"Proses hearings dan submissions berbagai dokumen pendukung klaim sudah disampaikan. Kita menunggu keputusan panelis, kemungkinan triwulan pertama 2017," kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Iman Pambagyo, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (3/11/2016).
Menurut Imam, Indonesia sudah mengajukan gugatan bersama negara-negara lain seperti Honduras, Jamaika, dan Kuba atas rencana PP ini. Pemerintah Indonesia, tutur Imam, masih menunggu keputusan dari WTO.
Baca: Presiden tak Mau Latah Ikuti Tren FCTC
Dia mengatakan, bila PP dinyatakan tidak melanggar ketentuan WTO, berarti produk-produk lain yang memiliki dampak terhadap kesehatan juga dapat dikenakan PP atas nama kesehatan publik. Namun, prosedur penetapan kebijakan PP sebetulnya tidak sesuai dengan disiplin WTO.
"Ada yang bilang itu standar yang ditetapkan WHO. Tapi menurut kita, WHO bukan international standardizing body," jelas Imam.
Sebelumnya, tepat pada Hari Petani Tembakau Sedunia pada 29 Oktober 2016, ratusan petani tembakau dan cengkeh yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), Karya Tani Manunggal (KTM) Temanggung, dan Gerakan Masyarakat Tembakau Indonesia (GEMATI) melaksanakan aksi damai di Yogyakarta.
Baca: Empat Arahan Presiden terhadap Pengendalian Tembakau
Para petani tembakau dan cengkeh Indonesia menyampaikan petisi kepada Presiden Jokowi untuk melindungi penghidupan mereka dari tekanan peraturan internasional seperti Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Mereka dengan tegas menolak salah satu ketentuan FCTC yaitu kebijakan kemasan polos rokok yang tidak memperbolehkan pencantuman merek atau yang lebih dikenal dengan istilah plain packaging.
Baca: Ratifikasi FCTC Dinilai Mematikan Ekonomi Hasil Tembakau Indonesia
"Kami sangat sedih mengetahui bahwa kebijakan kemasan polos tanpa merek semakin melemahkan daya saing produk tembakau Indonesia di pasar internasional, sebab akan mengakibatkan penurunan permintaan bahan baku tembakau dari jutaan petani yang menggantungkan penghidupannya pada komoditas tersebut," tambah Ketua Umum APTI Nasional Soeseno.
Seperti diketahui, pada 2015, nilai devisa yang dihasilkan dari surplus ekspor produk tembakau Indonesia telah mencapai USD524 juta. Nilai tersebut dapat dicapai mengingat Indonesia saat ini merupakan negara produsen-eksportir produk tembakau pabrikan kedua terbesar di dunia setelah Uni Eropa.
Bertambahnya permintaan bahan baku dari pabrikan sangat berarti bagi petani tembakau dan cengkeh di Indonesia dalam menjaga kelangsungan mata pencaharian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News