"LPIPB (Lembaga Pengkajian dan Informasi Pembangunan Bangsa) meminta kepada Pemerintah dan Presiden Jokowi untuk mengambil tindakan tegas demi menyelamatkan keuangan dan aset negara, sehingga aset-aset potensial tidak dikuasai oleh gurita-gurita swasta seperti PT KTU (Karya Teknik Utama), dan PT KCN (Karya Citra Nusantara)," kata Sekretaris Jenderal LPIPB Monisyah dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Selasa, 19 November 2019.
LPIPB sudah melakukan kajian terhadap sejumlah permasalahan hukum dan upaya terstruktur guna menguasai aset negara oleh pihak swasta di PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN). KBN memutuskan membangun pelabuhan khusus bekerja sama dengan pihak swasta pada 2004. Namun, kerja sama tersebut memunculkan permasalahan dalam pelelangan mencari mitra bisnis yang hanya diikuti dua perusahaan yakni, PT Alfa Karsa Persada dan PT KTU, sehingga harus diumumkan ulang proses lelang.
"Setelah diulang, PT Alfa Karya Persada “tiba-tiba mundur” dari proses lelang. Terpaksa, Direksi PT KBN menetapkan PT Karya Teknik Utama sebagai mitra usaha pengembangan lahan kawasan Marunda," ujar dia.
Ketika diselisik, KTU mempunyai enam perusahaan yang beroperasi di areal PT KBN di kawasan Marunda, Cilincing, yakni PT Karya Teknik Pasirindo, PT Kurnia Tirta Samudera Makmur, PT Kawasan Tanah Air, PT Bunga Teratai Berkembang, PT Kreasi Tehnik Bahari, dan PT Kawasan Timur.
Setelah ditandatangani perjanjian kerja sama antara KBN dan KTU, perusahaan patungan KCN dibentuk pada 28 Januari 2005.
Sejak pembuatan perjanjian induk No. 04/PJ/DRT/01/2005 sampai sekarang muncul keanehan dan permasalahan hukum, di antaranya saham KBN di perusahaan patungan hanya 15 persen, sedangkan KTU 85 persen.
Merasa pemilik mayoritas, KTU mengajukan dua kali addendum yang memperpanjang jangka waktu pembangunan, mengubah pasal dari semula pembangunan oleh KCN, menjadi dilakukan KTU, dan pasal penilaian atas kelayakan total investasi yang sebelumnya dilakukan konsultan independen, menjadi pihak KTU.
"Akibatnya, PT KBN kehilangan kontrol atas semua pembangunan dan kerja sama tersebut," ujar dia.
Setelah enam tahun pelaksanaan kerja sama, terjadi pergantian direksi KBN. Sattar Taba ditunjuk menjadi direktur utama KBN. Melihat banyaknya masalah, KCN mengambil langkah forensic legal auditor, atas kerja sama dengan KTU.
Dalam audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) disimpulkan, kerja sama pendirian anak perusahaan KCN tidak sesuai dengan ketentuan dan berlarut-larut. Rekomendasi BPK pun keluar untuk direksi KBN.
"Hasil renegosiasi PT KBN dan PT KTU dihasilkan kerja sama kedua pihak hanya pada sebagian lahan (keseluruhan Pier I dan sebagian Pier II) dan addendum perubahan komposisi saham menjadi fifty-fifty," ujar dia.
Dalam RUPS LB di KCN pada 18 Desember 2014, disepakati perubahan komposisi saham dan peningkatan modal dasar bertahap. Saat itu, KBN menyetor modal Rp294 miliar, sedangkan KTU belum menyetor kewajibannya Rp294 miliar. Setelah diselisik, KTU juga belum menyetorkan modal awal pendirian KCN lebih dari Rp174 miliar.
KTU juga tidak mengurus izin-izin reklamasi dan pembangunan pelabuhan, serta melanggar Perda No 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), sehingga Pemda DKI Jakarta menyegel pembangunan yang dilakukan KCN.
Salah satu yang disegel Pemda DKI Jakarta sesuai surat segel No. 554.076.98/SS/U/VI/2015 pada 8 Juni 2015 atas pembangunan Dermaga KCN.
"Tidak itu saja, perbuatan melawan hukum kembali dilakukan oleh PT KCN dengan membongkar pelang segel dan justru menggantinya dengan pintu gerbang PT KCN bertuliskan Terminal Umum PT KCN," ujar dia.
KCN juga mengeklaim pembangunan dermaga itu adalah Proyek Strategis Nasional, padahal dalam Perpres No 3 Tahun 2016, tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Pelabuhan/Dermaga KCN tidak termasuk di dalamnya.
"Keserakahan PT KTU dan KCN terus berlanjut. Pada 29 November 2016, Widodo Setiadi Dirut PT KCN melakukan perjanjian konsesi pengusahaan jasa kepelabuhanan berjangka waktu 70 tahun, dengan Kantor Kesayahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas V (KSOP V) Marunda. Perjanjian ini berpotensi area wilayah usaha milik PT. KBN di Pier I, II dan III hilang dikuasai sepenuhnya oleh PT KCN," ujar dia.
Perjanjian konsesi juga dinilai ilegal karena tanpa sepengetahuan KBN, serta persetujuan Menteri BUMN, dan Pemda DKI selaku pemegang saham KBN. Konsesi ini juga tidak memiliki payung hukum.
Sebagai akibat dari perjanjian tersebut, KBN rugi secara materiel hampir Rp2 triliun, dan kerugian immateriel hampir Rp55,8 triliun. Ini berdasarkan hasil audit dan analisa kantor akuntan publik Immanuel Johni dan Rekan, No. 00135/SMKT-XI 2017 pada 10 November 2017.
LPIPB juga membongkar KCN tidak pernah melaksanakan RKAP dan RUPS sejak 2015-2019. KBN, lanjut dia, juga hanya mendapatkan deviden sebesar Rp3,1 miliar sejak 2014.
Terhadap Perjanjian Konsesi ini PT KBN telah melakukan gugatan dan memenangkannya sesuai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 70/Pdt. G/208 /PN.Jkt.Utr, dan diperkuat putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 754/Pdt/2018/PT. DKI, dan permohonan Kasasi menunggu salinan putusan dari Mahkamah Agung melalui PN Jakarta Utara.
Dalam rangka upaya hukum dan menyelamatkan uang negara, Sattar Taba menempuh berbagai upaya hukum, yakni melaporkan dugaan tindak pidana korupsi semua pihak yang terlibat dalam perjanjian konsesi KCN dengan KSOP V Marunda.
KBN juga melakukan upaya hukum lain. Dari upaya itu telah menyelamatkan aset negara sekitar Rp4,5 triliun, dan mendapat pembayaran tunai sebesar sekitar Rp600 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News