Founder & Advisor Reforminer Institute, Lembaga Riset Pertambangan dan Ekonomi Energi, Pri Agung mengatakan dampak yang diharapkan dari kebijakan harga gas tertentu belum jelas. Terutama dari aspek peningkatan pajak dan multiplier efek dari perusahaan-perusahaan penerima gas subsidi tersebut.
"Sangat perlu untuk dievaluasi dari aspek biaya dan manfaatnya terhadap kebijakan yang sudah berjalan. Yang jelas kebijakan ini membuat penerimaan negara berkurang," jelas Pri Agung dikutip dari keterangan tertulis, Jumat, 15 Maret 2024.
Menurut dia, evaluasi terhadap kebijakan harga gas bumi tertentu alias HGBT juga dinilai tidak akan berdampak terhadap daya saing industri dalam negeri. Selain komponen gas bumi untuk beberapa industri kontribusinya rendah, daya saing sebuah industri dipengaruhi oleh banyak aspek.
"Ada banyak faktor yang memengaruhi daya saing sebuah industri. Seperti permintaan pasar, sumber daya, strategi industri dan juga keterkaitannya dengan industri pendukung dalam mata rantai industri tersebut. Harga gas hanya salah satu aspek dari sumber daya, khususnya aspek biaya," imbuh Pri Agung.
Berdasarkan data pemerintah pada 2022, komponen biaya gas dalam biaya produksi bervariasi. Paling tinggi adalah industri pupuk dimana komponen biaya gas mencapai 58,48 persen, kemudian kaca 24,84 persen, keramik 17,87 persen, oleochemical 8,96 persen, dan petrokimia sekitar 7,72 persen. Adapun kontribusi biaya gas di industri baja sekitar 7,26 persen dan yang paling rendah industri sarung tangan sebesar 5,90 persen.
Sejak digulirkan pada April 2020, kebijakan HGBT terus menimbulkan pro dan kontra. Salah satu faktor pemicunya adalah dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan ini tidak pernah terungkap. Sementara Kementerian ESDM sebagai lembaga yang menerbitkan kebijakan ini mengungkapkan subsidi HGBT telah menghilangkan pendapatan negara hingga sekitar Rp30 triliun.
Baca juga: Waduh! Program Gas Murah Bikin Negara Kehilangan Penerimaan Rp15 Triliun |
Negara tekor imbas penyesuaian harga gas
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Ditjen Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, kehilangan penerimaan negara terjadi pada sektor hulu minyak dan gas bumi. Itu akibat penyesuaian harga gas bumi setelah menghitung bagi hasil produksi migas antara bagian pemerintah terhadap kontraktor.
"Terkait penurunan-penurunan penerimaan bagian negara atas HGBT ini, kewajiban mereka kepada kontraktor yaitu sebesar 46,81 persen atau Rp16,46 triliun pada 2021 dan 46,94 persen atau Rp12,93 triliun 2022," kata Tutuka beberapa waktu lalu.
Jumlah kerugian negara tersebut diperkirakan akan membengkak, mengingat potensi pendapatan negara yang hilang dari kebijakan ini di 2023 dan 2024 belum masuk perhitungan.
Sebelumnya, Pakar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin mengatakan HGBT merupakan kebijakan yang protektif atau defensif pada masa pandemi untuk mengamankan tujuh industri yang dirasa memerlukannya.
Oleh karenanya harus dievaluasi melalui penelitian, apakah kebijakan tersebut mampu meningkatkan daya saing industri-industri yang menerima harga tersebut.
"Dampaknya hanya memproteksi atau men-defend berbagai industri yang dituju tersebut. Apakah kebijakan tersebut meningkatkan daya saing, ini hanya bisa dijawab dengan riset kuantitatif yang mengakomodasi berbagai faktor lain," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News