Dalam dokumen Kementerian Keuangan yang dikutip Sabtu 8 April 2017, Pemerintah menilai saat ini ada penguasaan lahan yang tidak imbang dan pemanfaatan lahan yang tidak optimal.
Misalnya saja, banyak lahan yang dikuasai sekelompok orang atau korporasi. Atau lahan yang dikuasai tidak dimanfaatkan atau tidak produktif.
Hal tersebut membuat harga tanah meningkat dan menyebabkan banyak orang berspekulasi. Dalam hal ini contohnya pengembang dan spekulan menjadikan landbanking dan menunggu waktu yang tepat untuk menjual dengan harga yang tinggi dan membuat indeks harga properti terus meningkat.
Akibatnya, penyediaan lahan untuk perumahan rakyat dan infrastruktur terkendala. Padahal Pemerintah memiliki target untuk membangun perumahan rakyat dan juga infrastruktur lainnya demi menciptakan pemerataan.
Baca: Apartemen tak Berpenghuni Masuk Incaran Objek Pajak Tanah Idle
Melihat realitas tersebut, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) mengusulkan pengenaan pajak yang tinggi tujuannya yakni guna mengurangi ketimpangan penguasaan lahan, meningkatkan produktivitas lahan, serta mengurangi spekulasi pembelian tanah.
Ada tiga usulan yakni pengenaan pajak progresif kepemilikan tanah. Semakin luas tanah yang dimiliki maka pajaknya juga semakin besar.
Lalu unutilized asset tax atau pajak progresif yang dikenakan atas lahan yang tidak dimanfaatkan, juga untuk apartemen yang tidak disewakan atau ditempati dan apartemen yang tidak laku terjual.
Selanjutnya capital gain tax atau pajak yang dikenakan pada laba atau keuntungan ketika masyarakat menjual kembali tanahnya tersebut. Artinya, si pemilik tanah akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksinya.
Sebagai contoh ketika seseorang membeli tanah dengan harga awal Rp10.000 per meter kemudian dalam waktu 10 tahun menjual kembali tanahnya dengan harga Rp100.000 per meter, maka ada keuntungan Rp90.000 per meter. Keuntungan tersebut yang nantinya akan dikenakan pajak.
Merujuk pada existing instrumen pajak terkair transaksi dan kepemilikan properti, pajak yang dikenakan atas transaksi yakni berupa bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) yang dikenakan saat pembelian, menjadi beban pembeli dan masuk ke pajak daerah. Serta pajak penghasilan (PPh) dikenakan saat penjualan atau pengalihan, menjadi beban penjual dan masuk ke pajak pusat.
Sementara pajak yang dikenakan atas kepemilikan yakni pajak bumi dan bangunan, dikenakan selama kepemilikan, menjadi beban pemilik masuk ke pajak daerah untuk P2 dan pajak pusat untuk P3.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News