Jakarta: Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) menyatakan persoalan kualitas bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia perlu disoroti. Pasalnya, Indonesia disebut menjadi negara paling tertinggal di Asia Tenggara dalam komitmen peralihan penggunaan BBM yang lebih ramah lingkungan atau BBM bersih.
Hal itu diungkapkan oleh Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin. Safrudin mengatakan berdasarkan data yang mereka himpun, saat ini Indonesia menjadi negara terakhir di Asia Tenggara yang masih belum mengadopsi standar Euro 4.
"Negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, Malaysia sudah mengadopsinya. Bahkan Singapura sudah mengadopsi standar Euro 5," ujar Safrudin dalam diskusi virtual berjudul Harga BBM VS Kualitas BBM, dikutip Selasa, 6 September 2022.
Safrudin mengatakan, meski Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sudah mengeluarkan aturan penggunaan BBM Euro 4 untuk kendaraan tertentu, nyatanya aturan itu hingga saat ini masih belum terlaksana dengan maksimal. Banyak pihak, termasuk perusahaan otomotif yang mengabaikannya.
Indonesia hingga saat ini masih menyediakan tiga jenis BBM kotor yang seharusnya sudah dihapuskan. Ketiganya ialah pertalite 90, solar 48, dan dexlite 51. Di banyak negara dunia, jenis BBM kotor seperti itu sudah lama ditinggalkan.
Berdasarkan data KPBB pada 2019, BBM jenis solar 48 menjadi yang paling banyak digunakan sepanjang tahun. Diikuti oleh pertalite 90 dan pertamax.
Di 2020 Indonesia bahkan masih melakukan impor diesel fuel mencapai lebih dari lima juta kiloliter. Sementara untuk gasoline angka impornya mencapai lebih dari 17,6 juta kiloliter. "Keduanya masih sangat membebani sistem moneter kita," ujar Safrudin.
Ia mengatakan hingga saat ini seakan tak ada keinginan kuat dari pemerintah maupun dari partai politik untuk mengupayakan penghapusan BBM kotor. Dengan begitu harapan peningkatan BBM bersih di Indonesia masih sulit dicapai.
"Karena kita tahu itu jadi salah satu sumber tempat yang bisa memberikan kompensasi atau pundi-pundi untuk kepentingan politik. Padahal kalau pemerintah peduli pada sistem moneter Indonesia dan ingin menjaga stabilitas ekonomi dan juga mewujudkan konteks pencapaian lingkungan hidup yang lebih terjaga, seharusnya segera mereka hapus sisa tiga BBM kotor yang masih ada saat ini," ujar Safrudin.
Ironisnya, dikatakan Safrudin, meski kualitas BBM yang ada di Indonesia, ternyata harga BBM di Indonesia tidak serta-merta jadi lebih murah dibandingkan dengan negara lain.
"Ada problem dengan harga pokok BBM dan kemampuannya dalam memenuhi standar Euro. Meskipun spec-nya lebih rendah, harga pokok penjualan (HPP) BBM di Indonesia lebih mahal jika dibandingkan dengan beberapa negara seperti Malaysia dan Australia," ujar Safrudin.
Ia menjelaskan, di Malaysia dan Australia fluktuasi harga crudes oil (CO) memengaruhi harga BBM secara langsung dengan posisi negara sebagai penjamin akhir dengan menyediakan subsidi jika harga CO terlampau tinggi. Hal itu menghindari surplus produsen yang berlebihan. Sebaliknya, di pemerintah dua negara tersebut akan mengenakan pajak dan cukai ketika harga CO normal atau di bawah normal.
"Di Indonesia terjadi surplus produsen secara terus-menerus, mengingat harga BBM terjadi berdasarkan patokan harga BBM dengan spesifikasi yang lebih tinggi yang ada di Bursa Minyak Singapura (MOPS)," ujar Safrudin.
Hal itu diungkapkan oleh Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin. Safrudin mengatakan berdasarkan data yang mereka himpun, saat ini Indonesia menjadi negara terakhir di Asia Tenggara yang masih belum mengadopsi standar Euro 4.
"Negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, Malaysia sudah mengadopsinya. Bahkan Singapura sudah mengadopsi standar Euro 5," ujar Safrudin dalam diskusi virtual berjudul Harga BBM VS Kualitas BBM, dikutip Selasa, 6 September 2022.
Safrudin mengatakan, meski Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sudah mengeluarkan aturan penggunaan BBM Euro 4 untuk kendaraan tertentu, nyatanya aturan itu hingga saat ini masih belum terlaksana dengan maksimal. Banyak pihak, termasuk perusahaan otomotif yang mengabaikannya.
Indonesia hingga saat ini masih menyediakan tiga jenis BBM kotor yang seharusnya sudah dihapuskan. Ketiganya ialah pertalite 90, solar 48, dan dexlite 51. Di banyak negara dunia, jenis BBM kotor seperti itu sudah lama ditinggalkan.
Berdasarkan data KPBB pada 2019, BBM jenis solar 48 menjadi yang paling banyak digunakan sepanjang tahun. Diikuti oleh pertalite 90 dan pertamax.
Di 2020 Indonesia bahkan masih melakukan impor diesel fuel mencapai lebih dari lima juta kiloliter. Sementara untuk gasoline angka impornya mencapai lebih dari 17,6 juta kiloliter. "Keduanya masih sangat membebani sistem moneter kita," ujar Safrudin.
Baca juga: Ini Kesepakatan yang Dicapai dari Pertemuan Menteri Lingkungan G20 |
Ia mengatakan hingga saat ini seakan tak ada keinginan kuat dari pemerintah maupun dari partai politik untuk mengupayakan penghapusan BBM kotor. Dengan begitu harapan peningkatan BBM bersih di Indonesia masih sulit dicapai.
"Karena kita tahu itu jadi salah satu sumber tempat yang bisa memberikan kompensasi atau pundi-pundi untuk kepentingan politik. Padahal kalau pemerintah peduli pada sistem moneter Indonesia dan ingin menjaga stabilitas ekonomi dan juga mewujudkan konteks pencapaian lingkungan hidup yang lebih terjaga, seharusnya segera mereka hapus sisa tiga BBM kotor yang masih ada saat ini," ujar Safrudin.
Ironisnya, dikatakan Safrudin, meski kualitas BBM yang ada di Indonesia, ternyata harga BBM di Indonesia tidak serta-merta jadi lebih murah dibandingkan dengan negara lain.
"Ada problem dengan harga pokok BBM dan kemampuannya dalam memenuhi standar Euro. Meskipun spec-nya lebih rendah, harga pokok penjualan (HPP) BBM di Indonesia lebih mahal jika dibandingkan dengan beberapa negara seperti Malaysia dan Australia," ujar Safrudin.
Ia menjelaskan, di Malaysia dan Australia fluktuasi harga crudes oil (CO) memengaruhi harga BBM secara langsung dengan posisi negara sebagai penjamin akhir dengan menyediakan subsidi jika harga CO terlampau tinggi. Hal itu menghindari surplus produsen yang berlebihan. Sebaliknya, di pemerintah dua negara tersebut akan mengenakan pajak dan cukai ketika harga CO normal atau di bawah normal.
"Di Indonesia terjadi surplus produsen secara terus-menerus, mengingat harga BBM terjadi berdasarkan patokan harga BBM dengan spesifikasi yang lebih tinggi yang ada di Bursa Minyak Singapura (MOPS)," ujar Safrudin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News