Pertamina membidik pemasangan PLTS di Green Energy Station (GES) di berbagai wilayah nusantara. Foto: dok Pertamina.
Pertamina membidik pemasangan PLTS di Green Energy Station (GES) di berbagai wilayah nusantara. Foto: dok Pertamina.

Menakar Eksistensi Energi Hijau

Ade Hapsari Lestarini • 14 Oktober 2021 06:06
Jakarta: Transisi menuju energi bersih menjadi kampanye yang terus digaungkan pemerintah. Indonesia pun berkomitmen memprioritaskan penggunaan sumber energi terbarukan demi menangani perubahan iklim.
 
Alasan penggunaan energi hijau alias green energy salah satunya karena Indonesia dinilai tergolong rawan terhadap ancaman perubahan iklim, sehingga meratifikasi Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2016.
 
Berangkat dari dokumen NDC itu, Indonesia pun berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berbahaya bagi lingkungan dengan penurunan sebesar 29 persen melalui kemampuan sendiri. Serta 41 persen melalui dukungan internasional pada 2030.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani membeberkan, ada tiga hal yang dibutuhkan dalam mekanisme transisi energi.

  1. Pembiayaan untuk penghentian lebih cepat operasional pembangkit tenaga listrik batu bara agar beralih ke sumber energi terbarukan.
  2. Dibutuhkan pendanaan untuk membangun energi baru terbarukan karena permintaan akan terus bertambah.
  3. Mekanisme transisi energi perlu memperhatikan persoalan tenaga kerja yang terlibat didalamnya karena akan berdampak pada kehilangan pendapatan.
 
 

Tren penggunaan energi terbarukan

Aktivitas ramah lingkungan pun bukan sekadar tren masa kini. Penggunaan energi terbarukan di Indonesia sudah meningkat, yakni mencapai 11 persen. PT Pertamina (Persero) pun membidik portofolio energi hijau sebesar 17 persen dalam keseluruhan bisnisnya pada 2030. Target portofolio energi hijau ini merupakan dukungan kepada pemerintah untuk mewujudkan bauran energi baru terbarukan sebesar 23 persen pada 2025.

Direktur Utama Pertamina New Renewable Energy (NRE) Dannif Danusaputro menjelaskan, komposisi energi hijau Pertamina sebesar 17 persen, antara lain listrik panas bumi, hidrogen, baterai kendaraan listrik dan sistem penyimpanan energi, gasifikasi, bioenergi, green refinery, ekonomi karbon melingkar, dan energi baru terbarukan.
 
"Pertamina NRE menargetkan kapasitas terpasang energi hijau sebesar 10 gigawatt pada 2026 yang dicapai dari bisnis gas to power sebesar enam gigawatt, energi terbarukan tiga gigawatt, dan sejumlah inisiatif pengembangan energi lainnya sebesar satu gigawatt," paparnya.
 
Saat ini, Pertamina membidik dua hal terkait transisi energi, yaitu dekarbonisasi dan efisiensi. Perseroan akan melakukan transisi energi di bisnisnya mengingat sebagian besar proyek yang digarap masuk berbasis energi fosil.

Penurunan emisi karbon

Selain itu, upaya go green pun terus dilakukan perusahaan pelat merah tersebut, yakni dengan menurunkan emisi karbon. Salah satunya membidik pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Green Energy Station (GES) yang tersebar di berbagai wilayah nusantara.
 
Menakar Eksistensi Energi Hijau
Penggunaan PLTS di Green Energy Station SPBU Pertamina. Foto: dok Pertamina
 
GES merupakan konsep baru SPBU Pertamina, yakni SPBU akan memberikan layanan terintegrasi untuk mendukung gaya hidup yang lebih ramah lingkungan bagi konsumen SPBU. Salah satunya dengan memanfaatkan Solar Photo Voltaic (PV) atau PLTS sebagai salah satu sumber energi mandiri dan ramah lingkungan.
 
Saat ini, PLTS telah terpasang di 76 titik GES yang berlokasi di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dan akan diperluas hingga 5.000 titik. Proyek yang merupakan bagian dari transisi energi Pertamina itu akan hadir dalam ekosistem perseroan. Pemasangan PLTS akan dilakukan di internal Pertamina.
 
Program ini merupakan kelanjutan dari 2020, pemasangan PLTS telah dilakukan di 63 SPBU Pertamina yang tersebar di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, dengan total kapasitas sebesar 385 KWp. Dengan target 5.000 PLTS terpasang di SPBU, maka total kapasitas terpasang sekitar 31 megawatt (MW) dan potensi penurunan emisi karbon mencapai 34 ribu ton per tahun.
 
Adapun aspek Environment, Social, and Governance (ESG) sudah terintegrasi dalam bisnis Pertamina. Pertamina pun berupaya untuk menjalankan bisnis secara bertanggung jawab dan berkelanjutan yang tidak hanya mengedepankan kepentingan bisnis tapi juga kebutuhan para pemangku kepentingan, masyarakat, dan kelangsungan lingkungan hidup.
 
 
 

Transisi energi pada 2035

Mengacu pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Pertamina dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) menetapkan program green transition pada 2035. Saat ini, penurunan permintaan minyak dunia telah mencapai 35 persen, dan diperkirakan pada 2035 akan menjadi 24 persen. Sebaliknya, kebutuhan energi bergeser ke renewable energy yang meningkat hingga 30 persen.
 
Menakar Eksistensi Energi Hijau
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati. Foto: dok Pertamina
 
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan, langkah dan inisiatif strategis Pertamina sejalan dengan agenda perusahaan minyak dan gas dunia. Menurut dia, seluruh perusahaan energi global bergerak untuk mengantisipasi tren penurunan permintaan minyak yang cukup tajam dan akan terjadi di masa depan. Permintaan dan konsumsi minyak dunia diperkirakan turun dari 110 juta barel per hari menjadi sekitar 65 juta-73 juta barel per hari.
 
Nicke menceritakan, di masa transisi, Pertamina mengembangkan sejumlah proyek gas sebagai energi transisi antara fuel dan new renewable energy. Untuk gas, Pertamina mengembangkan gas untuk transportasi, household yang target yang ditetapkan pemerintah membangun 30 juta jaringan gas (city gas) di 2050. Porsi terbesar yang diharapkan tumbuh adalah gas untuk industri.
 
Oleh karena itu, syarat penting untuk meningkatkan pemanfaatan gas yakni mengembangkan teknologi-teknologi hilirisasi gas. Diperkirakan kebutuhan gas akan mencapai 10,5 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) di 2050 atau 92 persen dari konsumsi gas nasional.

Berikut 8 program energi hijau Pertamina:

  1. Green refinery.
  2. Pengembangan bioenergi.
  3. Pengembangan geotermal (panas bumi).
  4. Pengembangan green hydrogen.
  5. Pengembangan baterai mobil listrik (electric vehicle).
  6. Pengembangan gasifikasi.
  7. Pengembangan energi baru terbarukan dari biogas, limbah sawit, dan biomassa.
  8. Circular carbon economy.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan