Ilustrasi program pengampunan pajak atau tax amnesty - - Foto: Antara/ Widodo S Jusuf
Ilustrasi program pengampunan pajak atau tax amnesty - - Foto: Antara/ Widodo S Jusuf

Wacana Tax Amnesty Jilid II Dinilai Mencederai Kepercayaan Masyarakat

Al Abrar • 22 Mei 2021 12:58
Jakarta: Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo menolak wacana tax amnesty jilid II sebagaimana beredar. Pengampunan pajak itu dinilai sangat tidak baik bagi masa depan sistem perpajakan di Tanah Air.
 
"Tidak saja mengingkari komitmen 2016, bahwa tax amnesty hanya diberikan satu kali dalam satu generasi, pelaksanaan tax amnesty jilid 2 akan meruntuhkan kewibawaan otoritas yang pada gilirannya berdampak negatif pada trust masyarakat wajib pajak," kata Andreas Sabtu, 22 Mei 2021.
 
Selain itu, kata Andreas tax amnesty akan menghilangkan rasa keadilan peserta para wajib pajak patuh, dan wajib pajak yang sudah diaudit akan tercederai. Secara psikologis hal ini juga buruk karena dapat menciptakan paham.
 
“Saya lebih baik tidak patuh karena akan ada tax amnesty lagi," kata Andreas.
 
Andreas menerangkan, Tax Amnesty 2016 diimplementasikan sebagai wujud keterbukaan dan kebaikan Pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi dengan menunda penegakan hukum yang seharusnya dimanfaatkan secara maksimal oleh wajib pajak.
 
"Pada saat itu, diterapkan tarif sangat rendah, tidak ada kewajiban repatriasi, jangka waktu menahan harta di Indonesia hanya tiga tahun, dan mendapatkan pengampunan pajak 2015 dan sebelumnya," kata Andreas.
 
Baca: Wacana Tax Amnesty Dikritik
 
Apalagi, lanjut politikus PDIP ini, Ditjen Pajak masih memberikan kesempatan wajib pajak yang belum patuh untuk mengikuti program Pengungkapan Aset Sukarela dengan tarif Final (PAS Final) melalui PP 36/2017.
 
"Wajib Pajak membayar PPh terutang dan mendapat keringanan sanksi administrasi. Hal ini seharusnya diikuti para wajib pajak dengan sebaik-baiknya," tegasnya.
 
Ia juga mengatakan, pasca amnesti Pemerintah dan DPR menyepakati keterbukaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan melalui UU Nomor 9 Tahun 2017. Dengan demikian penegakan hukum dapat dilakukan lebih efektif dan adil karena didukung data/informasi yang akurat sehingga dapat dibuat klasifikasi wajib pajak menurut risiko.
 
"Untuk itu kami mendorong Ditjen Pajak mengoptimalkan tindak lanjut data/informasi perpajakan ini untuk mendorong kepatuhan yang lebih baik," kata dia.
 
Menurutnya, tax amnesty bukan jawaban yang tepat atas shortfall pajak. Pemerintah harus terus didukung untuk fokus pada reformasi perpajakan dengan menyempurnakan regulasi, memperbaiki administrasi, meningkatkan pelayanan, dan konsisten melakukan pengawasan kepatuhan.
 
"Kebutuhan akan sistem perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel sehingga menghasilkan penerimaan yang optimal dan sustain jauh lebih penting dan mendesak ketimbang memberlakukan tax amnesty," tegasnya.
 
Untuk memfasilitasi para wajib pajak yang ingin patuh dan mempertimbangkan kondisi pandemi, pemerintah lebih baik membuat Program Pengungkapan Aset Sukarela (Voluntary Disclosure Program) dengan tetap mengenakan tarif pajak normal dan memberikan keringanan sanksi.
 
"Tarif lebih rendah dapat diberikan untuk yang melakukan repatriasi dan/atau menginvestasikan dalam obligasi pemerintah. Hal ini harus diikuti dengan pelayanan yang baik, pembinaan, dan penegakan hukum yang konsisten dan terukur.
Demikian disampaikan untuk dapat disebarluaskan. Terima kasih atas kerja sama yang baik," ujarnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ALB)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan