Menteri Keuangan Sri Mulyani. (FOTO: ANTARA/Sigid Kurniawan)
Menteri Keuangan Sri Mulyani. (FOTO: ANTARA/Sigid Kurniawan)

Holdingisasi BUMN Terganjal Restu DPR di PP 72

Suci Sedya Utami • 23 Maret 2017 19:11
medcom.id, Jakarta: Rencana pemerintah untuk menggabungkan badan usaha milik negara (BUMN) menjadi satu unit usaha raksasa atau dikenal dengan istilah holding harus terganjal Peraturan Presiden (PP) Nomor 72 Tahun 2016.
 
PP No. 72 Tahun 2016 merupakan perubahan atas PP. 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas (PT) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 30 Desember lalu sebagai penyempurna pembentukan holding BUMN.
 
Namun, terbitnya PP tersebut dipermasalahkan oleh DPR dalam hal ini Komisi VI karena mengesampingkan peran DPR ketika ada pengalihan aset atau kekayaan negara dalam konteks holding. Anggota Komisi VI fraksi PDIP Rieke Dyah Pitaloka padahal setiap ada perubahan peruntukan dana yang berasal dari APBN harus melalui pembahasan dengan DPR.

Baca: Komisi VI Minta PP Tata Cara Penyertaan & Penatausahaan Modal Negara Direvisi
 
"UUD 1945 pasal 20 A dikatakan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi anggaran dan pengawasan," kata Rieke dalam rapat kerja bersama Menteri BUMN yang diwakilkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis 23 Maret 2017.
 
Rieke mempermasalahkan Pasal 2A ayat 1 PP 72 yang berbunyi penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham miik negara pada BUMN atau PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d, kepada BUMN atau PT lain dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme APBN.
 
Padahal, kata Rieke yang sudah mengonfirmasi pada Menteri Keuangan bahwa tidak mungkin satu sen pun PMN tidak masuk atau dibahas melalui mekanisme APBN. Artinya, kata dia, PP ini jelas-jelas mengkebiri kewenangan Menteri Keuangan sebagai bendahara negara yang menyampaikan dan menjelaskan setiap aliran uang negara yang masuk ke BUMN. Bahkan, kata dia, Presiden pun tidak bisa menyetujui, atau memutuskan adanya pembahasan keuangan tanpa melalui APBN.
 
"Kalau PP 72 dijalankan artinya wewenang Menkeu dikebiri oleh PP. Oleh karenanya saya minta PP 72 dicabut," jelas Rieke.
 
Rieke pun menyadari bahwa semua pihak tentu berharap BUMN bisa menjadi tulang punggung dari ekonomi nasional, sehingga persoalan holding jangan sampai menyebabkan tulang punggung malah terkena osteoporosis.
 
"Sudah ada jurisprudensi beberapa BUMN holding yang juga tidak bisa dikatakan sebagai holding yang berhasil. Yaitu holding PTPN. Holding pupuk dan juga holding semen yang merupakan catatan penting keberhasilan holding kita sejauh apa," tutur dia.
 
Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Sonny Loho mengatakan Pemerintah tetap menyiapkan kajian holding, namun pelaksanaannya menunggu permasalahan mengenai PP 72 selesai. Artinya, perlu dibereskan terlebih dahulu komunikasi antara DPR dan Pemerintah mengenai PP 72.
 
"Jadi jangan sampai kita sudah proses PP-nya, layaknya PP 72 malah ribut lagi. Kita jaga komunikasinya, nanti dibilangnya enggak dengarkan wakil rakyat lagi. Jadi kalau PP komunikasinya sudah beres, kita bisa teruskan," pungkas Sonny.
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan