Proyeksi pertumbuhan yang dikikis diakibatkan oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju. Harga komoditas yang tetap rendah, lemahnya perdagangan global hingga arus modal yang berkurang menjadi faktor lain pertumbuhan ekonomi dunia semakin seiprit (kecil-red).
Indonesia sendiri tak lebih menggembirakan. Pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk realisasi pertumbuhan ekonomi di triwulan III-2016 tercatat sebesar 5,02 persen (year on year/yoy). Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang tercatat 5,18 persen (yoy).
Bahkan pada triwulan IV-2016, pertumbuhan ekonomi diprediksi kian melorot. Bank Indonesia (BI) memperkirakan, pertumbuhan ekonomi dalam negeri pada triwulan IV-2016 hanya sebesar 4,97 persen.
Namun begitu, bila proyeksi triwulan IV-2016 ditambah dengan realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan I, II, dan III yang masing-masing sebesar 4,91 persen, 5,18 persen, dan 5,02 persen, maka pertumbuhan ekonomi tahun ini diprediksi ada di kisaran 5 persen. Capaian tersebut lebih baik ketimbang realisasi pertumbuhan ekonomi 2015 yang hanya 4,97 persen.
Membaiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diukur berdasarkan produk domestik bruto (PDB) itu disebut karena adanya peran industri pengolahan non-migas. Pada triwulan III-2016, industri pengolahan non-migas memberikan kontribusi terbesar terhadap total PDB nasional dengan capaian sebanyak 17,82 persen. Menyusul kemudian perdagangan, pertanian, konstruksi, dan pertambangan.
"Selain itu, sektor industri juga mempunyai kontribusi dalam penumbuhan beberapa sektor pada perekonomian, khususnya pada perdagangan besar dan eceran serta reparasi mobil dan sepeda motor sehingga apabila dijumlahkan kontribusi industri pengolahan non-migas bisa mencapai 30 persen," lugas Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto beberapa waktu lalu.
Terdapat empat sektor yang memberikan kontribusi paling besar terhadap pertumbuhan industri non-migas. Keempatnya adalah industri makanan dan minuman; industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik; industri alat angkutan; serta industri kimia, farmasi dan obat tradisional.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat peran sektor industri makanan dan minuman merupakan yang terbesar dengan capaian 33,61 persen terhadap total pertumbuhan industri non-migas. Sementara industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik berkontribusi sebesar 10,68 persen.
"Industri alat angkutan menyumbang 10,35 persen terhadap industri non-migas. Sedangkan industri kimia, farmasi dan obat tradisional sebesar 10,05 persen," imbuh Airlangga.
Industri Makanan dan Minuman Jadi Andalan
Untuk pertumbuhan, industri makanan dan minuman masih menjadi andalan penggerak pertumbuhan industri nonmigas dan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Hal ini terlihat dari realisasi pertumbuhan sektor ini yang hingga triwulan III-2016 mampu mencetak pertumbuhan di angka 8,55 persen. Hingga akhir 2016 sektor industri ini diproyeksikan mampu tumbuh di rentang 8,2 persen hingga 8,5 persen.
Proyeksi pertumbuhan industri makanan dan minuman untuk tahun ini lebih tinggi ketimbang realisasi pertumbuhan di 2015. Sebab pada tahun lalu, pertumbuhan industri makanan dan minuman hanya sebesar 7,54 persen.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman sempat menuturkan, rendahnya realisasi pertumbuhan di 2015 akibat anjloknya penanaman modal asing (PMA). Hingga September 2015, realisasi PMA yang masuk ke sektor ini hanya Rp13 triliun, jauh lebih rendah ketimbang realisasi PMA 2014 sebanyak Rp34 triliun.
"Ada faktor regulasi yang menghambat, isu perburuhan, dan perlambatan ekonomi yang jadi sebab utama kurangnya minat investor asing. Tapi aktivitas penanaman modal dalam negeri (PMDN) sampai September 2015 sebesar Rp18 triliun atau hampir menyamai pencapaian realisasi PMDN sepanjang 2014 yang sebanyak Rp19 triliun," ungkapnya.
Sementara meningkatnya industri makanan dan minuman di 2016 ini didorong oleh kecenderungan masyarakat, khususnya kelas menengah ke atas, yang mengutamakan konsumsi produk makanan dan minuman yang higienis dan alami. Tak heran bila realisasi investasi sektor industri makanan dan minuman hingga triwulan II-2016 sebesar Rp24 triliun untuk PMDN dan USD1,6 miliar atau setara Rp21,52 triliun (Rp13.450/USD).
Sayangnya, ekspor makanan dan minuman tak seterang pertumbuhan sang industri secara keseluruhan. Berdasarkan data BPS, ekspor industri makanan dan minuman sepanjang periode Januari-Oktober 2016 tercatat sebesar USD20,42 miliar (Rp274,65 triliun) atau lebih rendah 9,59 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya yang berhasil mencetak USD22,05 miliar (Rp296,57 triliun).
"Untuk itu kami mencoba masuk ke negara-negara tujuan non tradisional, tapi pengaruhnya belum akan terlihat dalam waktu dekat. Celah kebutuhan produk halal juga digarap meski kontribusinya masih rendah," papar Adhi.
Sedangkan untuk tahun depan, Kemenperin meramal pertumbuhan industri makanan dan minuman merosot ke kisaran 7,5 persen hingga 7,8 persen. Airlangga menyebut demikian karena adanya sentimen negatif yang menghambat laju industri makanan dan minuman seperti penarikan cukai kemasan plastik, kewajiban pengelolaan sampah kemasan, dan pengenaan bea masuk antidumping.
Baca: Ini Cara Menperin Capai Target Pertumbuhan Industri di 2017
"Tapi tahun depan industri makanan dan minuman masih menjadi motor pertumbuhan industri pengolahan nonmigas yang pada 2017 ditargetkan tumbuh 5,3 persen hingga 5,6 persen. Lebih tinggi dari proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1 persen hingga 5,4 persen," terang Airlangga.
Adhi menolak ramalan Airlangga terhadap pertumbuhan industri makanan dan minuman di 2017. Sebab menurut dia, industri makanan dan minuman pada tahun depan bisa tumbuh di kisaran 8,5 persen.
Sentimennya, karena harga komoditas pangan dari sektor pertanian dan perkebunan diperkirakan cukup stabil di tahun depan. Kondisi tersebut bakal mendongkrak daya beli masyarakat sehingga ekonomi juga tumbuh semakin menggeliat.
Faktor lainnya adalah proyeksi pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,1 persen hingga 5,4 persen atau lebih baik ketimbang pertumbuhan tahun ini yang hanya di kisaran 5 persen. Juga karena penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 yang lebih realistis.
"Sehingga ini bisa mendongkrak minat investasi menjadi lebih baik, lebih cepat. Termasuk salah satunya investasi itu masuk ke sektor industri makanan dan minuman," tutup Adhi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News