasil investigasinya. Bahwa, pelepasan kawasan hutan untuk konsesi-konsesi perkebunan sawit yang dieksposenya itu diberikan pada periode 2009-2014, bukan oleh pemerintahan periode sekarang.
"Misalnya, SK pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan yang diberikan oleh Pak Menteri Kehutanan yang dulu kepada PT Dongin Prabhawa, itu adalah SK 2009,” kata dia.
Apabila Greenpeace memiliki bukti-bukti karhutla seperti kejadian yang diekspose saat ini, Rasio menyarankan lebih baik segera melaporkan temuan-temuannya itu agar segera ditindaklanjuti. Menurutnya, perusahaan-perusahaan dari negara mana pun yang melanggar, terutama terkait karhutla, telah ditindak sesuai prosedur peraturan perundangan.
"Beberapa perusahaan yang berada di bawah grup Korindo telah diberikan sanksi akibat karhutla yang terjadi di konsesi-konsesi mereka. Bahkan, ada yang dibekukan izinnya. Beberapa perusahaan Malaysia, Singapura, termasuk Indonesia juga terkena sanksi," ujarnya.
Dia juga menjelaskan bahwa hampir seluruh pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di Papua dan Papua Barat diberikan di era pemerintahan sebelumnya.
Greenpeace International bersama Forensic Architecture mengungkap kegiatan pembakaran hutan yang dilakukan Korindo, sebuah perusahaan perkebunan milik konglomerat Indonesia-Korea. Laporan yang diberi label kolaborasi investigasi ini mengungkapkan kegiatan pembakaran lahan dilakukan untuk kepentingan ekspansi perkebunan di Papua.
Greenpeace menyatakan Korindo memiliki pelanggan perusahaan multinasional, termasuk Siemens Gamesa Renewable Energy. "Grup ini masih memegang sertifikasi Forest Stewardship Council (FSC) untuk bisnis kayu meski ditemukan pelanggaran standar organisasi terkait penebangan hutan yang luas," demikian dikutip dari situs greenpeace.org.
Hasil investigasi ini menyebut Korindo memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar di Papua. Korindo disebut telah menghancurkan sekitar 57.000 hektare hutan Papua sejak 2001.
"Sebuah (kerusakan) wilayah yang hampir seluas Seoul, ibu kota Korea Selatan," sebut Greenpeace.
Forensic Architecture yang digandeng Greenpeace adalah lembaga penelitian kolektif yang berbasis di Goldsmiths, London University. Investigasi mereka menggunakan analisis spasial untuk merekonstruksi kasus perusakan lingkungan dan pelanggaran HAM di Papua.
Melalui keterangan tertulis, Korindo Group membantah hasil investigasi itu. "Simpulan investigasi yang menyatakan tuduhan bahwa Korindo dengan sengaja dan ilegal membakar areal perkebunan adalah tidak benar," demikian pernyataan Manager Public Relation PT Korindo Group Yulian Mohammad Riza.
Sebagai perbandingan, Korindo menyertakan temuan dari The Forest Stewardship Council (FSC) pada Agustus 2019. Berdasarkan investigasi FSC pada 2017, pembukaan lahan yang dilakukan Korindo dilakukan secara mekanis tanpa membakar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News