Dalam struktur perekonomian, perdagangan dan perindustrian memiliki peranan penting. Keduanya seperti dua sisi mata uang koin. Bahkan, industri di dalam negeri ditantang untuk mampu meningkatkan daya saing lebih maksimal di tengah sengitnya persaingan sekarang ini. Tidak hanya itu, peranan swasta juga diperlukan agar memaksimalkan laju perekonomian.
Tidak dipungkiri, pelemahan ekonomi Indonesia telah memberi tekanan terhadap industri di dalam negeri. Sejauh ini, ekonomi masih belum menunjukkan performa yang gemilang walau banyak yang berpendapat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada beberapa kuartal terakhir di tahun ini terbilang tinggi dibandingkan dengan negara tetangga.
Baca: Industri Nasional Harus Siap Hadapi Era Industri 4.0
PT Astra International Tbk (ASII), misalnya, menjadi salah satu perusahaan yang turut mengalami tekanan atas perlambatan ekonomi sekarang ini. Astra mencatat di sepanjang semester I-2016 lalu laba bersih mengalami penyusutan menjadi Rp7,1 triliun atau turun 12 persen dibandingkan dengan posisi laba bersih sebesar Rp8,05 triliun per periode Juni 2015.

Sumber: Astra
Laba yang susut 12 persen berdampak besar bagi posisi pendapatan per Juni 2016. Pendapatan turun lima persen, dari Rp92,50 triliun menjadi Rp88,20 triliun per semester I-2016. Laba bersih per saham pun turun, dari Rp199 per saham menjadi Rp176 per saham.
Presiden Direktur Astra International Prijono Sugiarto menerangkan, grup Astra mengalami penurunan pendapatan bersih di sektor alat berat dan pertambangan serta agribisnis. Sementara kontribusi pendapatan bersih dari Toyota sales operation turun setelah restrukturisasi model distribusi dua tingkat (two-tiered) berlaku efektif pada awal tahun ini.

Sumber: Astra
"Tantangan pada semester pertama tahun ini yang berasal dari pelemahan harga komoditas dan permintaan terhadap alat berat, penurunan volume bisnis kontraktor pertambangan dan peningkatan kredit bermasalah di PermataBank masih akan dirasakan hingga akhir tahun," ujar Prijono, di Jakarta, seperti diberitakan Rabu (5/10/2016).
Kendati kinerja mengalami tekanan, namun hal itu sepertinya tidak menghentikan langkah Astra untuk terus berkontribusi terhadap perekonomian secara nasional. Sejak berdiri pertama kali di 1957, Astra masih berkomitmen untuk mengakomodasi karya-karya anak bangsa agar mampu berkompetisi di dunia internasional termasuk berkontribusi bagi laju ekonomi.
Pada dasarnya, lesu atau tidaknya aktivitas perekonomian di Indonesia bisa dilihat dari kinerja Astra. Sebab, Astra memiliki lini usaha di hampir semua sektor di Tanah Air dengan market share di masing-masing sektor cukup besar. Artinya, Astra menjadi salah satu indikator untuk melihat geliat perekonomian secara nasional.
Baca: Kemenperin Bidik Pertumbuhan Industri Agro 7,7%
Laba bersih dari grup bisnis otomotif Astra, misalnya, naik 13 persen menjadi Rp3,9 triliun. Secara keseluruhan, penjualan otomotif sedikit meningkat sepanjang periode ini, sebagian besar karena peluncuran model baru yang turut berdampak positif terhadap marjin. Penjualan mobil secara nasional meningkat sebesar satu persen menjadi 532.000 unit.
Laba bersih bisnis jasa keuangan grup Astra menurun 40 persen menjadi Rp1,3 triliun. Laba bersih Grup Astra dari segmen alat berat dan pertambangan menurun sebesar 45 persen menjadi Rp1,1 triliun. Laba bersih dari segmen teknologi informasi turun sebesar tiga persen menjadi Rp73 miliar. Laba bersih segmen infrastruktur, logistik dan lainnya naik 156 persen.
Kondisi itu tentu perlu diperhatikan karena sejalan dengan melemahnya pertumbuhan ekonomi Tanah Air. Bahkan, sejumlah perusahaan di dalam negeri perlu meningkatkan daya saing dan meningkatkan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM). Pada titik ini, sejumlah perguruan tinggi di dalam negeri perlu membantu penyediaan SDM industri mumpuni.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto (FOTO ANTARA/Akmal)
Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto mengatakan, tantangan bagi perguruan tinggi di dalam negeri adalah membekali para mahasiswa dengan kemampuan penemuan ilmiah, pengembangan rekayasa, kewirausahaan, manajemen bisnis, dan semacamnya. Hal itu penting untuk meningkatkan daya saing industri nasional dalam menghadapi era baru industri dunia.
"Saat ini, sebanyak 15,3 juta orang bekerja di sektor industri manufaktur. Namun, mayoritas masih memiliki kualifikasi pendidikan resmi yang masih rendah atau 95,1 persen berpendidikan SMU/SM. Bahkan ada yang lebih rendah," tutur Airlangga.
Lebih lanjut, Airlangga mengingatkan kepada pelaku industri dalam negeri agar siap menghadapi era Industry 4.0. Era ini menuntut pelaku industri untuk mengubah proses manufaktur dengan mengintegrasikan sistem berbasis online dalam sebuah mata rantai produksi.
"Industry 4.0 menjadikan proses produksi berjalan dengan internet sebagai penopang utama. Semua obyek dilengkapi perangkat teknologi yang dibantu sensor mampu berkomunikasi sendiri dengan sistem teknologi informasi," ujar Airlangga.
Menurutnya penggunaan sistem online di industri dinilai mampu meningkatkan efisiensi mencapai 18 persen. Dalam waktu lima tahun, lanjutnya, sebesar 80 persen perusahaan akan melakukan digitalisasi dalam rantai nilai bisnis.
Hal itu dipastikan Airlangga, karena berdasarkan hasil studi di Eropa, perusahaan-perusahaan di Benua Biru melakukan investasi mencapai €140 miliar sampai dengan 2020 untuk penggunaan aplikasi internet di industrinya. "Di sana, penggunaan internet sudah menjadi sangat penting untuk di sektor industri," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News