Evaluasi dilakukan menyusul besarnya penerimaan negara yang hilang akibat program harga gas USD6 per MMBTU yang ditujukan kepada tujuh industri tertentu ini. Sejak program ini digulirkan, pemerintah telah kehilangan penerimaan negara lebih dari Rp45,06 triliun.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menjelaskan kebijakan HGBT didesain untuk tidak hanya mampu meningkatkan daya saing korporasi dan menguatkan perekonomian, namun juga menjaga kesehatan dari fiskal/APBN sendiri.
"Kesehatan APBN KiTa penting untuk terus dijaga agar Indonesia mampu terus melanjutkan agenda pembangunan," jelas Sri Mulyani seperti dikutip dari laman instagram pribadinya, Minggu, 24 Maret 2024.
Meskipun tidak menjadi bagian dari program subsidi energi yang tercantum dalam APBN, program harga gas murah untuk industri tertentu ini telah menggerogoti pendapatan negara.
Pasalnya berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) 121 Tahun 2020 tentang penetapan harga gas bumi tertentu (HGBT), penerimaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tidak boleh berkurang alias kept-whole untuk memasok gas murah kepada industri. Sehingga jika harga gas di hulu diturunkan, maka konsekuensinya penerimaan negara harus dikurangi.
Selama periode 2021-2023, berdasarkan perkiraan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Kementerian ESDM, nilai pendapatan negara yang hilang di sektor hulu migas akibat program HGBT mencapai sekitar Rp45,06 triliun.
Perinciannya, penerimaan negara tahun fiskal 2023 sekitar USD1 miliar atau setara dengan Rp15,67 triliun (kurs Rp15.676 per USD), pada 2021 sebesar Rp16,46 triliun, dan Rp12,93 triliun pada 2022.
Sementara selama hampir empat tahun ini, menurut Sri Mulyani, belum ada data riil yang disampaikan oleh kementerian terkait mengenai dampak ekonomi yang hasilkan dari para industri pengguna gas murah.
Baca juga: Kebijakan HGBT Gagal Dongkrak Ekonomi, Pemerintah Diminta Evaluasi Total |
Penerima gas murah
Mengacu pada Perpres Nomor 121 Tahun 2020, tujuh sektor industri tertentu penerima gas USD6 per MMBTU meliputi kelistrikan, pupuk, petrokimia, keramik, baja, sarung tangan, dan oleokimia.
Sementara berdasarkan data berdasarkan data pemerintah pada 2022, komponen biaya gas dalam struktur produksi ke tujuh industri penerima subsidi sangat bervariasi.
Industri pupuk merupakan yang tertinggi dengan komponen biaya gas mencapai 58,48 persen. Kemudian kaca 24,84 persen, keramik 17,87 persen, oleokimia 8,96 persen, dan petrokimia sekitar 7,72 persen. Kontribusi biaya gas di industri baja sekitar 7,26 persen dan yang paling rendah industri sarung tangan sebesar 5,90 persen.
Adapun Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang diterbitkan oleh S&P Global yang dirilis pada 1 Februari 2024 mengungkapkan ekspansi cepat yang terjadi sektor manufaktur pada awal bulan 2024 karena faktor naiknya permintaan, bukan didorong oleh daya saing.
S&P Global menyatakan pertumbuhan sektor manufaktur mengalami percepatan, didukung oleh faktor kenaikan permintaan baru yang lebih cepat karena kondisi permintaan secara keseluruhan membaik dan basis pelanggan naik. Permintaan asing juga membaik, namun kecepatan pertumbuhan permintaan ekspor masih marginal.
Staf Ahli Menkeu Candra Fajri Ananda menyarankan pemerintah agar lebih berani mengambil kebijakan secara tegas terhadap keberlanjutan program HGBT. Apalagi hingga tahun kelima program ini berjalan, sejumlah industri penerima manfaat gagal menaikkan kontribusinya kepada ekonomi nasional.
"Dari tujuh sektor industri yang mendapatkan subsidi HGBT industri pupuk paling memiliki multiplier effect. Karena itu, jika kebijakan ini dihentikan harga pupuk dipastikan akan melambung."
"Karena itu program seperti ini harus lebih difokuskan ke industri yang berdampak pada hajat hidup orang banyak seperti pupuk," saran Candra Fajri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News