"Kami proyeksikan setelah kuartal I kemarin realisasi pertumbuhan ekonomi di 5,11 persen, di kuartal kedua tahun ini kami prediksikan hanya 4,9-5 persen, jadi ada perlambatan," kata Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal dalam CORE Midyear Economic Review 2024: Mitigasi Risiko Ekonomi Jelang Pemerintahan Baru dilansir Antara, Selasa, 23 Juli 2024.
Faisal menuturkan ada enam risiko ekonomi di tataran global dan juga berpengaruh terhadap perdagangan luar negeri di Indonesia dan konsumsi domestik, yakni pelemahan permintaan dan oversupply di Tiongkok, penurunan kinerja ekonomi AS, dan penguatan harga energi dan ancaman inflasi.
Selanjutnya, ada risiko terkait pertumbuhan ekspor yang sangat lambat, lonjakan impor dan pelebaran defisit dengan Tiongkok, serta pelemahan konsumsi domestik.
Adapun proyeksi per komponen dalam pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) RI tersebut meliputi konsumsi rumah tangga yang diprediksi akan tumbuh pada 4,8 persen hingga 4,9 persen, konsumsi LNPRT (Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga) 18,4 persen sampai 20,2 persen, konsumsi pemerintah 6,4 persen hingga 7,9 persen, PMTB (pembentukan modal tetap bruto) 4,6 persen hingga 4,6 persen, ekspor 1,9 persen, serta impor 1,8 persen.
"Perlambatannya terutama disebabkan pada perlambatan di konsumsi rumah tangga yang menyumbang paling besar tentu saja terhadap PDB kita," ujar dia.
Baca juga: Mantap, Bank Dunia Apresiasi Ketahanan Ekonomi RI |
Target pemerintahan baru
Sementara itu, ia menyoroti target pemerintahan yang baru dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto periode 2025-2029, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai delapan persen.Target tersebut lebih tinggi dibandingkan target pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang sekarang dalam pembahasan di DPR.
Di dalam RPJPN itu, target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5-7 persen per tahun. Sedangkan, prediksi CORE Indonesia untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia 2024 berada di kisaran 4,9-5 persen.
"Jadi belum banyak berubah dibandingkan dengan 10 tahun terakhir daripada pemerintahan Jokowi dan ini perlu diantisipasi risiko ini karena akan sangat mungkin kalau tidak ada terobosan dalam hal strategi kebijakan ekonomi maka akan meleset lagi pertumbuhan ekonominya," ujar Faisal.
Meskipun inflasi pangan saat ini perlahan mereda setelah inflasi pangan yang meningkat terutama pada masa El Nino, namun, menjelang pemerintahan yang baru, ada potensi inflasi harga-harga yang diatur oleh pemerintah, terutama harga energi.
"Karena kalau kita melihat harga minyak juga lebih sedikit mengalami peningkatan apalagi kalau ditambah dari keterbatasan dari sisi fiskal, ruang fiskal yang mana banyak program-program yang harus dibiayai menjelang pemerintahan yang baru salah satunya adalah makan siang gratis," tutur Faisal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News